Chereads / The Scenic Acatalepsy / Chapter 4 - Telepon Pesawat Zevanya

Chapter 4 - Telepon Pesawat Zevanya

Sierra Airlines

Perjalanan Denver-Freetown

07.30 P.M AST

Tiga jam sudah pesawat mengudara, membawa Lintang dan rekan-rekannya menuju Freetown, Sierra Leone. Perjalanan mereka itu masih panjang, melintasi bentang luas Pasifik, Hindia, dan Asia. Namun Lintang nampaknya tak begitu tertarik untuk tidur atau beristirahat. Koneksi internet gratis maskapai dimanfaatkannya maksimal untuk mengerjakan beberapa hal yang sejatinya masih dapat dikerjakan begitu mereka tiba.

Bukannya sombong atau sok menjadi paling produktif, hanya saja pelarian Lintang kala bosan adalah pada pekerjaan dan ilmu pengetahuan.

Mengagumkan.

Sudah setengah jam seperti itu, hingga fokus Lintang sedikit teralihkan lantaran ponselnya bergetar.

Zevanya Louise is calling ...

Lintang mengulas senyum manis, kekasihnya perhatian menghubungi, meski tadi sudah berkirim pesan sebelum lepas landas. "Halo, Zevaaa?" sapa Lintang hangat, ramah layaknya berbicara dengan pasien sendiri; anak kecil.

"Hai, Dokter Lintaaang! Udah sampe mana nih?"

Lintang terkekeh geli, "Hmm, dimana ya ini? Mungkin di atas Samudera Pasifik atau Kepulauan Hawaii," jawabnya iseng.

"Kok lama banget sih? Berenang aja yuk ke Afrika? Aku temenin deh."

"Oh ya? Ayo. Naik apa Kita?"

"Pake pelampung bebeknya Shila aja gapapa. Gimana?"

"Emang boleh dipinjem? Ntar Adek Kamu ngambek lagi kayak waktu itu."

"Gapapaa, Aku colong nanti ..."

Lintang tertawa, percakapannya dan Zeva kerap kali acak dan iseng, "Kamu kangen ya sama Aku? Aku lagi di pesawat sampai ditelepon gini. Kalau sinyal pilotnya keganggu gimana?"

"Aku tau kok Kamu pake wi-fi kan? Kamu mana berani nyalain sinyal ponsel."

"Tau aja deh. Jadi kenapa? Kok rajin banget nelfon Aku belakangan?" Lintang menutup laptopnya, bersandar lebih nyaman di kursi.

Terdengar Zeva menghela nafasnya berat, "Kamu beneran perginya setengah tahun ya, Lin?"

Lintang mengangguk, "Iya, Ze. Kenapa? Kamu gak siap ya Kita LDR?"

"He emmm ... tapi Aku seneng dan bangga juga sama Kamu. Kenapa sih Kamu gak izinin Aku ikut juga?" tanya Zeva merengek. Ini kali keempat Lintang mendengar pertanyaan serupa, namun Ia harus tetap sabar menjawab.

"Ze, Aku paling tau kecocokan Kamu dimana, bahkan lebih dari Kamu sendiri. Memang, sebagai Ahli Gizi Kamu sangat mungkin mobile ke pedalaman seperti Aku, tapi jiwa Kamu gak disana, Ze. Aku sarankan Kamu buat menapaki jalur karir lain. Di rumah sakit besar, atau klinik perkotaan misalkan ..."

"Tapi kan Aku belum coba, Lin. Gimana kalau ternyata Aku juga cocok di jalur pengabdian global kayak Kamu?"

Lintang menggeleng, "Kalaupun cocok begitu, Aku nih, calon suami Kamu, gak akan izinkan. Kenapa? Berat, Ze. Aku aja kadang ngeluh, apalagi Kamu."

"Aku manja banget ya, Lin?"

"Hm, iya. Kamu manja, tapi itu gak masalah. Gak semua orang harus berkarir atau melakukan sesuatu yang katanya 'keras'. Kembangkan diri Kamu sesuai kemampuan dan minat, jangan memaksakan diri, apalagi hanya karena ..."

"Ekhm! Kamu yang gak kuat LDR sama Aku," lanjut Lintang menahan senyumnya.

Terdengar Zeva tertawa, menjauhkan ponsel darinya mungkin.

"Kok ketawa? Bener gak Aku bilang? Jangan terlalu bucin lah, Ze. Aku ini setia loh sama Kamu, LDR mah biasa. Cukup Kamu dulu sampe nyusul kuliah S1 ke Amerika buat Aku, jangan lagi kali ini ke Afrika."

"Ya gimana dong? Aku gak bisa hidup tanpa Dokter Lintang soalnya. Eeewwwh!"

Lintang tertawa dalam diam, "Siapa yang ngajarin gombal, hah?! Siapa?! Aku gak pernah ngajarin Kamu begitu ya!"

"Iya, soalnya Kamu ngajarin Akunya cara mendidik anak, menyayangi anak, dan jadi istri yang baik, iya kan?"

"Iya, makanya Aku tanya. Siapa yang ngajarin Kamu gombal?"

"Gak ada sih. Cuma Aku kadang suka denger Bang Niam bucin sama pacarnya begitu, kan Aku pengen ikutan jugaaa ..."

Lintang hanya geleng-geleng kepala, "Ya, suka suka Kamu deh. Yang penting ..."

"Aku sayang Kamu loh ya. Sangat. Ingat itu!"

"Hmm Aku juga sayang banget sama Dokteerr! Tapi tapi tapiii ..."

Lintang kembali tergelak, imut sekali suara Zeva itu, "Apalagi, Zevanyaaa? Apalagi, hm?"

"Dokter Lintang kapan mau ke rumah ngelamar Akuuu? Katanya sayaang?"

****

PRAKK!

Satu tumpukan dokumen dalam folder plastik ditaruh kasar di meja kerja Tara. Yohana pelakunya, senior sekaligus atasannya yang terkenal kasar dan banyak mau. "Saya heran, kenapa Kamu masih aja menyelidiki ini? Ini kan sudah ditutup lama karena kurang bukti. Buang-buang waktu, Gayatri."

"Bukan buang-buang waktu, Bu. Kalau fakta-fakta yang Anda anggap remeh ini benar adanya, pun menyembunyikan fakta lain yang sekarang belum terungkap, itu akan terakumulasi, akan sangat berbahaya," bantah Tara.

Yohana menggaruk pelipisnya sekilas, jengah dengan keras kepalanya bawahan bernama Gayatri Tara ini. "Seyakin apa Kamu? Kalau Kita salah tuduh, salah duga ... itu jauh lebih bahaya. Paham gak sih Kamu?"

"Saya paham kok. Saya juga paham gak ada yang sia-sia, maka Anda sebaiknya dengarkan apa yang Saya paparkan soal kemana saja kemungkinan aliran dana triliunan dari APBN itu! Lilitan kasus ini saling terkait, Bu. Rumit, makanya Kita perlu lama sekali menyelidiki sampai menutupnya tahun lalu, dimana seharusnya tidak seperti itu." Tara tak mau kalah, pantang inisiatif dan idenya dicekal, membuat Yohana menahan emosi, "Baik, Saya akan izinkan, tapi dengan syarat ..."

"Buktikan sendiri, jangan melapor apapun sebelum kebenaran yang Kamu cari itu terungkap. Instansi Kita tidak memasukkan kasus ini dalam daftar prioritas." Yohana mengeluarkan metode gertak ancamannya, berharap Tara akan menyerah.

"Baik, Bu. Memang persis seperti itu rencana Saya."

Oh, rupanya masih bertahan.

"Ya, semoga berhasil, Gayatri. Saya tidak mau menjerumuskan Kamu ke dalam lilitan kasus yang kemungkinan sangat besar ..."

"Jadi Anda sadar jika ini kasus besar, Bu Yohana?" potong Tara, "Dan bisa bisanya Anda hanya diam? Negara Anda dalam bahaya pengkhianatan, pemborosan, dan pemorotan, dan Anda diam saja?" Tara geleng-geleng kepala, "Apa pantas Anda sebagai pimpinan menghindari masalah? Takut terlibat dan menjadi korban politik kotor?"

Yohana diam.

"Pantas saja kalau lembaga ini di cap telah kehilangan taringnya sebagai penjaga integritas negara. Saya curiga lembaga ini malah sudah disusupi koruptor itu sendiri ..."

"Jangan sembarangan, Gayatri! Atas dasar apa Kamu berbicara begitu?"

"Tidak ada dasar, Bu Yohana. Itu hanya kemungkinan terjauh yang bisa terjadi kapan-kapan alias konspirasi."

Yohana mengerutkan dahi, "Kamu itu orang hukum dan intelektual, Gayatri. Kenapa percaya konspirasi?"

"Karena berawal dari konspirasi, kejahatan seseorang bisa terungkap, Bu Yohana. Kenapa Anda tidak paham? Padahal Anda sangat berpengalaman?" Tara balik bertanya.

Yohana menatap Gayatri intens. Sikap mengapi dan menggebu gadis itu tak berubah sejak dulu, "Saya hargai tekad Kamu. Tapi sekali lagi Saya ingatkan, jangan terlalu kentara, atau berlebihan. Kasus ini masih sangat jauh untuk dibenarkan apalagi dipublikasikan. Paham?"

Tara mengangguk, "Paham, Bu."

"Yasudah. Kalau begitu Saya ingin tahu, apa saja yang sudah Kamu lakukan dan dapatkan sejauh ini." Yohana menurunkan tensinya kemudian. Sekesal-kesalnya pada bawahan, Ia harus tau apa yang tengah dikerjakan, bukan?

Gayatri mengeluarkan beberapa lembar kertas dari laci mejanya, "Sejauh ini, tiga perusahan energi dan migas terbukti menerima aliran gelap dana APBN itu, Bu."

"Satu dari tiga perusahaan ini menerima aliran dana paling besar, dan nampak dana itu telah terealisasi dalam berbagai proyek strategis pengeboran minyak lepas pantai dan energi terbarukan."

Yohana mengangguk, "Lalu? Apa tindak lanjutnya?"

"Informan Saya tengah bekerja, mendekat pada personalia Direktur Utama dan jajaran direksi tiga perusahaan tersebut. Secepatnya akan Saya laporkan kembali."