Chereads / Pendekar Selendang Hitam / Chapter 9 - Eksekusi

Chapter 9 - Eksekusi

Di hadapanku saat ini, sudah berdiri tiga pendekar Selendang Hitam, yang lebih terkenal dengan nama TG. Mereka sudah menggunakan pakaian serba hitam beserta selendang hitam yang menutupi separuh wajah mereka. Tidak, bukan hanya mereka, tapi aku pun mengenakan sesuatu yang sama seperti mereka. Kami akan melakukan misi pertamaku untuk menghukum para pendekar bejad yang sudah merenggut kehormatan siswa kesayangan kami, Ratih. 

"Kita beruntung, Mas Bondan bilang mereka sedang bersama." ucap Mas Asep sambil menatap lurus ke arahku. 

Itu bagus, karena akan sangat merepotkan jika harus menjemput mereka di tempat yang berbeda-beda. 

"Kami hanya akan menuruti perintah sampean, karena ini misi sampean, jadi jangan sungkan untuk meminta kami melakukan sesuatu." imbuh Mas Asep. 

Baiklah ...

"Kemarin Mas Arya bilang, kita punya koneksi di kepolisian kan?" tanyaku pelan. 

Mas Aji yang berdiri tepat di sampingku, langsung mengangguk pelan. 

"Sampean mau langsung mengirim mereka ke penjara?" tanya Mas Nanang. 

Aku menggelengkan kepalaku pelan. Jika aku melakukan itu, baik Dea dan Ratih pasti akan mengutuk TG karena tidak memberi mereka pelajaran terlebih dulu. 

"Jadi?" sela Mas Asep. 

"Kita harus memberi mereka pelajaran tanpa mengotori tangan kita, karena jujur aku jijik jika harus menyentuh pria bejad seperti mereka, biar mereka yang lebih berhak, yang menghukum mereka. Setelah itu baru kita serahkan mereka pada polisi."

Semua terdiam menatapku datar. Sungguh, aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan saat ini. Apakah menurut mereka aku terlalu lunak, atau apa?

"Ide bagus!" ucap Mas Aji lalu bergegas masuk ke dalam sebuah mobil jeep yang sedari tadi menarik perhatianku. Gladiator Rubicon, jeep pikap yang sangat mahal. Mobil ini mencapai harga 2,18 milliar di pasaran. 

Kami pun bergegas naik, dan melaju kencang menuju tempat berandalan ini sedang berkumpul. 

Aku menedarkan pandanganku ke sekeliling, meski aku orang asli sini, aku bahkan tidak tahu ada tempat seperti ini di daerahku. Sial, mainku memang kurang jauh. 

Kami melewati jalanan dengan tanah gersang dan debu yang luar biasa banyak. Karena melaju cukup kencang, tidak memerlukan waktu banyak hingga kami sampai di sebuah rumah dari papan yang cukup ramai, dilihat dari berapa banyak motor yang ada di luar rumah tersebut. 

"Menurut informasi, ini adalah tempat berkumpul mereka. Tidak ada orang tua dan wanita di dalam, jadi kita bisa sedikit santai." ucap Mas Asep santai. 

Ah, ya. Mas Reza sudah mewanti-wanti untuk tidak melakukan sesuatu yang menakutkan di depan orang tua, wanita, dan anak-anak. 

"Ada sekitar delapan orang di dalam," ucap Nanang. 

Aku tidak ingin repot-repot bertanya dari mana ia tahu, cukup tahu saja jika masing-masing dari mereka memiliki kelebihan. 

Kami pun bergegas turun, dan langsung masuk ke dalam. 

Mereka yang ada di dalam, langsung berdiri saking terkejutnya melihat kami. Mereka sendiri sedang memutar gelas, bahasa halus untuk pesta miras. 

"Yang baju merah, kuning, hitam lengan panjang, dan navy!" ucap Nanang dengan santainya. 

Baiklah, target sudah terdeteksi. 

"Woi! Siapa kalian? Mau apa kalian? Ngajak ribut?" teriak seseorang berebaju kuning. 

Matanya sangat merah, dan penampilannya sangat lusuh. Sepertinya dia sudah sangat mabuk. 

Beberapa dari mereka bahkan tidak mengatakan apa pun dan langsung menghampiri kami untuk menyerang kami. Tidak perlu menggunakan kekuatan untuk menumbangkan mereka. Well ya, mereka mabuk. Hanya menyentil keningnya saja bisa membuatnya terjatuh. Ah, ini menyebalkan. 

Mas Nanang mengambil sapu yang berada di sudut ruangan, untuk dihantamkan kepada mereka yang menyerang kami, dan ya. Mereka langsung kelimpungan dan ambruk berserakan di tanah. 

Melihat teman mereka ambruk, mereka yang tersisa pun melakukan hal yang sama, mengambil senjata tajam dan mencoba menyerang kami. Tapi sekali lagi, dengan sapu di tangannya, Nanang menghantam mereka hingga mereka ambruk. 

"Wedus!" maki Mas Nanang. 

"Sabar Mas," seru Mas Aji sambil menepuk pundak Mas Nanang pelan. 

"Sebel aku, ada gitu pendekar kayak mereka?! Pengen tak hih wae! (Ingin ku hih aja!)" sahut Mas Nanang kesal. 

Aku hanya menggelengkan kepalaku pelan. Kami pun mengangkut target kami, dan menaruhnya di bagian belakang jeep yang kami bawa. 

Setelahnya, kami membawa mereka ke sebuah gudang tua yang terletak tak jauh dari rumah Ratih. Kami mengikat mereka di kursi, lalu menyiram tubuh mereka dengan air. Kami berusaha membuat mereka sadar terlebih dulu. 

Mas Aji memberikan minuman anti pengar kepada mereka. Entah apa yang ia berikan, namun apa pun tiu, sepertinya sangat manjur karena mereka langsung sadar. Yah, meskipun tidak sadar sepenuhnya. Namun, kurasa mereka sudah cukup sadar untuk merasakan rasa sakit, dan menggunakan otak mereka untuk berpikir. 

Tak lama kemudian, mobil Mas Arya pun tiba. 

Aku tersenyum di balik selendang hitam yang menutupi sebagian wajahku ini. 

Ratih datang bersama kedua orang tuanya. 

Kami pun mengantar mereka masuk ke dalam gudang. 

Orang tua Ratih tampak syok melihat kondisi keempat pria yang terikat di kursi tersebut. 

Atas saran Dea sebelumnya, Ratih memberitahukan kejadian tragis yang menimpanya kepada kedua orang tuanya. Dan itu bagus, mereka berhak tahu, dan kami pun tidak perlu untuk menceritakan hal menyakitkan tersebut kepada mereka itu. 

Aku meminta Mas Arya sebagai perwakilan dari TG untuk menjemput mereka, dan berjanji membawakan pelaku ke hadapan mereka. 

Mas Arya sediri langsung berdiri di sampingku. Sama seperti kami, ia juga menggunakan pakaian serba hitam, dan selendang hitam, ciri khas TG. 

"Dek Ratih, mereka adalah orang yang telah melukai sampean, apa benar?" tanya Mas Asep untuk memastikan. 

Ratih, dengan mata merah, dan air mata yang mulai mengalir membasahi pipinya itu, langsung mengangguk lemah. Tubuh gadis itu gemetaran, mungkin menahan amarah, menahan rasa sakit, dan menahan diri dari semua kenangan buruk yang para pria bejad itu torehkan dalam hidupnya. 

"Rasanya akan sangat tidak adil jika kami langsung membawa mereka ke kantor polisi, jadi kami ingin memberikan kalian kesempatan untuk menyampaikan sesuatu kepada mereka." ucap Mas Asep dengan penuh kelembutan. 

Tanpa mengatakan apa pun lagi, Ratih langsung mendekat ke arah mereka, dan menampar dengan sangat kencang wajah salah satu pria yang ada di sana. 

Ratih mengumpat, memaki, bahkan meludahi mereka satu persatu. Gadis itu berteriak dan menangis sejadi-jadinya, mencoba meluapkan segala amarah yang ada di dalam hatinya. 

Para pria itu sendiri hanya menangis dan meminta pengampunan dari Ratih. 

Dan saat Ratih ingin menampar mereka lagi, ayah dari Ratih menahan tubuh anaknya itu, dengan berlinang air mata, ayah Ratih mencoba menenangkan anaknya yang sudah histeris tersebut. 

"Biar Bapak saja Nduk, nanti tanganmu sakit!" seru ayah Ratih sambil memberikan Ratih kepada sang Ibu, dan langsung dipeluk erat oleh Bu Fatimah. 

Ayah Ratih pun kembali mendekat ke arah mereka, dan meneruskan niat Ratih untuk menampar wajah mereka satu per satu. Dengan seluruh kekuatan yang ia miliki, ayah Ratih menghantam wajah mereka dengan tamparan dan tinju, sambil menangis dan memaki. 

Ayah dan Ibu Ratih berhak melakukan itu. Mereka yang telah membesarkan Ratih dengan penuh cinta, berhak untuk memeberi pelajaran kepada mereka yang tanpa berpikir, dengan tega melukai, dan meodai Ratih. 

Aku bisa merasakan betapa hancurnya perasaan kedua orang tua Ratih dari suara tangis dan teriakan penuh amarah mereka. 

Setelah cukup puas memberi pelajaran kepada keempat pria itu, Mas Arya kembali mengantar Ratih dan keluarganya pulang. Mereka harus segera kembali dan menenangkan diri mereka terlebih dulu.

"Kita apakan mereka?" tanya Mas Aji sambil menggelengkan kepala melihat para pria yang wajahnya sudah tidak berbentuk itu. Terlalu banyak luka di wajah mereka. 

"Langsung kirim saja ke penjara!" ucapku pelan. 

"Sampean tahu Mas? Di sana, akan seperti apa nasib mereka?" Mas Aji melirikku sekilas. 

"Seperti apa?"

Mas Aji tersenyum tipis.

"Ada sebuah tradisi di balik jeruji besi, untuk narapidana yang datang dengan kasus pelecehan seperti ini." ucap Mas Aji pelan.

"Apa?" tanyaku penasaran.

"Setelah mendapatkan pesta penyambutan, mereka akan dijadikan bulan-bulanan selama di dalam sana." Mas Aji nenatapku lurus-lurus.

Pesta penyambutan? Jadi, mereka akan dihajar napi senior di sana?

"Kebanyakan dari mereka masuk ke penjara karena maling, demi mencukupi kebutuhan keluarga. Mereka juga memiliki istri dan anak di luaran sana yang mereka kasihi, jadi mereka tentu akan murka jika ada kasus seperti ini." imbuh Mas Nanang.

Ah, aku mengerti sekarang. Di dalam sana, mereka tentu takut jika sesuatu seperti ini terjadi kepada keluarga yang mereka kasihi, jadi jika ada napi yang masuk dengan kasus tersebut, mereka menjadi murka.