Bab 1: Apa Tuhan itu ada?!
Kepalaku terasa berdenyut nyeri saat aku tersadar dari tak sadarkan diri, aku terkejut bukan main saat kudapati tanganku yang tengah memegang sebuah pisau yang berlumuran darah. Mengerikannya lagi dihadapan ku tengah terbujur kaku sesosok tubuh yang terlihat terbujur kaku dengan luka tusukan pisau yang terlihat robek dengan beberapa tusukan.
Aku sontak berteriak ketakutan, detik itu juga beberapa orang pun berlarian ke arahku.
"Kamu membunuh!" teriak seseorang tak kalah terkejutnya dariku. Aku menggeleng cepat-cepat.
"Aku bukan pembunuh!" sangkalku panik. Dadaku berguncang hebat.
"Tapi ditangan kamu ada pisaunya! Itu adalah bukti kuat kalau kamu yang membunuh orang ini!" tekannya lagi seraya menunjuk ke arah mayat tersebut.
"Dasar pembunuh!" cela seorang wanita yang memandangku sinis.
"Panggil polisi!" teriak yang lainnya.
"Aku bukan pembunuh!" teriakku penuh ketakutan. Perasaanku kalang kabut.
"Mana ada maling ngaku!" teriak yang lainnya memprovokasi.
"Kamu tuh mabuk! Jadi otak kamu hilang akal dan tanpa sadar bunuh orang!" seseorang berasumsi berdasarkan pemikirannya.
"Enggak! Aku gak mungkin bunuh orang!" sangkalku berteriak seraya berderai air mata.
Entah bagaimana caranya, beberapa aparat kepolisian pun berdatangan. Salah satu dari mereka pun memborgol tanganku. Beberapa orang kulihat memotret dan memvideo keadaanku saat ini. Memuakkan. Dan, mengapa secepat itu para polisi itu datang?
Aku di seret setengah paksa, oleh dua orang anggota polisi, dibawa paksa memasuki mobil tahanan untuk dibawa ke kantor polisi untuk kemudian diinterogasi.
*
Kantor polisi.
Dengan ketakutan yang hebat berulang kali kuhubungi Mas Pram. Nihil, no HP suamiku bahkan tak aktif. Dengan hati penuh harap, aku pun segera menelpon kedua orang tuaku. Memohon bantuan pada mereka berdua. Mamiku bahkan terdengar panik dari balik selulernya. Aku optimis bahwa keadaan akan membaik.
*
Satu jam telah berlalu ...
Tak ada tanda-tanda kehadiran kedua orang tuaku. Aku tak mengerti mengapa mereka telat mendatangiku. Karena sel penjara sangatlah tak nyaman.
"Saudari Tsurayya, kami mendapatkan laporan bahwa ibu Anita dan bapak Herlan telah mengalami kecelakaan maut sekitar 20 menit yang lalu," seorang petugas polisi mengatakan padaku dengan tegas dan jelas.
Bibirku bergetar hebat, dadaku terasa bergemuruh panik. "lalu bagaimana kabar mereka saat ini, Pak?" tanyaku berderai air mata.
"Maaf, ibu Anita dan bapak Herlan meninggal di tempat kejadian perkara," jawabnya lugas.
Aku terdiam linglung, sesaat aku berharap bahwa ini semua hanyalah mimpi belaka. Tubuhku berkeringat dingin. Kepalaku berkunang-kunang. Detik berikutnya tubuhku ambruk di lantai dan aku tak ingat apa-apa lagi.
Hari berganti hari. Hidupku semakin terasa gelap dan pengap. Tak ada hal yang kuinginkan saat ini selain kematian.
Mas Pram hanya mengutus seorang pengacara untukku. Agar aku tak terlalu lama dijatuhi hukuman penjara.
"Mas Dian, Aku bersumpah atas nama Tuhan kalau Aku gak pernah membunuh," tuturku serak pada pengacaraku. Mataku sembab kering dengan air mata yang entah berapa jutaan tetes yang terjatuh, menjadi saksi kepiluannya hidup yang ku alami saat ini.
Mas Dian pun menghela napas panjang, "tapi seluruh bukti mengarah kuat pada kamu, Tsura," jawabnya jujur.
"Tapi Aku ... "
"Malam itu kamu minum-minum?" tanyanya menyelidik.
"Sedikit Mas! Itu pun karena ... "
"Kamu mabuk, Tsura!" tekannya tegas.
"Coba cari pembelaan dari saksi! Bukankah tak ada yang pernah melihat saya melakukan hal tersebut?" pintaku penuh harap.
"Maaf Tsura, jika pun ada saksi, mereka justru memberatkan posisi kamu. Terlebih saat itu mulut kamu pun tercium aroma minuman keras. Dan sidik jari di pisau itu pun menyimpulkan hasil sidik jari kamu," sanggahnya lagi.
Aku menggeleng pelan. Sepertinya percuma kukatakan bahwa diriku merasa tak bersalah.
"Kapan Mas Pram menjengukku?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Jera.
"Untuk saat ini, pak Pram belum bisa menemui kamu. Karena saat ini beliau sedang sibuk mengurusi keperluan pemakaman mertuanya. Juga sibuk menenangkan perasaan Prilly," jelasnya.
Dadaku terasa sesak, mengingat bahwa kejadian yang ku alami terasa tumpang tindih diwaktu bersamaan.
"Tolong sampaikan salam untuk putri saya, ya' Mas Dian," ucapku lirih. Pengacara ku pun mengangguk lalu berpamitan padaku untuk pergi.
Itulah yang pertama dan yang terakhir kalinya aku bertemu dengan pengacaraku setelah aku di vonis 4 tahun penjara oleh pengadilan meja hijau.
Selama itu pula tak ada satu orang pun yang mengunjungiku ke lapas. Bahkan Mas Pram pun hilang bak ditelan alam raya.
Awalnya, kupikir suamiku benar-benar sibuk menenangkan putriku yang masih kecil, aku mengerti keadaan itu. Aku bahkan bersyukur karena suamiku masih mempercayaiku dan memaafkan kesalahanku. aku sudah katakan padanya bahwa aku tidak berasa membunuh. Entah pengacaraku menyampaikannya atau tidak.
Meski berat pada akhirnya aku pun menjalani takdir yang tak pernah terpikirkan sedikit pun olehku.
Dan, tak terasa waktu pun berputar menuju 4 tahun hukumanku. Selama ini, aku berusaha berkelakuan baik, meski awalnya ada banyak rintangan dan gangguan kecil dari para napi yang lainnya. Namun, sebisa mungkin aku bertahan. Berharap suatu saat nanti aku bisa kembali berkumpul bersama keluarga dan putriku tercinta.
Tak disangka, karena kelakuanku yang cukup baik, aku mendapatkan remisi pengurangan waktu hukumanku sekitar setengah tahun. Dan akhirnya aku pun bisa keluar lebih awal dari waktu yang semestinya. Aku dibebaskan hanya dalam waktu 3 setengah tahun.
Jangan ditanya bagaimana perasaanku. Jiwaku sangat bahagia, dadaku yang sesak, hidupku yang terasa mampet kini terasa lega.
Hal yang kuinginkan saat keluar jeruji besi adalah menemui keluargaku. Rumahku surgaku. Aku rindu, rindu suamiku, rindu putriku. Aku berjanji kedepannya aku akan menjadi orang yang baik dan lebih baik lagi.
Langkahku terseok-seok dengan kaki yang terasa terbakar dengan alas kaki yang sangat tipis dan sudah tak keruan bentuknya, pergi menuju sebuah rumah, dengan perasaan bahagia yang tak tergambarkan.
Namun, tubuhku seketika melemas, saat diriku menanyai seorang satpam yang tengah berjaga. Ternyata, sang pemilik rumah saat ini tengah berada diluar kota. Bahkan sangat jarang pulang ke rumahku.
Pikiranku menerka bahwa suamiku tak mungkin bepergian selama itu. Dan ragaku mematung kaku mendengar bahwa nama pemilik rumah bukanlah atas nama suamiku. Dan tepat 3,5 tahun yang lalu pemilik rumah sebelumnya sudah menjual rumah ini pada tuannya.
Dadaku seperti terhantam benda besar yang menggelinding, dengan ukuran sebesar rumah yang menghimpit tubuhku.
Jika dihitung cermat, rumahku dijual oleh suamiku tepat di hari dimana aku memasuki bui. Pikiranku kalut, hati ini bertanya-tanya di mana keberadaan suamiku? di mana keberadaan putriku?
Mengapa keadaan terasa seolah bertepatan?
Tepat dihari aku masuk bui, kedua orang tuaku meninggal dunia?
Tepat dihari aku masuk bui, suamiku pun menjual rumah kami?
Tuhan, bantu aku mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Bersambung ...
Stamplat-Garut perbatasan, 21 November 2021.