"Aku … hamil, Bim."
Keadaan jadi hening seketika. Suara-suara keriuhan dalam restoran seakan teredam begitu saja, menyesuaikan suasana beku yang tercipta setelah kejujuran Bulan. Dia masih menunduk. Ada rasa takut untuk mendongak dan berhadapan dengan mata Bima Bagaimanapun, hamil di luar nikah bukan hal yang baik, dan sebagai orang yang punya rasa manusiawi, jujur dia cukup malu membeberkan aibnya sendiri. Akan tetapi dia merasa harus menyampakannya pada Bima agar lelaki itu tidak terus berharap ataupun merasa sakit hati dengan penolakannya.
Bima sendiri terdiam lama. Dia ingin menolak pernyataan perempuan itu barusan, akan tetapi kepalanya menyambung-nyambungkan segala hal yang terjadi pada mereka berdua. Dia merangkai segala keganjilan yang dia alami kala bersama perempuan itu. Dan mau tidak mau, dia percaya dengan ucapan Bulan. Sebab, dari pemikirannya sendiri dia tidak bisa menyangkal atau mencari celah kebohongan perempuan yang membuatnya tertarik setengah mati itu.
"Aku tidak bermaksud berbohong soal …."
"Aku tahu kamu tidak berbohong hanya karena ingin menolak lamaranku, Lan," jawab Bima memotong ucapan Bulan. Dia kemudian menghela napas panjang dan menatap perempuan yang akhirnya mendongak itu, meski masih takut-takut menatap dirinya.
"Ma-maaf," ujar Bulan lirih.
Bima menggelengkan kepala. Meski pengakuan Bulan membuatnya syok, dia tetap berpikir kalau perempuan itu bukan perempuan nakal atau sejenisnya. Dia yakin ada cerita tersendiri yang membuat Bulan bisa hamil di luar nikah seperti sekarang. Rasa sukanya yang besar entah bagaimana terus membantunya membuat pemikiran-pemikiran yang positif tentang Bulan.
"Boleh aku tanya sesuatu?" tanyanya kemudian.
Bulan mengangguk. Dia rasa Bima berhak mendapatkan penjelasan yang baik perihal penolakan dirinya. Apalagi lamaran itu tentu tidak mudah dilontarkan oleh seorang pria kepada wanita.
"Apa kamu akan menikah dengan ayah dari janin dalam kandunganmu?" tanya Bima. "Karena kalau aku lihat, sepertinya kamu tidak sedang dalam persiapan menikah atau dalam komitmen dengan seseorang. Apakah tebakanku salah?"
Bulan mengerjapkan matanya di antara napasnya yang berat. Kemudian, dia mengawali jawaban untuk Bima dengan menggelengkan kepala. "Tidak ada. Aku tidak punya komitmen dengan pria manapun, termasuk ayah dari anak dalam kandunganku," akunya jujur.
Mendengar itu, Bima seketika menghela napas panjang. Badannya terasa lemas, tapi hatinya malah terasa berat. Dia menyandarkan badan ke punggung kursi, lalu menyugar rambutnya dengan jemari. Matanya berlari sekilas untuk mengitari sekitar, sebelum beberapa detik kemudian kembali menatap Bulan yang sudah menunduk lagi. Dia paham kalau Bulan sebetulnya berat bercerita tentang kehamilan itu padanya.
"Yasmin tidak tahu soal kehamilanmu?" tanyanya.
"Tidak," jawab Bulan. "Aku tidak ingin sahabat-sahabatku tahu."
"Kalau boleh tahu, sebetulnya apa yang terjadi sama kamu, Lan?" tanya Bima yang akhirnya dirundung oleh rasa penasaran. Entah kenapa jawaban Bulan sebelumnya membuat dia yakin mengenai sebuah pemikiran yang melintas di dalam kepalanya.
Bulan menautkan jemarinya erat. Dengan keadaan masih menunduk dia menjawab, "Itu kecelakaan, sekaligus kelalaianku." Dia mengehela napas. "Harusnya aku bisa menahan diri, karena kami tidak boleh melakukan itu."
Lampu tebakan di kepala Bima seketika menyala. Dia merasa tebakannya akan benar kali ini. "Timur, right?" tanyanya langsung tanpa basa-basi.
Kepala Bulan yang sebelumnya menunduk kini langsung terdongak. Matanya melebar menatap Bima yang dengan mudahnya menebak hal itu. Dia jadi bertanya-tanya, apakah memang rasa sukanya pada Timur begitu transparan di mata lelaki itu?
"Dari ekspresimu sepertinya aku benar," ujar Bima. "Aku tadinya hanya menebak setelah mengingat reaksimu tiap kali aku melihatmu berinteraksi dengan Timur."
Tidak ada jawban yang Bulan berikan. Dia sungguh malu bertemu muka lagi dengan Bima, walaupun ucapan lelaki itu maupun nadanya tidak menunjukkan penyudutan atau penghinaan atas aib yang sudah dia bocorkan sendiri secara sadar pada lelaki yang baru dikenalnya itu.
"Oke, mari kita lupakan soal itu. Tapi, aku ingin tahu apa rencanamu ke depannya, Lan? Kamu mau bagaimana setelah ini?" tanya Bima.
"Aku mungkin akan pindah," jawab Bulan. "Bagaimanapun kondisi fisikku akan berubah, jadi aku tidak bisa tinggal di sini lagi."
"Kamu akan pindah ke mana?"
"Aku belum yakin, tapi sepertinya aku akan pindah ke kota tempat tinggal ayahku," jawabnya.
Dari jawaban Bulan, Bumi bisa menebak kalau orang tua perempuan itu sudah bercerai. "Kamu yakin untuk tidak memberi tahu dia?" tanyanya.
Pertanyaan itu sudah jelas bagi Bulan tanpa Bumi menyebut nama sakalipun. "Iya."
"Why?"
"Karena dia punya trauma perihal keluarga. Aku tidak mau membebaninya dengan hal yang sebetulnya bukan salah dia. Ini sepenuhnya salahku, karena harusnya aku yang punya kontrol saat kejadian itu," jawab Bulan jujur.
Helaan napas panjang keluar dari mulut Bima. Sungguh, walaupun terkejut sekali dengan apa yang baru saja dia obrolkan degan Bulan, dia tidak bisa memungkiri kalau rasa sukanya tidak lantas hilang. Dia bahkan rasanya ingin memeluk Bulan erat saat ini. Dia juga punya empati pada janin yang dikandung perempuan itu, karena dia juga merasa keputusan Bulan sedikit egois. Akan tetapi, dia tidak punya hak untuk menghakimi keputusan perempuan itu juga. Dia yakin Bulan sudah memikirkannya matang-matang dengan pertimbangan yang tidak dia ketahui.
"Bagaimana kalau kamu pergi denganku ke Prancis?" Tiba-tiba saja ide gila itu melintas dari mulut Bima. Dia menatap Bulan yakin dan berharap perempuan itu mengiyakan idenya. "Tinggal di luar negeri membuatmu lebih aman kalau ingin merahasiakan soal kehamilanmu. Aku juga bisa bantu kamu cari kerja di sana."
Dia yakin bahwa apa yang dia tawarkan adalah sebuah ide gila. Dia harus menjelaskan ini-itu pada ibunya. Akan tetapi, rasanya dia masih tidak rela melepas Bulan begitu saja. Dia bahkan tidak keberatan dengan kondisi kehamilan perempuan itu saat ini.
Sayangnya Bulan menggelengkan kepala sebagai jawaban. Perempuan itu kali ini tersenyum tulus dalam penolakannya.
"Hal itu malah buat kamu sulit, Bim," ujar Bulan. "Kamu harus menjelaskan pada ibumu, dan aku harus berdebat banyak dengan ibuku sendiri dan sahabat-sahabatku."
"Kalau itu yang kamu takutkan, menikah saja denganku. Aku bisa terima kalian berdua. Aku juga bisa kasih penjelasan pada Ibu. Aku yakin ibuku paham dengan kemauanku sebagai putranya. Dengan begitu, kamu tidak perlu menjelaskan banyak hal pada semua orang. Mengikuti suami adalah hal yang sudah seharusnya bukan?" sahut Bima cepat, seakan tidak ada keraguan sama sekali dalam ucapannya.
Bulan terpaku pada ucapan Bima. Dia tidak menyangka lelaki itu bukannya malah membencinya, tapi malah berpikir untuk membantunya.
"No, Bima," tolaknya lagi. "Aku tidak bisa memanfaatkanmu kebaikan ataupun perasaanmu seperti itu." Dia mengehela napas panjang kala melihat Bima mengernyit dan hendak membalas lagi ucapannya. "Aku sungguh menghargai perasaanmu yang tidak berubah bahkan setelah mendengar rahasiaku. Akan tetapi, aku tidak bisa membuatmu merasa tidak dicintai ataupun membuatmu kesepian kalau kita menikah tanpa banyak pertimbangan. Jadi, tetaplah kita seperti ini. Aku tetap dengan keputusanku, dan aku harap kamu bisa mengerti itu."
***
"Eh, Lan, gimana soal Bima?" tanya Yasmin tiba-tiba.
Malam ini Bulan dan Yasmin sedang menonton teater di universitas tempat mereka kuliah dulu. Usai magrib tadi, tiba-tiba Yasmin meminta Bulan untuk menemaninya menonton. Karena terus kepikiran soal Bima, Bulan akhirnya memutuskan untuk ikut dengan sahabatnya itu. Dia berharap menonton teater akan membuat bisa mengalihkan pikiran dari rasa bersalah pada Bima. Namun, kini malah sahabatnya itu mengungkit tentang hal yang berusaha tidak dia pikirkan.
"Hm? Kenapa soal Bima?" tanyanya Bulan pura-pura tidak mengerti.
"Dia sempat bilang mau coba lamar kamu lagi," jawab Yasmin. "Itu anak kayaknya benar-benar tergila-gila sama kamu."
Bulan tertawa palsu. "Padahal aku nggak menarik kan, ya?" Dia berusaha mengalihkan percakapan yang terdengar serius itu dengan mata yang tertuju pada teater yang masih berlangsung separuhnya.
"Kata siapa? Kamu itu mempesona tahu!" sahut Yasmin. Namun, setelah itu dia menggeleng-gelengkan kepala. "Hih, jangan buat aku muji kamu," ujarnya. "Jadi gimana soal Bima? Masih kamu tolak?"
Bulan akhirnya menghela napas dan menoleh ke arah Yasmin. Dia tidak mengerti kenapa Yasmin yang tadinya fokus menonton teater, malah tiba-tiba membahas soal Bima.
"Iya. Aku nggak mau menyakiti rasa cintanya," jawab Bulan. "Aku juga nggak mau membebaninya dengan anak yang bukan miliknya," batinnya kemudian.