Keynan yang diharapkan, tapi malah William yang datang. Pria itu menatap prihatin ke arah Ely yang tampak kesakitan. Ia tidak menyangka jika kejadian akan separah ini.
"Kalau saja waktu itu aku gak membiarkan kamu pulang sendiri, El." William memandang infus di tangan Ely.
"Ya udah sih, lagian gue juga males di sana."
"Tapi dari informan yang gue kirim buat menyelidiki kasus ini, kayaknya ada yang mau bunuh lo, deh!" Rhudy menoleh menatap William.
"Ma ... maksudnya?" Ely menegakkan badannya. Ia menatap Rhudy yang masih terpaku pada layar ponsel.
"Ya. Ada orang yang sengaja ingin membunuh William. Mereka mengira di dalam mobil itu dia, bukan kamu." Rhudy menggelengkan kepala. "Picik sekali." Rahangnya mengeras dan Ely bisa menangkap emosi yang melingkupi hati Rhudy.
"Tenang dulu, Rhu. Jangan nething." Anie mencoba tidak berburuk sangka. Tapi, ucapan seseorang yang pernah menelfonnya masih masih terus terngiang di telinganya. Tentang nyawa harus dibayar nyawa.