Bab 3: Hanya Butuh Tuhan disaat Tercekik
"Aku nggak tahu suamiku pindah ke mana. Aku juga nggak tahu di mana anakku berada, aku nggak punya siapa-siapa untuk kuajak berdiskusi. Aku gelap dan gak tau arah," desahku pasrah.
Pria itu menatapku nanar, menghela nafas panjang, "maaf," ucapnya terlihat merasa bersalah.
"Maaf untuk apa?" tanyaku heran.
"Maaf jika aku nggak peka sama perasaan kamu," tuturnya mulai bersikap lunak.
"Nggak apa-apa," balasku melerai rasa bersalah dihatinya.
"Tapi aku nggak suka saat ada orang yang ngatain di mana Tuhan!" protesnya jujur.
Aku terdiam dengan ucapannya.
"Rasanya tuh lucu banget saat ada orang yang bertanya dimana Tuhan. Padahal ia sendiri belum pernah menghadap Tuhan.
Hanya butuh Tuhan disaat tercekik keadaan. Tapi disaat ia bahagia? Ia dimana!" kritiknya tersenyum miring.
"Itu lucu! seolah-olah dia adalah seseorang yang ditelantarkan Tuhan Padahal dia sendiri yang menelantarkan Tuhan duluan!" tuturnya lagi.
Aku terdiam dengan ucapannya. Tepatnya tertampar, karena memang benar di masa lalu aku yang menelantarkan Tuhan, jadi harusnya aku sadar diri kenapa Tuhan pun menelantarkanku, karena memang aku duluan yang menelantarkan Tuhan.
Mataku berkaca-kaca. Ingatanku berkelana ke alam masa lalu, dimana hidupku dengan Mas Pram yang penuh bahagia namun lupa dari siapa nikmat dan anugerah itu tercipta.
Air mata pun luruh menyusuri pipiku dengan lembutnya. Ucapan pria ini benar-benar membuka jalan pikiranku.
"Makasih atas ucapan kamu, paradigma kamu membuka jalan pikiran aku," tuturku apa adanya. Mengusap lembut cairan bening yang begitu sering memeleh dipipiku akhir-akhir ini.
Pria itu hanya menoleh ke arahku.
"Aku Ridho," ucapnya tegas.
"Ridho atas apa?" tanyaku tak mengerti. Aneh! Tiba-tiba saja dirinya mengatakan rido.
"Namaku Ridho! bukan Rido apa!" kritiknya mengerutkan keningnya.
"Oh! Maaf, jadi maksudnya kamu ngenalin diri, ya" balasku tersenyum malu.
"Iya! Biar kamu manggilnya enak," jawabnya kembali serius.
Aku terdiam, tersenyum sedikit, "Makasih Dho," tuturku lagi
"Panggil Aku, Ridho! Jangan Dho doang!" pintanya datar. Aku mengangguk patuh.
"Ya udah, aku mau pulang! Ada urusan penting! Pesan aku, bangkitlah! kamu masih diberi kesempatan Tuhan untuk hidup, di luar sana ada banyak orang yang mati-matian berusaha memperjuangkan hidupnya, sedangkan kamu yang memiliki sehat, malah ingin mati. Itu tuh sama aja dengan gak menghargai pemberian Tuhan," celetuknya.
"Aku lihat Tubuh kamu baik-baik saja, itu ibarat modal untuk kamu bangkit dan berjuang! Harusnya kamu pergunakan untuk meraih apa yang bisa kamu raih. Jika merasa impian kamu sulit diraih, coba dekati Tuhan, mungkin kamu harus melibatkan Tuhan untuk ngewujudkan impian kamu," imbuhnya lagi. Tiba-tiba saja dia jadi begitu cerewet.
"Perbaiki apa yang bisa kamu perbaiki. Lepaskan apa yang gak mungkin digenggam lagi! kamu punya tubuh yang sehat, kamu bisa menghirup dan punya segudang kebebasan, lebih baik nikmati. Jika di suatu tempat gak lagi nerima kamu, cobalah pergi ke tempat lain yang mungkin gak tahu masa lalu kamu," tuturnya lagi.
"Kamu gak perlu cerita pada semua orang tentang cerita masa lalu kamu jika itu bikin orang ilfil. Kecuali orang itu yakin bisa jaga rahasia kamu," sambungnya lagi.
Aku tersenyum, "makasih Ridho," ucapku lirih. Ridho pun terdiam.
"Satu lagi, jangan tanya Tuhan dimana berada! Jangan merasa diri ditelantarkan Tuhan, kalau kamu sendiri yang duluan menelantarkan Tuhan," pesannya tegas.
Aku mengangguk paham.
"Jangan cuma mengangguk!" protesnya tersenyum miring. Aku menautkan kedua alis.
"Datang gih ke masjid!" titahnya santai.
"Ngapain?" tanyaku heran.
"Ngapain!? Kamu tanya ngapain ke masjid?" Ridho mengulang ucapanku. Aku mengangguk.
Ridho menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Nyolong kotak amal!" tegasnya.
Aku mengerutkan kening dengan ucapannya.
"Ish! Ya shalat lah!" ketusnya kesal.
Aku tersenyum kecil, mungkin maksud dari perkataannya adalah bercanda. Tapi garing.
"Apa aku pantas pergi ke masjid? Aku banyak dosa, seperti yang kamu bilang, bahkan kepala aja belum di jilbabin," keluhku menunduk.
"Gak ada syarat mutlak bahwa solat itu harus bersih dulu dari dosa. kamu pelan-pelan saja dekatin Tuhan. Berdoa sama Tuhan, minta agar kamu dipertemukan lagi sama suami kamu dan putri kamu," sarannya panjang lebar.
Aku terdiam dengan penuturannya. Layakkah aku minta sesuatu pada Tuhan? Sedangkan aku selama ini begitu jauh dari Tuhan.
"Kamu udah makan?" tanya Ridho.
Aku menggeleng pelan. Selain memang tak ada nafsu makan, aku pun tak memiliki uang.
"Nih!" Ridho menyodorkan uang 100.000 Rp padaku.
Aku kembali menggeleng pelan, malu rasanya jika harus diberi.
"Kenapa?" tanya Ridho mengerutkan keningnya.
"Aku gak mau terus-terusan diberi, aku gak mau berhutang budi," jawabku jujur.
"Ish! Siapa juga yang beri! Ini tuh minjemin. Suatu saat nanti, kalau kita ketemu, terus kamu punya uang, balikin lagi tuh duit sama aku!" ungkapnya tanpa sedikitpun rasa bersalah di wajahnya. Ini salahku, kegeeran.
Aku menautkan alis, salah menebak jalan pikiran pria tegas tersebut.
"Oh, aku kira sedekah," lontarku.
"Ya udah terserah kamu. Mau dianggap sedekah boleh. Mau dianggap minjen juga boleh," ucapnya penuh bijak.
Meski tegas dan terkesan tak berperasaan, tapi Ridho memiliki pemikiran yang simpel dan logis.
"Makasih Dho," ujarku untuk yang ke sekian kalinya.
Ridho menghela napas panjang," nggak papa. Aku juga makasih banget sama kamu, karena dari kamu, aku belajar untuk bersyukur di hidupku yang cukup banyak masalah.
Karena ternyata ada orang yang lebih parah masalahnya dari aku," paparnya menatap kosong pada sungai.
"Tapi, beneran dari hati yang paling dalam aku mujiin kamu," ucapnya serius.
"Muji aku? Untuk?" tanyaku tak mengerti.
"Untuk ketabahan kamu dan kekuatan kamu," pujinya tulus.
Aku tersenyum miris, "kalau aku beneran kuat, gak mungkin aku akan bunuh diri," balasku pelan. Hampir tak terdengar.
"Eh iya juga ya," timpalnya menyipitkan matanya menatap padaku. Aku pun memalingkan wajah. Harusnya aku tak berceloteh demikian. Seolah mengingatkan sisi lemahku.
"Kalau kita gak ketemu lagi, gimana Dho?" tanyaku mengalihkan pembicaraan kami.
"Kalau kita ketemu, silakan balikin. Kalau enggak, gapapa. Itu buat kamu. Anggap aja itu hadiah," balasnya datar.
Meski Ridho memiliki karakter bicara yang asal nyeletuk, tapi aku sungguh bersyukur atas pertemuan kami. Darinya dan ucapannya pikiranku terbuka kembali setelah badai putus asa itu menutupi seluruh pikiranku beberapa saat lalu.
Dering telepon dari saku celana Ridho pun nyaring terdengar. Dengan cepat ia meraih selulernya lalu membuka sandinya.
Dalam hitungan detik, wajah Ridho terlihat tegang dan serius. Aku tak tahu Ridho mendapatkan kabar apa.
"Aku pergi dulu!" pamitnya seraya tergesa-gesa menaiki motornya. Meninggalkan diriku yang belum sempat bertanya padanya apa yang tengah terjadi.
Punggung Ridho pun perlahan menjauh dari posisiku saat ini. Aku pun memandangi uang 100.000 pemberian darinya. Tersenyum tipis dengan sikap pria itu. Untuk kesan pertama pertemuan kami, kukatakan dalam hati bahwa Ridho adalah seorang pria yang baik dan tegas.
Terima kasih Tuhan, setidaknya untuk beberapa hari ke depan, aku tidak perlu pusing memikirkan untuk makanku.
Yang harus ku pikirkan saat ini adalah di mana aku harus berteduh?
Tuhan beri aku jalan ...
Sesuai kata Ridho yang menyarankan agar diriku pergi ke masjid, pikiranku berputar bagaimana caranya untuk menemukan masjid terdekat.
Tapi, aku gembel kalau ke masjid lalu diusir? Bagaimana?
Meski ragu, aku pun pergi ke sebuah masjid kecil, berharap Tuhan mau menerimaku?
Bersambung ...