Anya muncul dari kegelapan dengan membawa obor.
"Bawa obormu kalau ingin menunggu Mas Iko," tegur Anya mengingatkan.
"Ah, maaf. Aku lupa tadi," sahut Sinta tersadar karena terburu-buru ke bibir pantai.
Anya tersenyum, ia tak bisa memarahi Sinta. Karena, jika ia menjadi Sinta, ia juga akan melakukan hal yang sama.
Anya menancapkan obornya pada pasir, seketika wajah keduanya terlihat jelas.
Raut Sinta nampak begitu cemas, ia lalu ikut duduk di pasir bersama Anya. "Kamu bisa tidur lagi Nya," ucapnya.
Anya menggeleng dengan tersenyum. "Aku juga ingin menunggu kakakku pulang," tolaknya dengan halus. Sebenarnya ia hanya ingin menemani Sinta, karena ia tak bisa membiarkan wanita itu menunggu sendirian tanpa senjata. Sedangkan untuk Iko, ia yakin pria itu akan baik-baik saja.
Angin mengobrak-abrik rambut keduanya. Anya memberikan ikat rambut milik Sinta yang dilepas di dalam tenda.
Sinta terkesiap melihat ikat rambutnya berada di tangan Anya. Ia tersenyum dan mengambil ikat itu.