"Lagi mikirin apa sih?"
Kesadaranku kembali sepenuhnya saat suara yang tidak bisa dibilang merdu itu terdengar dari ambang pintu kamarku.
Gadis itu menggelengkan kepalanya pelan, ia lalu berjalan pelan menghampiriku.
"Kamu itu beberapa hari ini aneh banget tahu nggak!" seru Dea sambil duduk di sebelahku.
Kami duduk di bawah jendela sambil melihat pemandangan di luar rumah yang kebetulan cukup indah berkat ibuku yang rajin mengumpulkan tanaman dari berbagai tempat, dan menyusunnya bak taman mini yang cukup menarik.
"De, Mas Asep kerjanya apa? Dia ada di rumah nggak?" aku bertanya pelan.
Dea hanya menghela napas panjang, ia lalu menggelengkan kepalanya pelan.
"Dia udah hampir satu tahun ini nggak pulang. Katanya sih kerja di rental mobil gitu di Jakarta, pulang juga tiap lebaran doang."
Jadi seperti itu ... Mas Asep bahkan tidak memberitahu keluarganya bahwa dia ada di sini. Apa sebenarnya tugas TG? Mengapa bahkan keluarganya tidak diizinkan untuk mengetahui keberadaannya?
"De, Kapan terakhir kali Mas Asep aktif di perguruan Selendang Kuning?"
Dea mendengus kesal. Ia lalu memajukan wajahnya, untuk menatapku lekat-lekat.
"Tumben amat kepo soal Mas Asep?" tanyanya penuh curiga.
Aku menjauhkan wajahku dari Dea, lalu mendorong kening gadis itu menjauh dariku.
"Ya kan kalau kerjaannya enak, aku mau ikutan kerja dia di Jakarta, besar kan gajinya?" sahutku asal. Yeah, setidaknya alasan itu cukup masuk akal.
Dia mengedikkan bahu, ia lalu menoleh ke arah jendela sambil menghela napas panjang, tatapannya menerawang jauh ke luar jendela.
"Nggak tahu aku, tapi kayaknya banyak sih, soalnya tiap bulan bisa kirim uang ke Ibu tiga juta. Berarti gajinya dia lumayan kan di sana?!"
Nah! Yang jadi pertanyaannya adalah, jika Mas Asep selalu bepergian dari satu tempat, ke tempat yang lain karena menjalankan tugas dari TG, lalu dari mana ia memperoleh uang? Apalagi Dea bilang, masnya itu selalu memberikan tiga juta per bulannya. Apa bergabung dengan TG dibayar?
"Ngelamun mulu, kenapa sih? Apa yang kamu pikirin?"
Ah, pertanyaan itu lagi. Bagaimana aku harus mengelabuhi gadis itu?
"Aku lagi mikir, gimana caranya ngehasilin duit yang banyak buat gedein bengkel motorku!"
Beruntung tampaknya Dea menerima alasanku. Gadis itu mengangguk lalu menyandarkan puggungnya pada kursi.
***
Aku bergegas memarkirkan motorku di halaman rumah Bimo saat Andini menghubungiku dan mengatakan bahwa TG sudah berhasil menangkap pelaku, dan membawanya ke kantor polisi.
Secepat ini? Bagaimana bisa?
"Le, tumben pagi-pagi ke sini?" seru Bulek begitu aku masuk ke dalam rumah.
"Masuk rumah orang itu salam dulu, permisi dulu, main nyelonong aja kamu!" samber Paklekku sambil memakai sepatu hitam mengkilatnya.
"Eh iya, assalamualaikum!" seruku cepat.
"Udah di dalem baru salam! Buru-buru banget mau apa sih? Pasti penasaran sama pembunuh Bimo ya? Itu si Andini pasti langung cerita ke kamu kalau pembunuhnya udah ketangkep!" tebak Bulek.
Aku berjalan cepat menghampiri Bulek, dan duduk di sampingnya. Sepertinya beliau sudah lega karena pembunuh Bimo sudah tertangkap, karena kulihat ia sudah kembali bersikap santai seperti sedia kala.
"Itu beneran pembunuhnya Bulek? Bukan karangan TG tuh?!" aku sengaja bertanya seperti itu pada Bulek untuk memancingnya bercerita.
"Bener, Le. Dari semua bukti yang mereka temukan, dan kebetulan ada saksi mata juga, jadinya cepet ketangkepnya!" sahut Pak Lek sambil menatap mataku dalam-dalam.
"TG membawa dia ke sini, terus orangnya sendiri juga langsung mengakui perbuatannya dan sujud di kaki kami!" ucap Bulek sambil mengupas buah dengan santainya.
Aku menggeleng lemah. Seorang pembunuh, datang ke rumah korbannya, bersujud meminta maaf dan mengakui perbuatannya? Serius, itu bukan hal yang umum untuk dilakukan.
"Apa motifnya? Kenapa dia membunuh Bimo?"
"Karena Bimo pernah mengeroyok salah satu anggota perguruan pencak silat orang itu! Jadi dia menaruh dendam pada mereka, salah satunya Bimo. Dan malam itu, Bimo kan lagi sendirian dan lengah, ya terbutakanlah orang itu sama dendamnya!" cerita Bulek.
Ah, mungkin karena kejadian tiga bulan yang lalu. Saat itu Bimo dan beberapa anggota Selendang Putih yang lain sedang dalam perjalanan ke salah satu tempat latihan yang baru dibuka.
Di jalan, mereka bertemu dengan seorang anggota Perguruan Selendang Kuning sedang menggoda salah satu siswa kami, bahkan melecehkan siswa kami itu. Karena marah, mereka pun memberi pelajaran kepada pria biadap itu.
Mungkin anggota Selendang Kuning tidak terima salah satu anggotanya dikeroyok, lalu menyimpan dendam.
"Gimana ceritanya TG bisa menemukan orang itu? Mereka punya bukti apa Bulek?"
Bulek menghentikan aktivitasnya, lalu menoleh ke arahku. Ia lalu mengedikkan bahunya pelan dan menggelengkan kepala.
"Mereka itu ke sini cuman buat nganterin pembunuh itu buat meminta maaf sama kami. Untuk hal seperti itu, mereka nggak cerita, Le!"
Ah, sial! Tentu saja mereka tidak akan menceritakannya kepada orang lain. Mereka itu bekerja dibalik layar bukan?
Well, ini menarik.
"Terus, Bulek maafin?"
Mendengarkan pertanyaanku, Bulek hanya menghela napas panjang.
"Ya antara dimaafin sama enggak! Bohong kalau Bulek bilang mau maafin dia. Kamu tahu kan kalau Bimo itu anak laki-laki Bulek nomor satu? Calon tulang punggung keluarga karena bentar pagi Pak Lek pensiun. Dia itu anak pertama yang selalu Bulek bangga-baggakan. Jadi, rasa sakit kehilangan itu enggak bisa dihilangkan begitu saja, Le. Tapi, kalau Bulek masih nggak bisa merelakan kepergian Bimo, nanti dia nggak tenang di atas sana. Lagian pembunuhnya juga langsung dipenjara, dia menderita di sana, keluarganya juga kehilangan dia sama seperti Bulek, jadi ya sudahlah!"
Aku langsung merangkul pundak Bulek, dan mencoba memberinya dukungan mental.
Bulek sangat kuat. Tidak mudah bagi seorang Ibu untuk bersikap bijak sepertinya.
Aku bahkan takut jika Bulek bisa saja mengalami trauma dan semacamnya.
"Bayu, belajar dari pengalaman! Jangan sembarangan dan sok jagoan di luaran sana. Hanya karena tahu kamu anggota Selendang Putih saja bisa membuat orang berniat mencelakai kamu! Kamu tahukan bagaimana kondisi pertikaian antar perguruan sekarang ini? Jangan sampai kamu terluka. Kamu itu anak satu-satunya, gimana perasaan orang tua kamu nanti kalau tahu kamu terluka? Masih mending kalau cuma terluka, kalau sempet kayak BImo? Hancur hati kami, Le!"
Aku hanya bisa tersenyum tipis mendengarkan nasehat dari Pak Lekku itu. Aku tahu benar bahwa mereka sangat mengkhawatirkanku.
Aku memang tidak pernah mencari musuh, tapi jika mereka mucul di depanku, aku tidak akan mundur sedikit pun. Karena seperti itulah aku dididik.
Musuh jangan dicari, tapi jika musuh menghadang jangan lari.
"Pak, udah jam segini, sana berangkat, pakai sepatu kok lama amat!" gerutu Bulek lalu menyodorkan sepiring apel yang sudah dikupas ke arahku. Tentu saja aku langsung mencomot apel tersebut, karena di sana ada kasih seorang Ibu yang susah payah mengupasnya.
"Ya udah, Bukne, Bayu, tak berangkat dulu!"
Setelah mengatakan itu, Pak Lek pun bergegas keluar rumah, dan mengendarai motornya pergi meninggalkan rumah.
"Apa yang dibilang Pak Lekmu tadi bener Bayu, nggak usah lagi ikutan silat apa itu, resikonya tinggi! Mending kamu fokus kerja, kuliah, jangan main terus, kalau sudah mapan, cepet dilamar itu si Dea!"
Ya, sepertinya itu ide yang bagus, kuliah, kerja, menikah. Tapi, entah mengapa, sepertinya menjadi bagian dari TG lebih membuatku merasa hidup.
Sepertinya aku harus benar-benar menerima tawaran mereka.