Semua mahasiswa yang ada di gedung seni rupa ikut terkejut saat melihat Gio terjatuh ke lantai dan pelakunya adalah Alda. Gio bangkit sambil mengibas almameternya, tatapannya tak seperti biasa. Gio sedang menahan emosinya.
"Cih! Baru kali ini gue diperlakukan kayak begitu sama cewek, apalagi itu cewek cupu," gumam Gio sambil masuk kembali ke lift.
Langkah Alda terhenti saat teringat perlakuannya tadi, mendorong tubuh Gio sampai terjatuh. Pikirnnya kini kalut dan kembali mengingat kejadian kemarin di super market. Dimana Gio membantunya membayar semua belanjaannya. Keringat berucucuran setiap mengingat perkataan Gio kemarin. Yang mengancam Alda terus.
"Apa Alda udah keterlaluan sama si oplas itu? Tapi, kemarin dia udah baik sih sama Alda. Apa Alda ngalah aja, terus minta maaf? Kelar deh masalahnya. Tapi ... enggak! Ini bukan kesalahan Alda. Cowok oplas itu yang mulai nyari ribut!" gerutu Alda sendirian, yang telah menghentikan langkahnya di koridor fakultasnya.
Alda pun melanjutkan langkahnya memasuki ruang yang bertuliskan 'Seni Rupa' Alda duduk diam di kursinya, sambil menatap lurus ke papan tulis. Setelah beberapa menit menghabiskan waktu dengan ber-argumen dengan pikirannya, seorang dosen masuk sambil menyapa semua mahasiswa.
"Pagi semua, gimana liburan kalian? Menyenangkan bukan. Kali ini Ibu tidak akan memberatkan pikiran kalian karena tugas seni lukis. Karena ini mulai pembelajaran kita, Ibu akan memberi tugas kepada kalian untuk bereksperimen dengan mahasiswa yang lain. Termasuk dengan junior dan senior kalian," jelas seorang dosen wanita dengan tubuhnya yang langsing dan tinggi. Dosen itu berjalan mengelilingi setiap mahasiswa.
Alda fokus dengan memasang wajah malas jika terus dosen seni rupa memberikan tugas. Dosen tersebut berjalan kembali ke depan.
"Tugas yang akan ibu berikan adalah ... kalian harus mewawancarai semua mahasiswa, tak terkecuali. Harus semua,"
"Lah, Buk. Kalau semua, kita bisa lelah dong harus mewawancarai beribu-ribu mahasiswa," potong seorang gadis berkulit putih.
"Makanya, jangan memotong dulu jika Ibu sedang berbicara. Kalian harus memprioritaskan para senior kalian dulu, yaitu para anggota pengurus organisasi mahasiswa,"
Seketika kata itu terlontar, mata Alda membulat lebar hingga menampakkan mata putihnya. Alda meremas erat pena yang dia pegang, dan merasakan keringat dingin di tangannya.
"Kalian harus mewawancarai mereka mengenai pembahasan tema seni rupa dikalangan masyarakat. Gimana? Kalian tertarik?"
"Wah, kalau ini tugasnya sih Buk kita bakal senang banget. Apalagi harus mewawancarai anggota pengurus mahasiswa," ucap seorang mahasiswi yang terlihat senang.
"Bener, Buk. Kami pasti bakal semangat banget ngerjain tugas ini,"
Alda mengernyitkan dahinya, sedikit menggeram mendengar penuturan mereka. Kini, Alda membayangkan harus bertemu lagi dengan Gio dan mereka harus bertengkar untuk kesekian kalinya.
"Baiklah. Mendengar respon dari kalian Ibu rasa penjelasan mengenai tugas ini singkat saja. Tugas ini bisa kalian mulai dari sekarang dan hanya tiga hari. Di hari keempat, silahkan dikumpulkan data dan dokumentasinya. Kalau begitu, Ibu keluar. Semangat menjalaninya," ucap Dosen tersebut tersenyum senang dan langsung melenggang keluar ruangan.
***
Di tempat lain, Gio masih tetap fokus menatap seorang Dosen pria menjelaskan seluk-beluk luar angkasa. Mulai dari tata surya hingga unsur-unsur yang harus diterapkan oleh ilmuan. Kini, dibayangan Gio terlitas wajah seorang gadis yang tersenyum saat kembang api meledak di atas langit. Senyumnya mampu membuat Gio tak bisa berkata apa-apa. Wajahnya kini datar dan tatapannya sendu, kehilangan setengah jiwa yang mungkin tak bisa dikembalikan.
"Gue kangen lo. Lo dimana Auberta?" batin Gio lesu.
"Kalian semua pasti sudah tau mengenai pergerakan tata surya di muka bumi ini. Dari matahari hingga planet pluto yang dianggap telah hilang,"
Penjelasan dari dosen tersebut terdengar buram di penglihat Gio. Gavino yang duduk di samping Gio mengernyitkan dahinya, karena melihat Gio yang menunduk menatap penanya. Hingga Gavino menyentuh tangan Gio, membuat cowok ini tersadar dari lamunannya.
"Lo kenapa?" tanya Gavino sedikit berbisik.
"Enggak, gue gapapa,"
Setelah kelas berakhir, Gio berjalan lesu di koridor kampus sendirian. Dengan kedua tangan melipat di dada dan tatapannya lurus ke depan tanpa nyawa. Saat Gio melewati mahasiswi yang sedang berdiri di sana, membuat mereka menjadi histeri seketika. Karena Gio menjadi bintang di kampusnya kini. Walaupun semua mahasiswi meneriakkan namanya, dia tidak akan bisa mendengar.
Wajah yang tak bersemangat ini, kini hanya berjalan lesu dengan bertahan semampunya. Dari arah yang berlawanan, terlihat Alda yang sedang berjalan mendekat. Saat keduanya berhadapan, tak sedikitpun Gio melirik ke arahnya. Karena, hanya Auberta yang sedang dia pikirkan.
Alda menatap Gio dengan berkerut kening, hingga menghentikan langkahnya. Padahal, saat melihat Gio dari jauh Alda sudah bersiap-siap melanjutkan pertengkaran mereka. Tetapi, saat keduanya berjalan mendekat Gio sedikitpun tak menatapnya.
Alda berhenti dan berbalik menatap tubuh Gio yang semakin menjauh. Entah kenapa, Alda kini menjadi tidak karuan dengan hatinya.
"Lah, si oplas kenapa? Setiap jumpa sama gue pasti dia bakal marah, ini dia malah diam aja. Terus wajahnya lesu kayak gitu lagi," keluh Alda. Karena penasaran, Alda pun mengikuti Gio dari belakang dengan berjalan mengendap-endap.
Gio tiba di taman kampus, dengan gerakan lesu dia langsung duduk di kursi besi yang melingkar. Dengan mengeluarkan benda pipih dari sakunya. Alda yang sedang bersembunyi di balik semak-semak, sedikit mendongakkan kepalanya. Alda memicingkan matanya, melihat Gio sedang menatap seorang gadis berkerudung dari ponselnya.
"Si oplas natap siapa sih? Kayaknya cewek deh, apa itu pacarnya? Emang sih, kata senior yang lain si oplas udah punya pacar. Tapi ... pacarnya enggak pernah muncul. Cih! Kabar angin, mana ada yang mau pacarin si oplas itu," lirih Alda dari balik semak-semak sambil jongkok. Kepalanya nyembul dari baik semak-semak dan menatap lekat-lekat Gio yang memasang wajah sedih.
"Kok, si oplas malah sedih? Elah, kenapa gue jadi kepo gini ya?"
Alda terus memperhatikan Gio yang duduk diam di kursi taman, karena rasa rindunya kepada Auberta tidak dapat dibendung lagi. Hatinya seperti tertusuk belati, karena tidak dapat menemukan setengah jiwanya yang hilang entah kemana.
Saat Alda asyik memperhatikan Gio, tanpa sadar seekor ulat bulu berjalan mendekati tangannya yang memegangi semak bulakar tersebut. Matanya kini terbelalak, Alda paling takut dengan ulat bulu. Alda ingin berteriak, tetapi dia takut ketahuan Gio jika sedang mengintip dirinya. Alda dengan cepat menutup mulutnya saat melihat ulut bulu tersebut berjalan di atas tangannya.
"Enggak! Jangan teriak, kalau Alda teriak si oplas bakal tambah kegeeran nanti dan nuduh Alda pengintip,"
Alda menjadi histeris dengan pikirannya.
Karena katakutan, Alda berteriak sangat kencang, membuat Gio yang terdiam menjadi terlonjak kaget.
"Ulat bulu! Kyaaa. Pergi lo sana!" jerit Alda melonjat-lonjat di tempat dia berdiri.
Kini, Gio mengernyitkan dahinya menatap Alda di sana. Alda yang ketahuan memperlihatkan wajah datar hingga keringat dingin sudah bercucuran. Karena melihat tingkah Alda yang super lucu, membuat Gio terkekeh. Gio tertawa kecil dengan melupakan perasaannya kini.
"Lo ternyata ngikutin gue sampai ke sini? Apa gue bilang, ketampanan gue ini bisa buat lo ketagihan. Lo suka sama gue kan, tapi gue udah bilang kalau lo bukan tipe cewek gue," cerocos Gio mendekat ke arah Alda yang sudah tegang.
"Skatmat! Apa Alda bilang, si oplas bakal berpikir gitu," batin Alda sedikit memejamkan matanya.
"Jadi, lo ngapain di sini? Tapi, karena lo sendiri yang nyerahin diri ke gue, dengan senang hati gue akan mudah buat lo s-e-n-g-s-a-r-a!" ucap Gio menekankan kata terakhirnya.
Gio menarik lengan Alda, kontan Alda menjadi takut karena ancaman Gio.
"Lo mau ngapain, lepasin gue!"
"Ikut gue sekarang!"
Gio terus menarik lengan Alda, membuat Alda meronta-ronta cepat. Mereka berjalan melewati semua fakultas. Saat langkah mereka tiba di depan gedung pengurus oganisasi, suara bass seseorang menghentikan langkah Gio.
"Gio, lo kenapa narik Alda kayak begitu," tegur Rama yang baru saja menuruni tangga kecil di depan gedung tersebut. Alda tersenyum lega karena Rama menghentikan langkah mereka. Alda sudah berlinang air mata karena takut Gio membuktikan ancamannya.
"Kak Rama, tolongin Alda. Si oplas. Ah, maksudnya Kak Gio mau berbuat jahat sama Alda sampe narik-narik lengan Alda," ungkap Alda yang sudah berlinang air mata. Gio dengan cepat melepas lengan gadis ini, karena perkataannya yang tidak sesuai.
"Lo kalau ngomong jangan sembarangan," keluh Gio menunjuk ke arah Alda.
"Sembarangan apa? Tadi aja kamu narik-narik tangan Alda, apa kalau bukan mau nyakitin Alda," sambung Alda dengan nada rendah dan bersikap manis jika di depan Rama.
Rama kini bingung harus membela siapa.
"Cukup! Gue enggak peduli siapa yang punya niat buruk di sini. Lo? Apa maksud lo tadi narik Alda kasar kayak begitu," tutur Rama menunjuk Gio. Gio mengernyitkan dahinya melihat sikap Rama yang berbeda.
"Gue narik dia karena gue mau dia nerima hukuman dari gue,"
"Hukuman apa? Emang Alda berbuat kesalahan. Enggak disiplin? Melangggar peraturan? Alda bukan mahasiswi seperti itu. Jangan mentang-mentang lo presiden mahasiswa, lo bebas memberi hukuman sama mahasiswi yang enggak bersalah!"
Nada ucapan Rama sedikit dinaikkan, dengan menatap Gio sinis. Sepertinya Rama tidak bisa membiarkan Alda disakiti oleh orang lain. Alda yang berdiri di belakang Rama mengejek Gio sambil menjulurkan lidahnya.
"Lah, lo kok malah negur gue kayak begitu?"
"Gue enggak negur lo, tapi lo udah kelewatan batas. Oke. Gue terima lo di sini mahasiswa yang dipandang telaten sama semua mahasiswa dan para dosen. Tapi, lo enggak bisa seenaknya memberi hukuman sama Alda secara paksa seperti tadi. Lo pikir tangannya enggak sakit apa lo tarik-tarik kayak begitu,"
"Lo enggak tau permasalahannya apa, jadi jangan nilai gue kayak begitu dong. Lo kok malah jadi aneh gini sama gue. Lo itu sahabat gue, seharusnya lo dengerin gue ngomong dulu,"
"Apa? Jadi lo mau membela apa, lo mau jelasin apa?"
"Dia punya masalah sama gue!"
"Masalah pribadi? Hooh, gitu. Jadi, jika ini masalah pribadi lo bisa selesain di luar kampus dengan cara bijaksana. Enggak harus di dalam kampus dan memberi hukuman layaknya mahasiswi yang melanggar peraturan,"
"Lo eng -"
"Apa! Lo mau bela diri pun lo bakal salah di mata gue, lo seharusnya ngaca. Lo tau Gio, gue itu sebenarnya benci banget sama lo sejak lo disorot sama semua orang. Terlebih lagi saat lo dipilih jadi ketua BEM. Lo itu enggak pantas jadi Presiden, lo banyak kekurangan. Apalagi lo penyandang disabilitas. Jadi seorang pemimpin itu harus menu -"
BUK!
Satu pukulan mendarat di rahang Rama, membuat Alda terkejut atas perlakuan Gio. Alda membelalakkan mata, karena Rama sampai terjatuh sambil memegangi rahangnya.
"Lo boleh ngehina gue kayak begitu, gue tau gue punya kekurangan. Gue nggak tau apa yang terjadi sama lo, Rama. Kenapa lo tiba-tiba jadi aneh begini, sekalipun lo ngomong gue itu buruk lo tau gue gimana. Beginikah pengakuan lo selama ini!"
"Ya! Ini pengakuan gue yang sebenarnya, lo itu hanya mahasiswa yang tuli! Cocokkah dijadikan bahan tontonan sama semuanya?"
Alda sedikit terkejut mendengar pengakuan Rama yang mengatakan Gio penyandang disabilitas. Matanya kini beralih menatap Gio.
"Apa? Kak Gio penyandang disabilitas dan dia tuli?" batin Alda terkejut.
Rama bangkit dan menghujamkan pukulannya ke arah Gio, membuat cowok ini terpelanting ke bawah. Dari kejauhan, Gavino dan Eros berlarian ke arah mereka, melihat Gio dan Rama yang sedang berkelahi. Gavino menarik tubuh Gio dan Eros membantu Rama bangkit. Suasana menjadi panas, semua mahasiswa mengerumuni mereka.
"Kalian kenapa sih, hah! Kalian bukan anak kecil lagi yang sukanya tawuran, kita ini senior seharusnya tunjukkan sikap baik kalian!" teriak Eros menatap keduanya.
Alda menjadi ketakutan melihat mereka semua, keringat dingin bercucuran. Dia berpikir semua kesalahan dirinya, sampai air mata jatuh menitik.
Napas tersegal-segal di antara keduanya. Gio melepas paksa pegangan dari Gavino dan menatap tajam ke arah Rama.
"Gue bakal ingat perlakuan lo terhadap gue, dimana Rama yang dulu selalu menjadi penengah jika terjadi keributan. Justru sekarang, lo malah jadi biangnya," ucap Gio pelan menatap Rama. Kini, bola mata Gio dengan cepat beralih ke arah Alda yang berdiri di belakang Rama.
"Dan lo! Ini semua karena lo, lo yang buat masalah ini timbul! Jangan harap setelah ini gue bakal diam aja. Lo enggak henti-hentinya jadi pembawa sial! Lo bakal lebih hancur setelah membuat persahabatan kita jadi rusak! Camkan itu!"
Gio pergi dengan perasaan marah. Alda yang merasa dibentak menjadi bergetar karena takut. Gavino dan Eros sedikit bingung dengan penuturan Gio. Apa yang sebenarnya terjadi? Hanya itu yang ada di kepala mereka.
SUKSES!