Bulan hamil. Dia sudah memastikannya lewat test pack, juga memeriksakan diri ke klinik kandungan karena sempat mengalami flek setelah kecelakaan kecil bersama Timur.
Kalau ditanya bagaimana perasaannya saat ini, Bulan hanya bisa menggeleng—bingung. Beberapa hari ini pun, dia hanya diam di kamar karena dokter memintanya bed rest untuk sementara waktu. Sebab itu juga dia mengambil cuti. Belum lagi mual-muntah yang kian parah, makin membuat kepalanya tak bisa berpikir jernih.
Akan tetapi, pagi ini dia terpaksa datang ke ruang curhat, karena tidak ingin sahabat-sahabatnya khawatir.
"Wah, itu gelangnya bagus sekali."
Bulan tersentak kecil, sebelum akhirnya melihat ke pergelangan tangan kanannya. Di sana memang ada gelang rantai perak kecil dengan dua gantungan bunga daisy pada ujungnya.
"Beli di mana, Mbak?" tanya Bu Nani—salah satu pengunjung yang sudah lima kali datang ke ruang curhat mereka.
Bulan menyentuh gelangnya dengan jari telunjuk. "Dikasih Timur, Bu."
"Bagus. Cocok sama Mbak Bulan." Bu Nani tersenyum lebar.
"Terima kasih," sahut Bulan. Dia kembali menatap gelangnya.
Gelang itu sebetulnya diberikan oleh pengunjung mereka untuk kekasih Timur. Berhubung Timur tak punya kekasih, jadilah lelaki itu memberikannya pada Bulan.
"Mas Timur itu memang pintar memperlakukan perempuan, ya. Tidak berlebihan, dan pas." Bu Nani tersenyum makin lebar kala membicarakan Timur.
Memang selama lima kali curhat, perempuan paruh baya itu selalu bersama Timur. Sedangkan Bulan baru dua kali ini ikut menemani Bu Nani. Akan tetapi, tepat setelah curhat hari ini berakhir, Timur langsung izin keluar ruangan. Entah ke mana lelaki itu pergi.
"Iya, Bu. Dia memang baik," jawab Bulan. Terlalu baik malah, batinnya.
Matanya kembali terarah pada gelang yang jarang dia pakai. Dia sendiri tidak tahu kenapa hari ini memutuskan untuk memakainya.
"Mbak Bulan sendiri sudah punya kekasih?" tanya Bu Nani. "Eh, maaf. Apa pertanyaan saya tidak sopan?" Ekspresi wajahnya berubah sungkan.
Bulan seketika langsung menggelengkan kepala. Dia tertawa pelan.
"Belum ada, Bu."
"Saya pikir dulu Mbak Bulan sama Mas Timur ada hubungan begini." Bu Nani mengaitkan dua jarinya sambil tersenyum menggoda. "Eh, ternyata kalian hanya sahabat ya."
Lagi-lagi Bulan tertawa, meski hatinya sedikit bergetar dikira oleh orang lain sebagai kekasih Timur.
"Iya, Bu. Kami berempat sahabat dari jaman kuliah."
"Padahal Mbak Bulan sama Mas Timur cocok. Apalagi kalau lihat interaksi kalian berdua, saya gemas sendiri. Ya, kalau situasinya sedang mendukung, pasti waktu itu sudah saya godain kalian berdua." Bu Nani terkekeh. Situasi yang dia maksud adalah saat-saat sulit di mana dia harus menceritakan masalah rumah tangganya secara bertahap.
"Aduh, saya jadi nggak tau harus bersyukur atau bagaimana," gurau Bulan.
Bu Nani menepuk pelan pundak Bulan. Senyumnya menggodanya kini berubah jadi senyum keibuan yang sangat Bulan suka. Itu mengingatkannya pada ibunya sendiri.
"Oh, ya, saya pamit dulu, ya. Mau makan siang sama anak."
Suasana hati Bu Nani sepertinya sudah jauh lebih cerah dibanding sebelum-sebelumnya. Terbukti kini dia mau menghabiskan waktu lebih banyak dengan anak-anaknya. Padahal sebelumnya dia sedikit menghindari interaksi dengan anak-anaknya, karena mereka mulai bisa mencium ketidakberesan dalam rumah tangga orang tuanya.
"Sampaikan terima kasih saya ke Mas Timur, Mbak Embun, sama Mbak Yasmin. Kalau bukan karena kalian, saya pasti nggak akan berani mengambil keputusan besar itu."
Bulan tersenyum. Bu Nani memang telah melalui masalah yang besar. Suaminya berselingkuh, tapi selama bertahun-tahun dia hanya bisa memendam rasa sakit di hatinya sebab tak punya seorang pun untuk berbagi. Dia pun tak bisa menemukan solusi seorang diri. Makanya dia merasa bahwa ruang curhat gratis tak bernama ini sangat membantunya.
"Iya. Ibu jangan lupa terima kasih ke diri sendiri karena sudah jadi perempuan yang sangat kuat dan berani," sahut Bulan.
Bu Nani mengangguk. Dia bangkit dari sofa, mendekati Bulan, lalu memeluk perempuan itu.
"Saya harap Mbak Bulan juga akan selalu kuat menghadapi segala masalah yang bisa menghadang di masa depan."
Sebuah doa yang sangat ingin Bulan amini, tapi kenyataannya tidak semudah itu. Dia mengingat nyawa yang bersemayam dalam tubuhnya, dan merasakan segumpal rasa bersalah. Sayangnya, hal itu tidak sebesar perasaannya pada Timur.
"Semoga." Akhirnya jawaban itu yang keluar dari mulut Bulan. Dia kemudian mengantar Bu Nani sampai ke mobil.
Setelah mobil Bu Nani berlalu, dia mengedarkan pandangan, mencoba menemukan teman-temannya. Namun, tak satu pun yang terlihat.
"Mungkin mereka ke mini market," gumam Bulan.
Dia kemudian beranjak ke gazebo belakang, duduk di sana dengan mata memandang langit yang berwana biru cerah. Hawa panas dari sengatan matahari sedikit menyakiti kulitnya, tapi dia tak berniat beranjak.
"Kasih tau aku, apa yang harus kulakukan?" tanya Bulan lirih sambil mengusap perutnya.
Sewaktu periksa beberapa hari lalu, dokter bilang usia kandungannya sudah sekitar 4-6 minggu. Rasanya dia tidak bisa percaya, tapi itu semua memang nyata. Ada bagian dari Timur dalam dirinya.
"Kamu ceroboh, Bulan." Tangan yang mengusap perut itu berpindah meremas rambut. "Apa yang harus kukatakan pada Ibu?"
Ibu adalah teror baginya selain Timur. Meski dia sudah sampai pada keputusan bulat untuk tidak memberitahu Timur, tapi dia tidak mungkin merahasiakan hal ini dari ibunya. Sayangnya kalau ia jujur pada ibu, perempuan tersayangnya itu pasti akan meminta dia memberitahukan kebenarannya pada Timur.
"Kamu yakin nggak mau berkeluarga, Mur?"
Samar-samar Bulan mendengar suara Embun. Dia pun mendekat ke jendela belakang ruangan yang memang tadi sempat dibukanya sewaktu sesi curhat Bu Nani. Namun, sahutan dari Timur membuatnya menghentikan langkah dan malah memilih bersembunyi lima langkah dari sisi kanan jendela.
"Aku tidak berniat menikah."
Jawaban Timur mengundang nyeri di dada Bulan. Padahal dia sudah tahu kalau Timur tidak mau berkeluarga, apalagi memiliki anak. Hal itu pula yang membuat dia yakin merahasiakan kehamilannya dari lelaki itu.
"Kenapa, sih?" tanya Embun. Suara perempuan itu terdengar gusar. "Kamu berbeda, Mur. Kamu pasti tidak akan seperti 'prempuan' itu. Kamu akan merawat keluargamu dengan baik, seperti yang kamu lakukan ke keluarga Om Johan dan ayah angkatmu."
Bulan menanti. Entah kenapa dia was-was menunggu jawaban Timur.
"Siapa yang bisa menjamin?" tanya Timur. Suaranya berubah jadi dingin. "Perempuan yang dulu merawatku dengan sangat baik itu pun, bisa dengan mudah membuangku."
Tanpa sadar Bulan menahan napasnya, karena lagi-lagi Timur menunjukkan betapa traumanya dia pada kejadian beberapa tahun silam itu.
Bulan bertahan mendengarkan percakapan dua sahabatnya, meski lututnya sudah terasa lemas. Itu juga kebodohannya sendiri, sebab menaruh harapan pada Timur meski hanya seujung kuku.
"No, Timur. Kamu berbeda. Dan yang bisa jamin adalah dirimu sendiri."
Bulan bisa mendengar suara langkah Embun. Mungkin perempuan itu mendekati Timur untuk melakukan kontak fisik seperti biasanya demi bisa menyalurkan rasa tenang.
"Tidak. Aku tidak akan pernah menikah atau memiliki anak. Itu keputusan yang sudah kubuat bertahun-tahun lalu. Tidak ada seorang pun yang bisa merubahnya."
Sudah final. Bulan tak punya harapan lagi. Dia jatuh terduduk di di atas rerumputan.
"Kamu sudah tau keputusanku." Dia berbisik sambil mengusap perutnya sendiri. "Maaf."