Bab 2: Kalau bunuh diri gagal, ujungnya cacat.
Kupikir, keluar dari penjara adalah keluar dari problematika terbesar dalam hidupku. Nyatanya, Tuhan masih saja bercanda dengan Hidupku. Kini, hidupku terasa semakin hampa.
Tak memiliki siapapun, benar-benar menjadi gelandangan.
Tak ada hal yang bisa kulakukan lagi, hidup tertatih-tatih menjalani sisa hari dan sisa nyawa. Untuk menyambung hidup, kini diri ini terpaksa mengais rezeki dari dengan cara mencari sampah, untuk dimakan.
Di titik tertentu, air mataku mengalir deras. Tuhan salah apa diriku? Hingga kehidupan ini terasa meninggalkan ku.
Hati yang terasa kacau terkadang terbersit pikiran untuk mengakhiri hidup ini. Suatu sore aku pergi ke sebuah tempat, tepatnya ke sebuah jembatan, separuh hatiku berbisik agar diriku membenamkan diri ke sebuah sungai, aku pikir keadaan akan membaik jika diri ini mati.
Hidupku tak lagi berarti tanpa keberadaan suamiku, putriku dan kedua orang tuaku. Aku frustasi. Terbebani predikat sebagai mantan narapidana, mana ada orang yang mau menerimaku. Hati benar-benar putus asa.
"Tuhan! Engkau dimana? Mengapa hidupku sekacau ini? Tuhan engkau di mana? Mengapa hidup aku sehancur ini?" teriakku lantang dengan deraian air mata.
"Halah! Sok-sokan nanyain keberadaan Tuhan dimana! Kamu sendiri dimana saat hidup dalam baik-baik aja!" balas seseorang dengan suara tak kalah lantangnya dariku.
Mataku membulat sempurna dengan kritikan pedas orang tersebut. Aku pun menoleh ke arahnya. Tampak seorang pemuda yang wajahnya terlihat menatap penuh selidik ke arah sungai yang mengalir cukup deras.
Ish! Bibirku mencebik dengan kritikan pria itu. Meski itu kenyataan tapi itu sangat menyentil perasaan terdalam ku. Membuat aku mati kutu dengan ucapannya.
"Kamu yakin gitu, mau lompat dari sini ke sono?!" tanyanya sinis. Lebih terlihat mengejek daripada bertanya.
"Bukan urusan kamu!" protesku kesal. Sudah tahu aku ingin melompat. Untuk apa juga ia bertanya.
Pria itu pun kembali menengok ke sungai dengan tatapan tajam.
"Ini tuh gak terlalu dalam sungainya. Cuma lebar aja. Sungainya pun terlihat bersih dibandingkan sungai yang lainnya. Jadi ... Kalau kamu terjun bebas ke sungai, belum tentu juga kamu mati! Palingan tubuh kamu patah tulang. Kalau gak patah tulang, paling patah punggung, mungkin patah tulang lutut," tuturnya memprediksi. Aku mengerutkan kening dengan ucapannya. Mengapa ia menakutiku? Membuat nyali bunuh diriku ciut.
"Kalau Tuhan belum kehendaki kamu mati, mungkin hidup kamu bakal tambah kacau!" katanya mantap. Menatap selidik kearah sungai.
"Tapi kalau kamu tetap menjalani hidup dan gak loncat, seenggaknya saat ini kamu masih punya tubuh yang sehat bugar," sarannya seraya menoleh ke arahku.
Aku tertegun dengan ucapannya. Apa yang diucapkannya masuk akal. Pria itu pun menyodorkan sebuah roti padaku.
"Nih!" ucapnya.
Aku terdiam ragu untuk menerima.
"Makan aja! Gak ada racunnya kok!" ucapnya judes. Aku mencebik dengan gayanya berbicara. Tegas meski nyelekit.
Perutku memang lapar. Tapi jujur aku memiliki rasa gengsi terhadap pria yang sekonyong-konyong mengomentari ku.
"Ngapain kamu disini?" tanyaku ketus.
"Lagi liat orang yang mau bunuh diri!" jawabnya tegas. Aku menggerakkan kedua barisan gigiku. Jawabnya sungguh mengesalkan. Bukannya merayuku agar menggagalkan rencana bunuh diriku. Tapi malah bersikap acuh padaku. Benar-benar tak ada empati.
"Harusnya, kamu bangkit dan move on! Menjalani sisa hidup ini dengan baik. Kalau kamu ngerasa punya impian yang sulit kamu capai, datangi Tuhan. Minta sama Tuhan apa yang kamu inginkan. Aku jamin, cepat atau lambat harapanmu akan terwujud," tuturnya panjang lebar.
Aku terdiam dengan ucapannya. Perkataanya memang cukup masuk akal. Kusadari memang selama ini diriku teramat jauh dengan Tuhan.
"Percaya sama aku, kalau memang Tuhan belum menghendaki kamu untuk mati, kamu gak akan mati meski dengan cara bunuh diri. Palingan juga kamu cacat," lagi-lagi ia menakutiku.
"Dengar baik-baik, setiap masalah itu pasti ada solusinya. Kalau perlu, aku akan coba bantu kamu. Maka, jangan pernah berpikir kalau dengan mati, kamu bebas dari masalah. Apalagi kamu belum punya amal ibadah yang banyak. Kepala aja belum mampu di jilbabin," tuturnya nyablak.
"Aku seorang narapidana, gak ada orang yang mau nerima aku," ungkapku jujur. Semoga ia mengerti mengapa aku bersikap gila seperti ini.
Pria itu menghela napas panjang, "emang punya kasus apa, ampe kamu masuk ke penjara?" tanyanya serius, ekspresi datarnya menghilang menjadi semakin dingin, pasti dia takut padaku. Atau jijik.
"Orang bilang Aku membunuh," jawabku menunduk malu.
"Orang bilang?" tanyanya mengulang ucapanku. Ekspresinya berubah penuh heran.
Aku mengangguk pelan.
"Kok orang bilang sih?! Kamu sendiri nyadar gak saat ngebunuh?" tanyanya penuh selidik.
Aku menggeleng pelan, otakku berputar ke arah masa silam, "aku terbangun dalam keadaan memegangi pisau yang berlumuran darah. Di depanku pun udah ada seseorang yang tergeletak sudah tak bernyawa dengan 9 kali tusukan pisau, mereka bilang aku mabuk berat," jawabku sendu.
"Apa motif kamu bunuh orang?" tanyanya serius.
"Gak ada! Aku gak kenal orang itu, aku juga gak punya niat sedikitpun buat bunuh orang," jawabku.
"Mustahil! Seenggaknya kamu merasa terancam sama kehadiran itu orang. Semisal kamu melindungi diri dari rencana pemerkosaan," jawabnya tegas.
Aku menggeleng cepat, "aku bener-bener gak tau apa-apa. Bahkan saat itu ada beberapa orang yang datang bersamaan dengan pernyataan bahwa aku yang bunuh orang tersebut," jelasku mengenang kembali hal terburuk dalam hidupku.
"Masa bunuh orang gak ada tujuannya? seenggaknya, kalau kita ngebunuh orang pasti ada alasannya, misalnya karena kita ada dendam pribadi?" tanyanya penuh selidik.
"Aku gak punya musuh!" selaku tak terima jika sikapku dinilai sebagai pribadi yang pendendam.
"Aku bener-bener nggak kenal orang itu! Mungkin memang bener aku mabuk berat!" jawabku tegas.
"9 tusukan itu bukan hal yang mudah untuk dilakukan! pertanyaan aku satu, emang kamu berani nusuk orang?" tanyanya lagi.
Aku menggeleng pelan, "nggak! aku mungkin bukan orang yang taat beragama. Tapi aku punya kontrol diri antara baik dan buruk sebuah sikap," jawabku menunduk. Air mataku menetes lembut. Hatiku bergemuruh hebat, mempertanyakan mengapa keadaan ini terjadi padaku. Karena selama ini aku tak pernah memperlakukan orang dengan kejam.
"Kamu bilang, kamu terbangun tiba-tiba aja kamu melihat mayat dan pisau, kamu juga nggak nyadar dengan perbuatan kamu? Apa mungkin kamu udah jebak?" Pria itu berspekulasi.
"Kecuali kalau kamu seorang psikopat?" ucapnya penuh selidik.
Aku terdiam dengan ucapannya, "dijebak? Aku gak punya lawan!" sangkalku samar. Pikiranku menerawang jauh. Memikirkan siapa orang yang tega berbuat demikian padaku.
"Tapi semua orang menjudge-ku bahwa aku pembunuhnya. Sidik jariku pun ada pada pisau itu," ucap lesu. Meskipun pikiranku masih menerka bahwa mungkin saja diriku dijebak seseorang.
"Kalau pun memang aku dijebak, aku nggak punya bukti bahwa aku gak bersalah, lagi pula ini sudah hampir mau 4 tahun. Sudah terlambat untuk diungkap," ujarku pasrah. Karena semuanya sudah terjadi. Seperti bubur yang hancur. Tak mungkin untuk kembali menjadi nasi.
"Aku juga nggak punya apa-apa lagi, orang tuaku udah meninggal saat kecelakaan, tepat dihari aku masuk sel penjara," paparku penuh putus asa. Seolah batinku menerima sepenuhnya bahwa takdirku terpuruk.
"Dimana suami kamu?" tanyanya dingin.
"Terakhir kali bertemu dengannya adalah hari dimana sebelum beberapa saat aku divonis membunuh. Sejak aku masuk bui, aku tak pernah lagi melihat Mas Pram. Hanya pengacaranya yang pernah datang berkomunikasi denganku," terangku.
"Menurut kamu, kenapa suami kamu gak nemuin kamu lagi?" tanyanya menyelidik.
Otakku pun terbuka dengan pertanyaan pemuda tersebut. Ingin rasanya jujur pada firasatku. Namun, aku terlalu takut menghadapi kenyataan.
Mungkinkah suamiku ada kaitannya erat dengan kejadian empat tahun silam?
Bersambung ...
Stamplat-Garut perbatasan, 21 November 2021.