"Saya tidur dengan sahabat saya," ujar perempuan itu dengan suara mengecil di akhir. Isaknya yang sedari tadi tertahan, kembali hadir.
Setelah mendengar pengakuan tak biasa itu, Timur tetap tenang. Tidak ada ekspresi berlebihan apa pun. Matanya juga masih lurus menatap puncak kepala perempuan yang tengah menunduk di seberangnya.
Akan tetapi, lain halnya dengan Bulan. Dia tiba-tiba menunjukkan wajah yang sama risaunya dengan perempuan yang terisak di hadapan mereka. Pendingin udara seketika tidak berfungsi pada tubuhnya. Keningnya mulai basah seiring debar jantung yang terus-terusan meningkat melebihi debar normal.
"Bulan," panggil Timur pelan kala dilihatnya sang sahabat seolah tersesat dalam pikirannya sendiri. Padahal biasanya Bulan jadi orang pertama yang akan mecoba memberikan ketenangan pada pengunjung mereka di ruangan ini.
"Bulan." Dia mengulang panggilannya disertai sikutan pada lengan sahabat perempuannya itu.
Bulan mengerjap. Dia mengangkat kepala dan melihat ke arah kanan, untuk kemudian bertemu pandang dengan Timur. Seketika dia meyakini bahwa pendingin ruangan ini benar-benar hanya sebagai pajangan. Meski begitu, sekuat tenaga dia menahan diri agar gelagat dan suaranya tidak tampak mencurigakan.
"Kenapa?" tanyanya.
Timur memberi kode melalui mata, hingga Bulan terkesiap dan berdiri dari sofa sebelah sahabatnya itu. Dia menghampiri pengunjung ketiga mereka pagi ini, lalu mulai melakukan beberapa upaya menenangkan, seperti memberi tisu, mengusap punggung lembut, dan membisikkan kalimat penguat.
Perempuan bernama Arum itu akhirnya bisa bernapas lebih normal setelah beberapa kali menerima usapan dari Bulan. Dia kemudian mengangkat kepala dan melanjutkan ceritanya.
"Kami sama-sama tidak sadar." Dia menarik napas berat. "Sungguh, kami tidak ada niat seperti itu."
"Bernapas, tenang," bisik Bulan. Padahal hatinya turut memberat mendengar lanjutan kalimat perempuan di sebelahnya.
"Saya takut. Saya takut suami saya tahu." Air mata Arum kembali mengaliri pipi dan jatuh saat tiba di ujung dagu. "Saya juga ta-takut …," ucapnya tersendat, "… ha-hamil"
Kata terakhir lebih berefek kuat pada Bulan. Jantungnya berdegup semakin kencang, hingga dia merasa sedikit sesak. Matanya melirik Timur yang ternyata kini malah menatapnya dengan kenyitan di dahi. Lelaki itu kemudian memberi kode dengan kepalanya agar dia keluar ruangan.
"Keluar kalau kondisimu buruk," ucap Timur tanpa suara.
Bulan menarik napas, lalu berpamitan pelan pada Arum. Setelah itu, dia membawa cepat langkahnya ke luar ruangan. Dia memang butuh menjauh dari sana. Terutama dari Timur.
Ketika pintu ruangan sudah ditutup kembali, Bulan bergegas memasukkan banyak udara ke dalam paru-paru, sampai suara 'ngik' terdengar dari tarikan napasnya.
Di saat bersamaan, di depan halaman sana sosok Embun—sahabatnya yang lain—datang dengan kantong plastik berlogo mini market ternama di tangannya.
"Bulan!" panggil Embun. Sama dengan ekspresi yang ditunjukkan Timur tadi, kernyitan juga muncul di kening perempuan itu. "Kamu kenapa? Kok tiba-tiba pucat begitu?"
Bulan menggeleng. Dia mencoba menegakkan tubuhnya dan berjalan cepat menjauhi pintu. Dia bawa langkahnya menuju gazebo belakang ruangan agar tidak mengganggu sesi curhat di dalam sana.
Embun yang mengikuti Bulan, mengeluarkan air mineral dingin dari dalam kantong plastik yang tadi dibawanya.
"Ini kamu minum dulu," katanya saat sudah tiba dan duduk di gazebo.
Tanpa kata, Bulan langsung mencoba membuka tutup botol. Namun, dia berulang kali gagal karena tangannya saat ini tengah bergetar hebat.
"Kamu kenapa, sih? Sakit? Maagnya kumat?" tanya Embun sambil mengambil alih botol, membuka tutupnya, lalu mengembalikannya pada Bulan. "Perasaan tadi waktu kutinggal ke mini market kamu masih baik-baik saja."
Bulan menghabiskan separuh isi botol berukuran 600 mililiter yang diberikan Embun, lalu kembali menutup botol. Kondisinya kini jadi sedikit lebih baik. Setidaknya dia sudah tidak sesak seperti tadi.
"Terima kasih. Maaf, ya, minumanmu hampir kuhabiskan"
Embun mendengkus, lalu memukul lengan sahabatnya. "Kayak sama siapa aja kamu, Lan," ujarnya. "Terus kamu itu kenapa? Sakit?"
Bulan tahu bahwa dia tidak boleh diam saja atau memperlihatkan isi kepalanya dengan ekspresi wajah. Maka dia langsung merangkai alasan.
"Kayaknya emang maagku kumat. Aku lupa belum sarapan tadi pagi."
"Loh? Tadi waktu kutawarin, katanya udah makan bubur ayam sama Ibu." Ibu yang disebut Embun adalah ibu Bulan.
"Aku emang nggak fokus dari pagi, Bun. Makan bubur itu kayaknya ingatan kemarin pagi." Bulan memperkuat alasannya, karena dia memang kerap kali melupakan jam makan. Apalagi kalau sudah tenggelam dalam kesibukan.
"Huh! Emang dasar!"
Embun sekali lagi memukul lengan Bulan. Lalu, tangannya bergerak mengeluarkan roti rasa pisang yang sejak pagi tadi diinginkannya dari kantong plastik.
Jelas Bulan langsung menolak saat Embun mengulurkan roti itu padanya. "Enggak usah. Ini yang kamu pingin dari tadi. Katanya ngidam banget."
Kali ini Embun memukul lengan bulan dengan bungkus Roti, tidak dengan tangan kosong seperti sebelumnya.
"Nggak usah berisik. Aku bisa beli lagi. Lagian anakku ngerti, kok. Iya, kan, Nak?" Dia mengusap perut yang memang sudah terlihat membesar di balik kaus jingganya.
Biasanya Bulan akan tertawa kalau Embun bicara dengan janin berusia lima bulannya, tapi kali ini tidak. Curhatan Arum tadi kembali meneror kepalanya. Dia menunduk dan melihat perutnya sendiri, lalu menggeleng, mencoba menghalau segala praduga yang bertunas di pikiran.
"Heh! Kok tiba-tiba geleng-geleng gitu? Kamu pikir anakku belum bisa ngerti?" Embun menggoyang-goyangkan lengan Bulan. Perempuan itu memang suka melakukan kontak fisik dengan orang-orang terdekatnya.
"Aku mau tidur sebentar aja, deh, Bun," ujar Bulan demi menghindari Embun yang acap kali peka terhadap keadaan. "Ini kumakan nanti." Dia menunjuk roti rasa pisang di tangan Embun.
"Ya, udah, tidur sana. Nanti kalau di dalam udah kelar, aku ambilin obat maagmu."
Bulan menghela napas lega karena Embun tidak mencegahanya. Dia langsung berbaring miring di gazebo tanpa alas apa pun. Ketika matanya terpejam, bayang-bayang kejadian tiga minggu lalu terlintas kembali. Dia semakin mengeratkan mata dan mencoba mengundang banyak bayangan pengalaman pertamanya camping bersama Yasmin dua bulan lalu untuk pengalihan.
***
Bulan membuka mata saat badannya terhentak pelan. Namun, kelopak matanya seketika melebar saat menyadari dia berada di tempat dan situasi yang jauh berbeda dari sebelumnya. Kini dia sedang duduk di dalam mobil yang melaju dengan seat belt terpasang melintang di badannya.
"Eh, maaf, jadi bangunin kamu. Tadi ada batok-batok kelapa nggak sengaja terlindas."
Itu suara Timur. Bulan terkesiap begitu menyadari bahwa memang sosok Timur yang sedang duduk di balik kemudi. Lelaki itu mengembalikan fokus pada jalanan yang merayap di depan sana setelah melirik dirinya yang terbangun.
"Kok aku bisa di mobilmu?" tanya Bulan.
Dia hafal mobil Timur karena sudah sering diantar-jemput oleh sahabatnya itu. Namun, sejauh yang dia ingat, tadi dia sedang tidur di gazebo belakang ruang curhat mereka.
"Kata Embun maagmu kumat. Suami Embun juga lagi terburu-buru tadi pas jemput. Jadi aku yang antar kamu pulang."
Timur menekan klakson kala mobil di depannya berhenti tiba-tiba tanpa aba-aba dengan lampu rem belakang. Dia dengan cepat memutar kemudi ke kanan, melewati mobil yang berhenti mendadak itu.
"Ah, begitu."
Bulan menghela napas. Lagi-lagi rasa berat menghimpit dadanya. Dia jadi menyalahkan diri sendiri karena tadi memaksa ikut sesi curhat Arum. Padahal sebelumnya, dia tidak terlalu memikirkan apa yang sudah terjadi tiga minggu lalu, juga bisa bersikap seperti biasa pada Timur.
"Oh, iya, Lan," panggil Timur.
Entah bagaimana, Bulan merasakan firasat buruk. Dia menggenggam seat belt di dadanya, lalu menengok ke arah Timur. "Ya?" sahutnya pelan.
"Tiga minggu lalu, apa yang terjadi?"
Itu pertanyaan simpel yang harusnya bisa Bulan jawab lancar. Sebab, dia tau arah pertanyaan Timur, dan ingat betul apa yang terjadi. Masalahnya, sejauh dia mengenal sosok Timur, sekuat itu pula keinginan berbohong mengakar di dadanya.
"Apa?" Pada akhirnya dia pura-pura tidak mengerti.
Timur berdeham. Sebetulnya, dia juga khawatir dengan kejadian tiga minggu lalu setelah mendengar curhatan Arum. Akan tetapi, dia cukup yakin bahwa tidak terjadi hal yang keliru saat itu. Pertanyaan yang muncul di kepalanya, hanya untuk memastikan bahwa apa yang dia khawatirkan tidak benar.
"Aku kayaknya lihat perempuan di kamarku sepulang kita minum di Bitter & Sour waktu itu," ujarnya. "I-itu, kamu?"
Napas Bulan tercekat. Dia mencengkeram erat seat belt yang dari tadi digenggamnya. Dan lagi-lagi seperti di ruangan tadi, pendingin mobil Timur serasa tidak berfungsi dengan benar.