"Berapa banyak total kerugian yang kita alami?"
Seorang pria paruh baya dengan wajah angkuh berbicara. Di ruangan dengan dominasi warna cokelat muda, terdapat kisaran 40 orang dengan ekspresi tak kalah angkuhnya, hanya seorang pria berambut putih yang tengah berdiri lah yang memiliki aura biasa. Selain itu semuanya memakai lambang masing-masing di lengan pakaian, sebagai penanda status dan derajat. Mereka para perwakilan distrik yang hadir. Penyebab kekacauan di distrik timur adalah ulah mereka.
Menurut mereka, tempat itu hanyalah pembuangan sampah, terlebih banyak penjahat berkeliaran bebas. Tak pantas untuk berdiri terlalu lama, dan cepat dimusnahkan.
"Untuk manusianya sendiri—"
"Aku tidak peduli dengan korban jiwanya, mau mereka matipun aku tidak peduli, kau paham maksudku kan?" sela pria lain yang merupakan pimpinan distrik barat. Ia lah yang membawahi distrik-distrik lain.
"Hanya persenjataan dan biaya pemulihan dari para penjaga saja yang lumayan."
"Biaya pemulihan?" Ulangnya merasa tak suka.
"Ada banyak yang terluka dari pihak kita," lanjutnya menjelaskan.
"Pecat mereka, dan bayar gaji seadanya," katanya memerintah.
"Tapi—"
Baru saja lelaki tua berusia sepuh ingin melanjutkan ucapannya, pria angkuh tadi tersenyum miring.
"Atau kau yang ingin dipecat?"
"Tidak Tuan, akan saya jalankan perintah anda," katanya pasrah. Ia tak memiliki kemampuan yang mumpuni, terlebih usianya yang telah menua. Ia masih harus memikirkan nasib anak dan cucunya di rumah. Tak sampai hati ia jika mereka harus terusir dari sana ke tempat yang tak layak huni.
Yang lainnya, hanya bisa membagikan sedikit pendapat saja, karena kewenangan mereka tak begitu besar, lagipula banyak yang memilih mencari aman.
Daripada sok bijak. Setidaknya gaji mereka tak dipotong dan tunjangan mengalir terus. Persetan dengan masyarakat yang kekurangan makanan ataupun meregang nyawa.
Gelas-gelas penuh, kue-kue berjejeran, sekali lihat orang akan berpikir mereka sangat makmur, sayangnya hal itu hanya untuk kalangan atas saja, sebab yang berada di bawah tak memiliki apa-apa.
***
Masing-masing dari mereka saling terdiam. Bahkan Kai yang tak tahu apa-apa ikut menghening. Sebenarnya mereka tahu, Wisley bukan tipe orang yang suka berbohong. Tapi, ada banyak hal yang terlalu tiba-tiba terjadi.
Dan agaknya hal tersebut sedikit diluar dugaan.
Mereka, anak-anak yang lahir pada masa ini, bahkan masyarakat sebelumnya, tidak tahu pasti kapan sebenarnya tembok kokoh itu berdiri, dan penyebabnya.
Yang mereka yakini, tembok itu tetap tegak untuk melindungi. Salah satu kebanggaan sebab ia begitu kokoh, sulit sekali untuk menembusnya.
Namun kini, terlihat lubang setinggi satu meter dengan diameter yang cukup untuk dilalui untuk dua kali ukuran seorang Theodore.
"Apa aku bermimpi?" Suara barusan berasal dari Zed. Ia memajukan langkahnya, berusaha menyentuh dinding yang selama ini hanya bisa dilihat dari jauh sebelum sempat dicegah.
"Oh, ini keras," katanya melanjutkan sambil mengusap permukaan dinding, kepalanya ia dongakkan, dan itu benar-benar tinggi.
Satu-persatu dari mereka ikut maju, melakukan hal yang sama dengan Zed, ada binar kekaguman terpancar. Ini sungguh nyata.
"Apa kita perlu masuk?" Usul Theodore.
"Memangnya boleh?" sahut Wisley
"Tapi kau yang membawa kami ke sini."
Wisley terdiam sebelum berkata kembali.
"Kalian diam di sini, biar aku saja yang masuk untuk melihat situasi."