"Bulan, makasih," ujar Timur dengan wajah memerah. Pandangan mata yang tidak fokus, menandakan lelaki itu sudah benar-benar tenggelam dalam pengaruh alkohol.
"Pulang, yuk!" ajak Bulan. Dia bergerak risih saat memergoki beberapa lelaki melirik ke arahnya. "Kamu udah mabuk banget."
Timur menggeleng, lalu menunduk. Setelahnya, samar-samar terdengar isakan di antara alunan live music yang sedang memainkan lagu dengan beat cukup kuat.
"Aku ingat sekali apa yang terjadi hari itu, Lan. Perempuan itu … dia …."
Kalimat Timur selalu berhenti di situ, berulang-ulang, tapi tak pernah berlanjut. Bulan hapal betul kebiasaan sang sahabat kala terpengaruh alkohol. Sebab, ini sudah kesekian kalinya dia menemani Timur minum di waktu-waktu tertentu hingga mabuk.
Biasanya mereka berempat. Namun, Embun yang sedang hamil tentu tidak akan mampu menyentuh alkohol. Sedangkan Yasmin masih berkutat di ketinggian Semeru sejak dua hari lalu.
"Perempuan itu, Lan." Timur bersuara lagi. Isakannya kali ini terdengar makin menyesakkan, walau lebih banyak teredam suara musik dan obrolan orang-orang di sekitar mereka.
Meski Timur tak pernah bercerita, Bulan tahu siapa 'perempuan' yang dimaksud sahabatnya. Dia pernah mendengar sedikit kisah masa lalu Timur dari ayah angkat lelaki itu. Dan dia juga yakin bahwa kisah itulah yang melatarbelakangi persetujuan Timur akan ide Yasmin membuat ruang curhat di hari Minggu saat car free day digelar.
"Bulan, perempuan itu …."
Bulan langsung menepuk-nepuk punggung Timur pelan. Setiap kali lelaki itu mabuk dan meracaukan 'perempuan' yang sama, dia turut merasakan sesak.
Sebab saat sadar, Timur akan melupakan semua yang terjadi saat dia mabuk, dan bersikap kuat seperti sebelumnya. Hal itu membuat racauannya saat mabuk tampak seperti omong kosong belaka di mata orang lain, tapi tidak baginya.
"Kita pulang, ya," bisik Bulan.
Dia sebetulnya juga mulai pusing dan mengantuk. Dua gelas bir saja sudah membuatnya sedikit mabuk. Dia tidak sekuat Timur atau Yasmin yang bisa menghabiskan bergelas-gelas racikan alkohol, maupun satu botol utuh wiski dan tequila seorang diri.
"Aku tidak punya rumah." Meski mabuk, Timur bisa menyahuti ajakan Bulan.
Bulan menggeleng. Dia cepat-cepat menekan lonceng yang tersedia di meja bar, lalu meminta tolong bartender untuk memesankan taksi. Setelah berhasil meminta satu taksi menjemput di depan pub, dia kembali merangkul Timur.
"Kamu punya rumah. Kita pulang sekarang!"
***
"Aku nggak mau sendiri," gumam Timur saat dia dan Bulan sampai di apartemennya.
Kalau ada Yasmin dan Embun, mereka pasti akan menertawai tindakan Timur yang seperti ini. Sikap berbeda itu akan mereka jadikan bulan-bulanan kalau Timur bersikap dingin dan sok cuek ketika sudah sadar.
"Aku nggak ke mana-mana." Bulan membantu Timur naik ke tempat tidur, lalu membuka kaus kaki, jaket, dan ikat pinggang sahabatnya itu.
"Dia …." Timur kembali meracau. Dia bahkan bergerak gusar, hingga membuat Bulan yang hendak turun dari tempat tidur terjatuh di atas tubuhnya.
"Aduh, Timur," keluh Bulan.
Dia berusaha bangkit dengan menjadikan tangannya sebagai tumpuan di sebelah kepala Timur. Sayangnya, tangan Timur malah melingkari badannya, hingga dadanya bertubrukan dengan dada lelaki itu. Seketika jantungnya menggila, dan rasa panas merambati seluruh tubuh.
"Pada akhirnya aku sendiri," bisik Timur. Air mata masih mengaliri pipi lelaki itu.
Ucapan Timur terasa menyayat, hingga Bulan berbisik di antara pandangan matanya yang mengabur. "Ada aku. Kamu nggak sendiri."
Dia balas memeluk erat leher Timur, meski tadi merasa canggung. Sebab, ini pertama kalinya dia membuat kontak fisik yang lebih dari sekadar pelukan ringan atau rangkulan dengan sahabatnya itu.
Isakan Timur benar berkurang usai ucapan Bulan. Akan tetapi, pelukan lelaki itu mengerat, hingga tidak ada celah lagi di antara mereka. Dia bahkan mulai mengendusi rambut Bulan.
"Timur, hei!"
Merasa ada yang salah, Bulan langsung melepaskan tangan yang sebelumnya melingkari leher Timur. Dia berusaha bangkit dengan menumpukan tangan di sisi kepala lelaki itu lagi. Namun, gerakannya malah membuat Timur bergerak agresif memutar tubuh mereka, hingga kini posisinyalah yang ada di bawah sang sahabat.
"Timur!" seru Bulan. Dia terkejut akibat gerakan Timur yang sangat tiba-tiba itu. Belum lagi napas sang sahabat terasa begitu panas, sampai membuat seluruh badannya meremang.
"Aku nggak mau sendiri," racau Timur lagi.
Tangannya menumpu tubuh bagian atas di sisi kepala Bulan, tapi kepalanya sendiri bergerak mendekati leher sang sahabat.
"Timur!" panggil Bulan mulai panik. Namun, badannya malah kaku meski kepalanya berisik menyerukan berbagai peringatan.
Seperti tuli, Timur terus saja bergerak menghidu aroma leher Bulan. Racauannya terhenti, tapi suara napasnya terdengar makin berat, dan tangannya bergerak di sepanjang punggung Bulan.
Sedangkan Bulan sendiri masih terdiam seperti patung. Dia sangat tahu bahwa apa yang terjadi saat ini adalah salah. Akan tetapi, sentuhan Timur benar-benar mengacak akal sehatnya. Dia sampai menahan napas agar tidak mengeluarkan desahan yang mulai meletup-letup di pangkal tenggorokan.
"Bulan," bisik Timur lembut sambil memasukkan tangannya ke dalam pakaian Bulan. "Rembulan."
Panggilan sederhana itu seketika membuat hati Bulan memenangkan pertarungan yang berkobar dalam kepalanya. Desahan tertahan akhirnya keluar dengan liar, dan dia mulai membalas perbuatan Timur.
***
"Kamu bawa aku pulang?" pertanyaan Timur mengembalikan kesadaran Bulan dari ingatan kejadian tiga minggu lalu.
"Enggak. Aku pulang duluan karena malam itu kamu menjengkelkan banget," sahut Bulan cepat. Terlalu cepat malah, sampai-sampai Timur menoleh dengan kernyitan di dahinya.
"Aku bikin kesalahan apa malam itu?" tanya Timur.
Dia beralih pada mode sok cueknya, dan kembali menatap jalanan yang masih saja merayap di depan sana. Padahal Bulan yakin kalau Timur sedang sangat penasaran.
"Kamu muntah di bajuku." Bulan kembali berbohong.
Dia merasakan ekor mata Timur sedang mengikuti dirinya, hingga dia mencoba merilekskan badannya sendiri agar tidak terlalu memancing rasa curiga.
"Lalu, siapa perempuan yang ada di kamarku?" tanya Timur.
Dia sengaja menunda kata maaf walau merasa bersalah pada Bulan yang sudah menemaninya di hari berat itu.
Bulan mengangkat bahu. "Ya, mungkin pengunjung juga. Kamu kayak baru sekali ini aja bawa cewek ke apartemen." Dia mengatakannya dengan suara yang nyaris bergetar. Beruntung suara klakson dari belakang menyamarkan getaran itu.
"Terus kamu pulang sama siapa?" tanya Timur sambil membelokkan mobilnya ke arah kiri. Rumah Bulan sudah tinggal beberapa meter lagi.
"Sendiri. Bayangin aja bajuku udah kotor sama muntahan, masa aku mau tahan di situ lama-lama." Bulan mengalihkan mata ke jendela di sisi kirinya.
Terjadi keheningan sepersekian detik, sampai akhirnya Timur kembali bicara, "Maaf." Lelaki itu tidak bisa lagi mengabaikan rasa bersalah. "Kalau aku mabuk parah lagi, kamu boleh seret aku sebelum muntah. Itu memalukan sekali."
Bulan memasang tawa palsu. "Lain kali aku sewa tukang pukul buat bawa badan besar kamu itu pulang sebelum benar-benar mabuk."
Timur ikut tertawa pelan. Dia kemudian menghentikan mobilnya di depan pagar rumah berwarna abu-abu dan kuning.
"Makan. Jangan lupa diminum obat maagnya," ujar Timur.
Bulan melihat pagar rumahnya, lalu menoleh ke arah Timur.
"Iya. Makasih udah diantar."
"Anytime. Aku pulang, ya. Ada kerjaan yang harus diurus," sahut Timur, dan diangguki oleh Bulan.
Setelah itu, Bulan cepat-cepat melepas seat belt, lalu turun dari mobil Timur. Dia membuka gerbang, dan menyempatkan diri melambaikan tangan saat mobil lelaki itu bergerak menjauh.
"Astaga," desahnya sembari menyugar rambut frustrasi. Dia berjalan menuju rumah setelah menutup gerbang ala kadarnya.
"Loh, kok udah pulang, Lan?"
Sebuah tanya diikuti suara derit engsel gerbang membuat Bulan membalikkan badan. Dia melihat ibunya datang dengan mangkuk di tangan.
"Iya, Bu. Pada punya urusan," jawab Bulan pelan. "Ibu dari mana?"
"Oh, dari tetangga sebelah. Habis ada arisan," jawab Seruni—ibu Bulan. "Eh, ini ada rawon. Kamu mau?" tawarnya sambil menyodorkan mangkuk ke arah Bulan.
Rawon adalah salah satu makanan berkuah favorit Bulan. Akan tetapi, entah kenapa kali ini aroma makanan itu membuat perutnya tiba-tiba bergolak. Rasa mual itu menghentak kuat, hingga dia cepat-cepat berlari masuk ke rumah, meninggalkan sang ibu di halaman dengan sorot mata bertanya-tanya.