"Aku akan menjauh dengan sendirinya ketika intuisiku berkata kamu akan menyakitiku."
_Nathaniel Gio Alfaro
***
Alda berlari dengan cepat setelah mendengar ucapan dari Gio yang membuatnya ketakutan. Air matanya telah tumpah, baru kali ini Alda menangis tersedu-sedu hanya karena masalah sepele. Seorang gadis yang begitu ceria dan aktif seketika menjadi tak berdaya saat sebuah masalah baru timbul. Alda meratapi semua yang telah dia lakukan, mulai dari pertengkaran dengan Gio dan sekarang menghancurkan persahabatan Rama dan Gio.
Alda berlari ke luar kampus dan berjalan pelan di trotoar sambil menuntun sepedanya. Rambut panjangnya yang terurai seketika beterbangan saat udara siang hari menerpa wajahnya. Langkah Alda menjadi kelu, saat semuanya tidak dapat dia pahami.
Alda duduk di halte bus, sambil menatap lurus ke depan jalan raya. Kendaraan berlalu lalang di sana, menjadi ribut sesuai aktivitas semua orang. Tetapi, perasaannya kini hancur karena membuat masalah.
"Lo pembawa sial! Lo tau ini semua masalah karena lo, apa lo pikir setelah ini gue bakal dia aja, ha! Tunggu pembalasan gue yang lebih menyakitkan,"
Perkataan Gio terngiang-ngiang di kepala Alda, membuat gadis ini seketika menjadi rapuh. Di hari pertama kembalinya Alda ke kampus, malah menjadi moment menyedihkan. Akhirnya, Alda pun bangkit dan meninggalkan halte bus dengan mengendarai sepedanya.
Gio berjalan cepat ke arah mobilnya, dengan tatapan lurus yang menyiratkan kemarahannya. Dari belakang, Gavino dan Eros mengejar Gio.
"Gio tunggu!" teriak Gavino dan menyentuh pundak Gio. Sang empu yang dipanggil pun menghentikan langkah. Gavino dan Eros mendekat ke arah arah Gio dan berdiri di hadapannya.
"Kita enggak tau apa masalah yang terjadi tadi, tapi enggak seharusnya lo seperti ini Gio. Kita ini berteman, bahkan lo sahabatkan sama Rama. Jangan hanya karena masalah sepele, persahabatan kalian jadi hancur begini," ucap Eros.
"Kalian enggak perlu ikut campur, gue bisa hadapi masalah ini sendiri,"
"Tapi, Gio,"
Gio tak menggubris omongan mereka dan langsung melanjukan mobil sportnya.
***
Tiba di rumah, Gio menghamburkan semua barang-barang yang ada di meja belajarnya. Semua buku jatuh berhamburan sampai terdengar suara keras. Bahunya naik turun tidak bisa menahan emosinya. Franz dan Filician mendengar itu semua dan segera berjalan ke kamar Gio. Betapa terkejutnya saat mereka melihat Gio yang sedang marah.
"Arghhh! Arghhh! Gue benci! Gue benci lo gadis busuk!" jerit Gio yang sudah terduduk ke lantai dan memegang erat kepalanya. Air matanya jatuh seketika. Franz dan Filicia hanya menatap putranya dengan perasaan sedih.
"Auberta, lo dimana? Gue kangen sama lo," lirih Gio pelan dan dapat terdengar hingga ke telinga kedua orang tuanya.
Kini, Franz dan Filicia keluar dari kamar Gio dan sekarang mereka diam. Karena Filicia tidak tahan dengan keadaan Gio sekarang, dia pun masuk dan menemui Gio.
"Gio, kamu kenapa Nak?" tanya Filicia mendekat ke arah Gio dan duduk di hadapannya. Gio mendongakkan kepalanya hingga terlihat wajah Gio yang memerah dan sembab.
"Enggak, Ma. Gio enggak apa-apa," jawab Gio sambil menghapus air matanya.
"Kamu enggak usah berbohong sama Mama. Katakan yang sejujurnya,"
"Gio enggak habis pikir, Ma. Di kampus, ada seorang cewek yang terus buat Gio sial. Dan tadi dia buat masalah baru, hingga Rama jadi benci sama Gio. Padahal, Gio enggak berbuat apa-apa sama dia, tapi karena cewek itu Rama jadi marah" ungkap Gio sambil menatap Filicia dengan teduh.
"Mama ngerti perasaan kamu. Pasti Rama sama pentingnya seperti Gavino, Rama teman pertama yang Gio temui di sini. Mama Ngerti, tapi Gio enggak boleh seperti ini. Gio harus minta maaf, jangan hanya karena orang lain hubungan kalian jadi rusak,"
"Enggak, Ma. Untuk apa Gio minta maaf, dia aja udah jadi teman munafik," keduanya menjadi diam untuk beberapa saat, hingga Filicia bersuara.
"Kamu kangen Auberta?" Gio menatap cepat Mamanya, dan membuang muka dengan lesu. "Mama yakin, jika perasaan kalian berdua masih sama, Tuhan akan mempertemukan. Hanya waktu yang bisa menjawab. Mama obatin luka kamu dulu ya,"
Filicia pun membantu mengobati pipi Gio yang memar akibat perkelahian tadi.
***
Auberta
Dari arah yang berbeda, tampak dua gadis remaja sedang berdiri di depan ruko.
"Kyaa! Audrey, lihat nih Auberta dapat kupon belanjaan gratis,"
"Cih! Giliran dapat pamer aja kamu,"
"Ih, bukan gitu Audrey. Keberuntungan Auberta keberuntungan Audrey juga,"
"Masa?"
"Iya. Audrey enggak mau belanja bareng Auberta, gratis loh,"
"Enggak bisa nolak kalau gratisan, heheh,"
"Ya udah, ayo kita langsung ke mall,"
"Tunggu dulu, kita beli jus yuk. Audrey kehausan nih," ajak Audrey. Auberta pun mengangguk dan berjalan ke arah penjual jus yang berada tepat di depan mall.
"Auberta mau jus apa?"
"Jus lemon aja," jawab Auberta sambil duduk di bangku yang tersedia. Audrey pun memesan dan kembali ke arah Auberta.
"Kamu kayak Kak Gio aja, suka banget jus lemon. Sama-sama punya kesukaan lagi," beo Audrey, seketika Auberta mendengar ucapan itu raut wajahnya berubah. Audrey salah bicara dan langsung menggenggam tangan Auberta.
"Maaf Auberta, Audrey enggak maksud buat ngingetin G -"
"Enggak apa-apa kok, Audrey," potong Auberta mencoba tersenyum.
"Audrey tau, Auberta masih belum bisa melupakan Gio. Audrey ikut sedih, bahkan Auberta belum sempat mengatakan yang sebenarnya kepada dia,"
Tak bisa dipungkiri, Auberta telah meneteskan matanya dan mencoba menahan isakan. Audrey menenangkan Auberta.
"Jujur, Auberta enggak terima sama keadaan ini. Kak Gio pergi terlalu cepat, Auberta belum sempat menjawab perasaannya secara langsung. Bahkan, Auberta enggak tau dimana Kak Gio di makam kan," lirih Auberta menunduk.
"Audrey juga udah berusaha hubungi Om Franz sama Tante Filicia, tapi nomor mereka sama sekali enggak aktif. Keberadaan mereka juga Audrey enggak tau dimana,"
"Berpikir positif aja, mungkin mereka lebih terpuruk kehilangan Kak Gio,"
Audrey tersenyum menatap Auberta yang sudah bisa mencoba melupakan semua kejadian yang membuat dirinya terpuruk. Sejak mendapat kabar Gio telah tiada, Auberta mencoba membangun dirinya menjadi seorang remaja kuat. Bahkan, sampai sekarang Auberta belum tau keberadaan Gio yang masih hidup sampai sekarang. Berada di daerah yang sama dan di tanah yang sama. Hanya waktu yang akan menjawab.
Di depan sebuah mall di Jakarta, dua orang gadis itu sedang berbahagia bersama. Dengan segera memasuki mall tersebut.
"Alda, kamu kenapa lesu banget kayak begitu? Enggak kayak biasanya? Tolong bantu Mama anterin orderan pelanggan ya," ujar Morie kepada putrinya. Tetapi, Alda sama sekali tak bergeming.
Morie sedang mempersiapkan orderan para pelanggan di meja makan. Sedangkan Alda, hanya duduk diam dengan tatapan lesu. Morie menjadi curiga kepada Alda, kenapa tiba-tiba seperti ini. Hingga Mamanya pun memukul meja makan dengan keras, membuat Alda tersentak.
"Nah, kan melamun aja terus Alda sampai omongan Mama enggak didengar,"
"Maaf, Ma," jawab Alda sambil memijit kepalanya.