Chereads / Legenda Pendekar Naga Putih / Chapter 10 - Tujuh Pendekar dari Cang Nan

Chapter 10 - Tujuh Pendekar dari Cang Nan

Sekarang orang bercadar putih itu sudah benar-benar masuk ke dalam arena pertempuran. Dia menyusup ke dalam kepungan musuh yang sedang bertarung melawan para pendekar.

Melihat keadaan yang sudah tidak seimbang, tanpa banyak bicara, dirinya langsung saja turun tangan. Tongkat berkepala naga berkelebat melancarkan sodokan maut ke beberapa orang musuh.

Di mana tongkat menuju, di situ pasti terdengar jeritan memilukan. Baik itu jerit kesakitan, maupun jerit kematian. Pertempuran yang semula berada di pihak musuh, sekarang mendadak berbalik setelah hadirnya orang bercadar putih itu.

Para pendekar yang hampir kehilangan nyawanya, sekarang mereka bisa bernafas dengan lega. Selembar nyawanya berhasil diselamatkan oleh orang asing yang mengenakan pakaian serba putih.

Terkait siapakah orang itu, tiada seorang pun yang mengetahuinya secara pasti. Namun terlepas apapun itu, para pendekar tersebut merasa sangat berterimakasih kepadanya.

Medan pertarungan di sana mulai berkurang. Hanya seorang diri saka, si orang bercadar putih ternyata sanggup mengobrak-abrik benteng pertahanan lawan. Dengan sebatang tongkat berkepala naga, dirinya berhasil menewaskan puluhan orang musuh hanya dalam waktu yang relatif singkat.

Saat ini, dia baru saja selesai membunuh lima lawannya kembali. Masing-masing dari mereka mengalami luka parah di bagian dalamnya. Niat awalnya, si orang bercadar putih itu ingin segera meyelamatkan Zhang Yi, anak tunggal dari Zhang Yixing, si Pendekar Pedang Tanpa Tanding.

Sayangnya, niat tersebut harus tertahan. Sebab sebelum dia beranjak pergi dari tempatnya, tujuh orang musuh lain baru tiba-tiba di sisinya. Sedetik kemudian mereka langsung mengerubungi orang bercadar putih tersebut. Seolah-olah dia adalah seekor menjangan yang sedang dikepung oleh kelompok serigala kelaparan.

"Hemm, Tujuh Pendekar dari Cang Nan juga ikut serta dalam pembantaian ini?"

Suara si orang bercadar putih terdengar sangat kaku dan dingin. Dibalik cadarnya, wajah itu juga selalu tampil dingin. Seolah-olah dia sangat enggan melihat manusia-manusia yang tidak berperikemanusiaan itu.

Sedangkan di sisi lain, tujuh orang yang dipanggil Tujuh Pendekar dari Cang Nan juga dibuat terkejut. Walaupun masing-masing wajah mereka memakai tudung, tapi sorot matanya jelas memperlihatkan keheranan yang tidak bisa dijelsdksn.

Suasana di sekitarnya tiba-tiba hening.

Beberapa saat kemudian, terdengar salah satu perwakilan dari ketujuh orang yang dipanggil Tujuh Pendekar dari Cang Nan tersebut angkat bicara.

"Hehehe … tak kusangka bahwa saudara mempunyai mata setajam elang," katanya seolah-olah memuji. Padahal di hati kecilnya, dia sangat muat melontarkan perkataan tersebut.

Tetapi apa boleh buat, demi mengetahui siapa dan bagaimana latar belakang lawan, dia rela berlaku demikian. Kalau saja bukan karena hal tersebut, tak nanti dia mau memuji lawannya.

Sedangkan di sisi lain, ketika mendengar perkataan tersebut, si orang serba putih pun membalas senyumannya. Tapi bukan senyuman ramah, melainkan senyuman dingin. Seperti dinginnya wajah dia sendiri.

"Bahkan mungkin mataku ini lebih tajam daripada seekor elang pemburu," katanya dengan nada sinis.

"Benarkah?"

"Tentu saja benar. Bukan saja aku bisa mengetahui siapa kalian, bahkan aku juga bisa mengetahui orang macam apakah kalian," ujar si orang bercadar putih dengan sorot mata sungguh-sungguh.

"Memangnya, menurutmu kami ini orang macam apa?" tanyanya penasaran.

"Kalian adalah orang pengecut," jengeknya.

Mendengar perkataan tersebut, ekspresi wajah Tujuh Pendekar dari Cang Nan dibuat berubah hebat. Tujuh pasang mata kemudian memandang tajam ke arahnya. Jelas, mereka merasa sangat marah karena ucapan orang itu.

"Bedebah, sombong sekali kau. Lihat serangan!!!" bentak orang yang berada di sisi paling kiri.

Dia adalah orang yang berada di posisi paling dekat dengannya. Sehingga begitu selesai ucapannya, orang tersebut malah sudah tiba di hadapan si manusia bercadar putih.

Tiga buah pukulan berantai sudah dia lancarkan. Serangannya itu mengarah ke bagian dada, leher dan perut. Tiga serangan beruntun itu sangat cepat. Seolah-olah dia mempunyai banyak tangan dan menyerang secara serentak.

Si manusia bercadar putih tersenyum dingin ketika melihat serangan orang itu. Meskipun memang sangat cepat, namun baginya, hal itu saja masih belum cukup untuk membunuh dirinya. Malah teramat belum cukup.

Dengan gerakan kilat, manusia bercadar putih menggerakkan tubuhnya ke samping kanan dan kiri secara bergantian. Serangan lawan memang cepat, tapi gerakannya jauh lebih cepat lagi.

Wushh!!! Wushh!!!

Tiga pukulan beruntun itu lewat sedikit dari sisi tubuhnya. Kesiur angin yang ditimbulkan dari serangan tersebut mampu mengibaskan rambut si manusia bercadar putih.

Begitu serangan lawan sudah habis, sekarang giliran dirinya yang membalas serangan.

Wutt!!!

Satu pukulan diarahkan ke dada lawan. Gerakannya bagaikan kilat. Tiada seorang pun yang mampu melihatnya dengan jelas.

Bukk!!!

Suara berat terdengar. Keluhan menahan rasa sakit seketika menggema.

Orang itu terlempar dua langkah ke belakang. Hampir saja dirinya jatuh terhuyung, untunglah dia segera bisa mendapatkan posisinya kembali.

Tapi sayangnya, sebelum orang itu mengambil tindakan lebih lanjut, si manusia bercadar putih sudah merangsek ke depan.

Lima pukulan berantai dia layangkan secara serempak. Hanya beberapa kali gebrakan saja, orang tadi sudah mengalami luka dalam yang sangat parah. Saat ini dirinya sedang berada dalam keadaan terduduk.

Sesaat kemudian, dia langsung muntah darah kehitaman. Wajahnya seketika pucat pasi. Pandangan matanya kabur. Tubuhnya menggigil. Entah itu karena kedinginan, atau karena ketakutan. Sebab tidak ada seorang pun yang mengetahui secara pasti.

Enam orang rekannya memandangi dia dengan tatapan tidak percaya. Kemudian mereka memandang pula ke arah manusia bercadar putih. Seolah-olah mereka masih sangsi dengan apa yang baru saja terjadi.

"Bangsat busuk! Mampus kau!!!" teriak salah seorang dari mereka

Wushh!!! Wushh!!! Wushh!!!

Enam orang bayangan tiba-tiba melesat ke depan. Menyerang ke arah manusia bercadar putih. Enam orang itu segera mengeluarkan senjatanya masing-masing. Ada pedang, ada tombak, bahkan ada cambuk pula.

Si manusia bercadar putih tersenyum dingin dibalik cadarnya. Dia masih berdiri tenang di tempatnya. Tongkat hitam berkepala naga itupun masih dia genggam di tangannya.

Posisinya berdiri seperti orang biasa. Seolah-olah dirinya tidak memasang kuda-kuda. Setiap saat seakan bisa diserang dengan mudah.

Siapa sangka, belum tiba keenam serangan hebat itu, mendadak si manusia bercadar putih menggerakkan tongkat berkepala naga miliknya.

Wutt!!!

Kesiur angin dingin menerpa tubuh. Sambara angin tajam menghadang keenam serangan mereka. Si manusia bercadar putih tidak mau memperlambat waktu, dia ingin secepatnya membereskan ketujuh orang tersebut.

"Naga Meraung di Tepi Sungai …"

Wushh!!!

Suara bergemuruh terdengar menggelegar. Seperti ledakan guntur di tengah hujan badai.

Detik berikurn, tongkat berkepala naga itu berputar-putar seperti kincir angin. Bayangan hitam berkelebat ke sana kemari. Keenam penyerangnya kebingungan. Serangan mereka jadi tertahan karena tidak bisa menentukan ke manakah perginya tongkat itu.

Pertarungan sengit terjadi lagi. Sekarang enam orang tersebut sedang berusaha keras menundukkan si manusia bercadar putih.