Chereads / Hidden Little Secret / Chapter 3 - Testpack

Chapter 3 - Testpack

Bulan keluar dari perpustakaan tempatnya bekerja sambi memegangi sebelah kepala. Akhir-akhir ini tubuhnya serasa melemah. Dia bahkan beberapa kali mengalami mual-muntah di pagi atau sore hari. Hal itu tentu membuat kecurigaannya makin pekat. Namun, rasa takut kalau harus menghadapi kenyataan yang tidak sesuai harapannyalah yang membuat dia tidak siap.

"Aku harus segera pulang kalau tidak mau pingsan di jalan," gumamnya.

Bunyi ponsel kemudian merebut atensi Bulan dari kemelut pikiran. Itu telepon dari Yasmin. Sahabatnya itu pasti mengajak bertemu untuk makan-makan setelah mendaki beberapa gunung selama seminggu ini. Sayangnya, dia sedang tak ingin bertemu siapa pun, terutama Timur. Maka dari itu, dia beralasan sudah dalam perjalanan pulang.

Yasmin: Kalau nggak datang, gue pecat jadi sahabat.

Ancaman yang sangat Yasmin sekali, hingga Bulan hanya bisa menghela napas panjang, dan membawa langkahnya ke pinggir jalan. Dia melirik jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul tiga lebih dua puluh menit.

"Semoga nanti nggak kumat waktu ketemu mereka," gumamnya lagi. "Huh, aku lelah."

Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya sebuah taksi terlihat dari sebelah kanan jalan. Akan tetapi, saat taksi itu melintas, Bulan malah urung melambaikan tangan. Matanya terpaku pada palang sebuah apotek di seberang jalan yang memang sering dia pandangi akhir-akhir ini sepulang bekerja. Tangannya terkepal erat, diikuti kepala yang perlahan menunduk, membawa pandangan mata pada perutnya yang rata.

***

"Kamu habis dari Mars?" tanya Yasmin saat Bulan tiba di restoran yang biasa mereka datangi.

"Bulan baru pulang kerja kali, Yas," sahut Embun.

Dia sebetulnya juga kesal karena dipaksa Yasmin datang, padahal masih sibuk dengan beberapa urusan di toko bunga yang dibuatkan suaminya. Ya, meski urusan itu juga bisa diambil alih pegawai toko.

Yasmin tidak mengatakan apa pun lagi. Dia hanya melipat lengan di depan perut, lalu memberi isyarat dengan matanya agar Bulan segera duduk.

Bulan yang melihat kekesalan di wajah Embun, hanya tersenyum, lalu duduk di sebelah sahabatnya itu. Sekilas, dia lihat Timur yang duduk di seberang meja, sedang menatap dirinya dengan kernyitan di dahi. Namun, dia memilih membuang pandang ke arah lain.

"Mau makan apa, Lan?" tanya Yasmin. Dia bergerak hendak memanggil pelayan, tapi Bulan menghentikannya.

"Aku lagi nggak lapar, Yas."

"Minum aja kalau gitu." Yasmin kembali mengangkat tangan. Namun, Bulan lagi-lagi mencegah.

"Aku bawa air hangat." Bulan mengeluarkan tumbler yang tadi dia isi dengan air hangat dari dispenser perpustakaan.

Yasmin mengangguk-anggukkan kepala. Dia melanjutkan makan udang bakar madunya yang tersisa separuh.

Bulan tahu kalau Yasmin selalu merindukan mereka tiap kali mendaki gunung. Sebab, tak satu pun dari mereka bertiga yang mau diajak menempuh perjalanan berat. Maka dari itu, makan tanpa janjian seperti ini acap kali terjadi.

"Kamu kelihatan tidak sehat, Lan." Timur yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara.

Yasmin dan Embun pun serempak menoleh ke arah Bulan, lalu mengamati kondisi sahabat mereka itu.

"Astaga, Lan. Bilang dong, kalau lagi enggak enak badan," ujar Yasmin dengan nada suara yang menyiratkan penyesalan.

"Masih buntut dari kumatnya maag kamu minggu lalu?" tanya Embun.

Perempuan itu kini mengulurkan tangan untuk menyentuh kening Bulan, karena wajah sahabatnya itu tampak pucat.

Bulan membiarkan tangan Embun. Dia hanya mengulas senyum kala Embun memindahkan tangan ke keningnya sendiri untuk menyamakan suhu.

"Kayaknya nggak demam, tapi agak beda suhunya."

"Jelas beda. Bulan habis dari luar," sahut Yasmin yang langsung dihadiahi pelototan oleh Embun.

"Mau aku antar pulang?" Kali ini Timur yang kembali angkat bicara. Tangan lelaki itu bahkan sudah meraih kunci mobil yang tergeletak di sebelah mangkuk berisi tom yum.

Bulan langsung menggelengkan kepala, hingga membuat rasa peningnya terasa makin kuat. Dia meringis pelan, dan refleks memegang kepala.

"Nah, sakit beneran dia. Udah, antar aja pulang, Mur," ujar Embun. Dia menyentuh bahu Bulan dengan ekspresi khawatir yang kental.

"It's okay. Kita kumpul-kumpul dulu. Aku juga masih kangen sama Yasmin. Udah seminggu lebih nggak ketemu karena dia lebih sayang sama gunung."

Bulan terkekeh pelan. Walau sesungguhnya, dia adalah orang nomor satu yang ingin meninggalkan tempat itu sekarang juga. Namun, dia pun tidak bisa egois. Apalagi kondisi badannya saat ini mendukung. Tidak ada mual yang dia rasa walaupun selera makannya juga masih belum kembali.

"No, no." Yasmin menggeleng. Dia mengembalikan sendok ke piring, lalu mendorong bahu Timur agar lelaki itu segera berdiri. "Antar Bulan pulang. Kalau perlu, bawa dulu ke klinik."

Sekali lagi, Bulan reflek menggeleng kencang. Hal itu tentu membuat rasa sakit di kepalanya semakin terasa, hingga lagi-lagi dia meringis.

"Tuh, kan." Embun kali ini bukan lagi mengusap bahu Bulan, melainkan memukulnya pelan. "Antar sekarang, Mur!"

Tanpa dikomando lagi, Timur segera beranjak menghampiri Bulan. Dia hendak mengambil tas Bulan yang diletakkan di atas meja, tapi sahabatnya itu malah merampas tasnya sendiri saat tangan Timur baru menyentuh talinya.

"Aku bawa sendiri aja." Dia mengulas senyum, berusaha setenang mungkin.

Timur mengangkat bahu, lalu berjalan lebih dulu setelah memastikan Bulan mengikutinya.

"Masih sakit kepalanya?" tanya Timur ketika mobilnya sudah sepuluh menit melaju di jalanan.

Bulan menoleh ke sosok yang mengemudi dengan pandangan fokus itu. Hatinya sudah berat karena harus duduk di mobil yang sama dengan Timur. Dia tidak ingin berbicara dengan sang sahabat, tapi itu suatu hal yang tidak mungkin.

"Iya." Pada akhirnya dia menjawab setelah membiarkan pertanyaan Timur mengapung di udara selama beberapa detik.

"Aku antar ke klinik, ya," tawar Timur.

"Enggak usah. Aku cuma butuh istirahat." Bulan menjawab setenang mungkin agar Timur tidak bersikeras membawanya ke klinik.

"Oke." Timur menyerah. Dia mencoba fokus kembali ke jalanan, tapi terganggu dengan rasa kering di kulit tangannya.

"Lan," panggilnya kemudian.

"Ya?"

"Bisa minta tolong ambilkan handcream di laci?"

Tanpa menjawab, Bulan menunduk dan membuka laci dashboard. Timur memang kerap kali mengeluh atas kulitnya yang kering. Makanya dia pernah menghadiahi lelaki itu handcream saat ulang tahunnya yang kedua puluh satu. Sejak itu, Timur malah selalu membawa benda itu ke mana pun dia pergi.

"Kok nggak ada?" tanya Bulan saat dia tidak menemukan botol hijau muda di sana.

Dia semakin menundukkan badan untuk mengorek seluruh barang yang ada di laci. Namun, tiba-tiba mobil berhenti mendadak, hingga tubuhnya terdorong ke depan dan kepalanya terantuk dashboard cukup keras.

"Bulan!" teriak Timur. "Astaga, maaf." Timur melepas seatbelt-nya, lalu berusaha menegakkan badan Bulan.

"Aku nggak apa-apa," ujar Bulan. Namun, matanya tiba-tiba terbelalak saat perutnya terasa kram. Itu pasti karena tarikan seatbelt yang kuat akibat dorongan badannya.

"Beneran nggak apa-apa?" tanya Timur khawatir. Dia melihat ke dahi Bulan yang tadi terantuk dashboard cukup keras, perlahan memerah.

"Nggak apa-apa. Tadi kenapa?" Bulan berusaha menyembunyikan rasa sakit di perutnya dan melihat ke depan.

Sebuah gerobak berisi kardus berhenti tepat di depan mobil Timur. Orang yang menarik gerobak itu masih menatap mobil dengan ekspresi terkejut dan rasa bersalah.

"Gerobak itu tiba-tiba melintas." Timur mengusap wajahnya. "Aku turun dulu sebentar. Kamu tunggu di sini." Dia kemudian bergerak turun dari mobil untuk menghampiri lelaki tua yang hampir ditabraknya.

Begitu melihat Timur sudah sibuk berbicara di depan mobilnya, Bulan langsung membuka seatbelt dan mengeluarkan ringisan yang sedari tadi dia tahan. Rasa takut menyelimuti hati. Kalau memang dugaannya benar, maka apa yang ada di dalam perutnya kini dalam kondisi bahaya.

Lantas, dia melihat ke luar jendela, mencoba menemukan tempat yang sekiranya punya toilet umum. Dan matanya tertuju pada sebuah bengkel di kiri jalan yang sedang ramai.

"Mungkin aku bisa numpang di toilet mereka," gumam Bulan.

Dia kemudian kembali menatap Timur. Ada perasaan ragu yang masih tersisa. Namun, dia tidak bisa menundanya lagi. Dia membuka tas dan meraih kantong plastik putih dari sana. Dibukanya ikatan plastik itu, untuk kemudian menatap testpack yang tadi dia beli sebelum berangkat ke restoran.