Suara gebrakan itu terdengar keras ketika pintu itu terbuka. Mata cokelat kehitamannya terbelalak melihat seorang gadis di dalamnya tengah memegang sebuah pecahan kaca.
"APA YANG TENGAH KAMU LAKUKAN ITU?" Pekikan Alana lantas membuat gadis itu menatapnya dengan sorot ketakutannya. Tubuhnya sedikit bergetar. Bibirnya pun sedikit terbuka. "A-aku tidak sengaja melakukannya, Kak." Gadis itu mengatakannya dengan suara pelan.
Alana mengalihkan pandangannya pada tangan kiri gadis itu, didalam genggamannya terdapat sebuah kaca. Kakinya melangkah masuk kemudian dengan segera pecahan kaca itu direbutnya. "Sebenarnya apa yang ada dalam pikiranmu itu, hah?" Alana berseru seraya menatapnya dengan tajam.
Gadis di hadapannya pun hanya dapat menundukkan kepala. Mata hitamnya tidak berani menatap mata cokelat kehitaman milik Alana. "Aku benar – benar tidak sengaja, Kak." Gadis itu kembali bersuara dengan lirih. Matanya sedikit berkaca – kaca, dirinya merasa takut dengan Alana saat ini.
Sementara Alana, gadis itu mendengus seraya memalingkan wajahnya ke arah lain. Matanya kembali terbelalak ketika melihat kaca rias di kamar ini telah pecah seperti dilempar oleh suatu barang. Mata cokelat kehitamannya itu kembali menatap sinis gadis di hadapannya. Alana mendesis, "Sebenarnya apa rencanamu itu, hah?"
"A-aku—"
"ALANA! APA YANG TELAH KAMU LAKUKAN PADA ASTRID?" Kedua gadis itu sontak menoleh menatap ke arah ambang pintu. Di sana terlihat Erik dan Wina tengah berdiri menatap Alana dan Astrid. Erik dengan tatapan tajamnya, sementara Wina, wanita itu hanya terpaku pada Astrid yang tengah menatapnya dengan sorot ketakutan.
Wina segera melangkahkan kakinya menghampiri sang putri. Dipeluknya putrinya itu seraya mengusap pelan punggung gadis itu. "Tenang ya Astrid, Ibu ada di sini." Wina berusaha menenangkan anak gadisnya itu. Astrid pun hanya terdiam dalam pelukan hangat sang ibu.
Sementara Alana, gadis itu hanya melihat mata hitam Erik yang tengah menatapnya nyalang."Apakah kamu sengaja ingin melukai Astrid, Alana?" Erik bertanya dengan suaranya yang dingin.
"Maksud Ayah?" Gadis itu menatap Erik dengan bingung.
Erik menghampiri putrinya itu dengan cepat. Dirinya mengangkat sebelah tangan Alana yang tengah memegang pecahan kaca itu. "Kamu masih dapat bertanya apa maksudnya, sedangkan barang buktinya sudah jelas di sini?" Suaranya terdengar menusuk bagi Alana. Gadis itu mengikuti arah pandang Erik. Matanya terbelalak, kepalanya menggeleng cepat. "Tapi aku tidak melakukan apa – apa," elaknya.
Erik mendesis seraya memiringkan sedikit kepalanya. "Lantas apakah Astrid yang melakukan itu, hah?"
"Bisa saja hal itu terjadi!" Alana menjawabnya dengan cepat. Kepalanya menoleh menatap Astrid yang tengah menatapnya dengan tatapan takutnya. "Dia!" Jarinya menunjuk pada seorang gadis berambut hitam sebahu itu. "Dia pasti sengaja melakukan itu, Ayah!" Alana berseru seraya menatap nyalang Astrid.
Mata bulat Astrid terbelalak mendengarnya. Kepalanya menggeleng lemah. "A-aku tidak melakukannya secara sengaja, Yah." Astrid mengatakannya dengan lirih. Mata hitam itu berkaca – kaca menatap Erik.
Pria bermata cokelat kehitaman itu menangkap sorot mata itu. Pandangannya kembali teralihkan pada seorang gadis di hadapannya. "HENTIKAN TUDUHANMU ITU, ALANA!" Suaranya kembali memenuhi ruang kamar itu. Sontak bentakan Erik membuat ketiga perempuan di dalamnya terlonjak kaget.
Alana menolehkan kepalanya menatap Erik. Matanya melihat urat – urat di leher sang ayah sedikit terlihat. Mata hitam kecokelatannya menatap Erik dengan sendu. "Mengapa Ayah senang sekali membentakku?" tanya gadis itu.
Erik hanya terdiam. Nafasnya sedikit terengah akibat emosinya yang telah memenuhi dirinya. Mata hitam kecokelatannya masih menatap tajam gadis di hadapannya. Sementara gadis itu menatapnya dengan sendu. Gadis itu tidak dapat menemukan tatapan hangat dari Erik.
"Mengapa Ayah selalu membentakku dengan tatapan tajam itu?" Alana kembali bertanya dengan suaranya yang sedikit lemah. Rasanya benar – benar sakit. Pria di hadapannya benar – benar berubah, tepat sejak ia membawa wanita itu bersama anaknya.
"Apakah kini, aku bukan anak Ayah lagi?" tanyanya. Mata gadis itu sedikit memerah. Sorot matanya yang sendu berubah menjadi sedikit tajam.
Sebuah tamparan pun mendarat di pipi kanannya.
"Mas!" Wina sedikit berseru. Mulutnya sedikit terbuka, matanya terbelalak.
"Kamu benar – benar anak kurang ajar, Alana." Erik mengatakannya dengan suara dinginnya.
Sementara Alana, gadis itu masih menundukkan kepalanya. Rambutnya yang menutupi, membuat Erik tidak dapat melihat bagaimana ekspresi anak gadisnya itu. Rasa panas pada pipinya pun masih sangat membekas. Kedua tangannya yang berada di samping tubuhnya seketika mengepal. Setetes air mata pun jatuh dari pelupuk matanya.
"Selama ini, Ayah tidak pernah sekali pun membentak apalagi bermain kasar," bisik Alana.
"Lantas mengapa sejak kehadiran wanita murahan dan anak haramnya itu, Ayah senang sekali melampiaskan emosi padaku?" tanya Alana. Gadis itu mengangkat kepalanya.
Erik mendapati bekas bulir bening pada pipi putih Alana. Dirinya melihat mata dan hidung Alana telah memerah. Perkataan gadis itu barusan tentu saja membuat emosinya kembali tersulut, namun rasa bersalah pada relung hatinya membuat ia menahan kedua tangannya. Ini adalah pertama kalinya ia melihat anak gadisnya menangis. Bahkan ketika Mareta tiada, ia tidak melihat air mata pada anak gadisnya itu.
"Apakah saat ini Ayah sudah tidak lagi menyayangiku?" Alana mencecarinya dengan pertanyaan. Matanya telah berkaca – kaca, namun tangannya kembali digenggam dengan erat. Pertahanannya tidak boleh runtuh, terlebih di hadapan Wina dan Astrid.
"Kakak..." Astrid membuka mulutnya. Gadis itu bahkan telah menitikkan air matanya. Ia tidak tega melihat Erik bersikap kejam pada Alana. Wina yang mendengar lirihan putrinya itu kembali mengelus punggungnya dengan lembut.
"Apakah saat ini, di rumah ini hanya terdapat satu anak untukmu, Ayah?" Alana kembali bertanya. Namun hanya hening yang lagi – lagi menjawabnya. Pria di hadapannya hanya menatapnya dengan mulut tertutup.
"Bukan aku pelakunya, Yah. Tidak bisakah Ayah mempercayaiku?" Mata cokelat kehitamannya yang berkaca – kaca menatap Erik. Ia benar – benar lelah dengan keadaan ini.
Erik memejamkan matanya sejenak. Hela nafas lolos dari mulutnya. Dibukanya kembali secara perlahan kedua matanya itu. "Ayah ingin mempercayaimu, Alana. Namun barang bukti itu terdapat dalam genggamanmu," lirih Erik.
Kini Alana yang menghela nafas. "Serpihan kaca itu terdapat dalam genggamanku, sebab benda itu awalnya berada dalam genggaman dia, oleh sebab itu aku merebutnya. Aku tidak memiliki niat jahat padanya, Ayah." Alana menjelaskannya dengan tatapan prustasi.
"Lantas alasan apa yang ada dalam benak Astrid jika iya dia sengaja melakukan itu? Alana, bahkan sejak awal pun kamu tidak menyukai kehadiran adikmu itu." Erik berusaha menetralkan suaranya. Dirinya menahan emosi untuk tidak kembali tersulut seperti tadi.
"TAPI AKU TIDAK MELAKUKANNYA, YAH! AKU MEMANG TIDAK MENYUKAINYA, NAMUN AKU TIDAK SEGILA ITU!" Alana berteriak keras. Dirinya bahkan menarik rambut cokelatnya. Rasanya sungguh melelahkan. Sekalipun bibirnya ini menjelaskan hingga berbusa, sang ayah tetap tidak akan mempercayainya.
"Alana, mengaku saja tidak apa – apa." Erik berusaha menyentuh Alana. Namun gadis itu langsung memundurkan langkahnya. Mata cokelat kehitamannya kembali menatap nyalang.
"APA YANG HARUS AKU AKUI AYAH? AKU BAHKAN TIDAK MELAKUKANNYA!" Air mata itu kembali jatuh dari pelupuk matanya. Hatinya benar – benar hancur.
"Alana—"
"Baiklah kalau Ayah tetap beranggapan seperti itu," Gadis itu langsung memotong ucapan Erik. Kepalanya menoleh menatap Astrid dan Wina. "Aku akan melakukan apa yang ada dalam benak Ayah." Penuturannya itu membuat kening Erik berkerut.
Gadis bermata cokelat kehitaman itu melangkah cepat mendekati Astrid. Didorongnya Wina hingga wanita itu tersungkur di lantai. Dirangkulnya Astrid sembari sebelah tangannya menyodorkan serpihan kaca dalam genggamannya pada leher gadis itu.
"Aku akan melakukannya, Ayah." Gadis itu menyeringai.
"JANGAN LAKUKAN ITU, KU MOHON!"
***