Chereads / Yakinkan Aku Jodohmu / Chapter 19 - Chapter 19 Gara-Gara Salah Ucap

Chapter 19 - Chapter 19 Gara-Gara Salah Ucap

"Siap, Besuk Mas Huda buka jam berapa ya?" Pak Budi terlihat ceria saat tahu kalau ternyata besuk sudah bisa dibantu oleh Mas Huda.

"Jam sembilan Pak, silahkan kalau misalnya saya belum ada bisa dititipkan dulu sama Dewi."

"Oke, kalau begitu saya permisi Mas Huda. Maaf lho, saya sering sekali merepotkan Mas Huda sama Mbak Dewi. He .. he."

"Sama-sama Pak Budi. Saya juga terimakasih sekali Bapak sudah menjadi pelanggan setia di toko komputer kami ini. He ...he,"

"Iya, sama-sama. Baik kalau begitu, saya langsung permisi saja Mas Huda. Ini ... kok sepertinya agak mendung tiba-tiba cuacanya ya."

"Silahkan Pak Budi. Apa iya? Wah ... sedari tadi saya di dalam terus sampai nggak memperhatikan suasana di luar ini Pak." Mas Huda pun lantas memperhatikan cuaca dan menatap langit yang memang benar apa yang baru saja dikatakan oleh Pak Budi.

"Duh ... iya juga ya," gumam Mas Huda sambil melambaikan tangannya saat Pak Budi membunyikan klakson mobilnya sebelum akhirnya meninggalkan toko komputer miliknya. Dengan wajah yang terlihat ada sebuah kekhawatiran, Mas Huda lantas berjalan masuk ke dalam lagi dan meninggalkan Dewi berjaga sendirian di depan. Namun dia sama sekali tidak sadar kalau ternyata Dewi memperhatikan gerak-gerik yang dirasa memang tidak seperti biasanya.

"Mas Huda ini sepertinya memang menunggu, tapi kayaknya dia memang sengaja menutupi dan nggak mau cerita sama saya. Ah ... ya sudahlah, besuk kalau butuh teman curhat paling juga cerita dia." Dewi pun membiarkan bosnya melakukan apa yang diinginkan, sementara dia kembali memainkan ponsel keluaran terbaru yang dia beli sejak sebulan yang lalu meskipun masih belum lunas semuanya.

"Masih belum jawab juga dia." Mas Huda kembali mengecek ponselnya dan sama sekali tidak ada notifikasi kalau ada pesan baru yang masuk. Dia pun lantas menaruhnya kembali dengan melemparnya di atas sofa.

"Yah sudahlah ... kerja lagi sajalah." Mas Huda kembali menyalakan lampu di meja servisnya dan mulai lagi bergumul dengan papan-papan mesin laptop yang sudah dibongkar sebelumnya.

"Nad ... di depan masih ada mata soldier yang masih baru nggak ya?" Mas Huda berteriak dengan keras dan jelasnya.

"Nad? Siapa itu Nad?" Dewi pun sontak langsung berkomentar sambil tersenyum dan berjalan ke belakang. Dilihatnya Mas Huda sedang kebingungan hendak menjawab apa, dan bahkan dia berkali-kali menepuk jidatnya sendiri.

Dewi pun menepuk pundak bosnya dan kemudian berkata lagi,"Nad? Kemungkinannya bisa jadi Nada, Nadifa, Nadiya ... apa lagi ya? Hayo ... siapa Mas Huda? He ... he."

"Haddeh ... udah Wi. Nggak usah dipermasalahkan lagi to, sekarang intinya aku lagi cari mata soldier. Ayo ambilin. Biar cepat kelar lagi ini kerjaan. Buruan!" Mas Huda mencoba mengalihkan perhatian Dewi, meski dia tahu Dewi sudah terlanjur tahu dan dia pasti mulai sekarang sudah mulai bertanya-tanya tentang siapa yang dia panggil tadi.

"Lagian, kok bisa sih kamu Hud? Bisa-bisanya panggil Dewi dengan Nad. Ah, payah kamu." Mas Huda terlihat memaki dirinya sendiri dalam hati meskipun mata dan tangannya sibuk dengan otak-atik barang elektronik yang bertebaran di hadapannya.

"Nih ... mata soldiernya Mas Muhammad Huda Perkasa." Dewi memberikan barang kecil semacam jarum itu kepada Mas Huda dengan sedikit nada jengkelnya.

"Heh! Sama bos sendiri nggak boleh misuh-misuh. Kalau nggak mau dipotong gaji besuk lho kamu ya!"

misuh-misuh = marah-marah.

"Gitu sukanya. Enak ya jadi bos, apa-apa yang jadi senjata potong gaji terus. Huft." Dewi terlihat kesal meski sebenarnya dia juga senang kalau memang ternyata bosnya itu sudah memiliki kekasih lagi. Secara Dewi sudah cukup tahu bagaimana kisah cinta yang dialami Mas Huda terakhir sekitar satu tahun yang lalu. Saat dia sangat merasa dikecewakan oleh salah seorang cewek. Cantik memang, tapi ternyata dia hanya bermain-main saja dengan Mas Huda. Sementara Mas Huda sendiri sudah terlanjur begitu menyayangi Silvy, apapun yang dia inginkan Mas Huda selalu berusaha untuk membelikan. Meski terkadang, uang hasil servis laptopnya sering menjadi sasaran dan setiap akhir bulan yang seharusnya menurut catatan ada penghasilan lebih dari 10 juta, namun uang yang ada hanya ada 6 juta atau bahkan hanya 5 juta saja.

"Ada baiknya juga sih, Mas Huda nggak jadi sama Mbak Silvy itu. Kasihan kalau diterus-teruskan, apalagi kalau nanti keduanya sampai menikah. Ih ... ngeri juga, Mas Huda cuma dianggap sapi perah sama dia." Dewi bahkan sampai berpikiran sedemikian rupa tentang Mbak Silvy.

"Mudah-mudahan saja, siapapun yang sekarang ini sedang didekati oleh Mas Huda adalah perempuan yang benar-benar baik hatinya, tulus dan menerima Mas Huda dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Aamiin."

"Mbak ... bakso nggak?" Seorang tukang bakso tiba-tiba berteriak menawarkan dagangannya dari jalan depan.

"Eh ... Mas! Kebetulan lapar ini. Tunggu dulu ya! Tak tanya bosku mau sekalian apa nggak dianya." Mbak Dewi pun masuk dan menanyakan kepada Mas Huda apakah dia mau sekalian beli bakso buat makan siang.

"Mas Huda, sekalian mau bakso nggak?"

"Bakso? Yo."

"Siap, seperti biasa to Mas?" Dewi pun langsung mengambil 2 mangkuk dan memberikannya kepada Mas Deri, penjual bakso langganan.

"Dua ya Mas, seperti biasane. Yang satu nggak usah pakai toge."

"Iyo Mbak, aku dah hapal kalian kan udah menjadi pelanggan setiap saya."

"Setiap Mas, bukan setiap."

"Oiya, itu maksud saya Mbak. He ... he."

"Udah kelarisan saja ini kayaknya jam segini tinggal separuh aja nggak ada Mas?"

"Alhamdulillah Mbak, yang penting disyukuri."

"Iya betul banget itu Mas. Kalau kita bisa bersyukur itu, hati kita rasanya bakalan ayem."

"Tak bawakan saja Mbak, panas soalnya."

"Oh ya, berapa semuanya?"

"Seperti biasanya Mbak. Dua porsi 20 ribu to, masak lupa. He ... he."

"Bukan lupa Mas Deri. Cuma siapa tahu saja harganya naik, katanya kan harga minyak lagi naik. He ... he,"

"Enggak lah Mbak, lagipula saya masak bakso juga nggak ngaruh-ngaruh amat sama minyak. Oiya, saya taruh di sini ya Mbak Dewi." Mas Deri menaruh kedua mangkuk bakso di atas etalase dan meninggalkannya di sana.

"Mas Huda, sini bentar dong. Sekalian dibumbuin sendiri nih." Dewi berteriak kepada bosnya untuk maju ke depan memberikan sambal, saus dan kecap sesuai seleranya sendiri.

"Ya."

"Mas Deri! Udah nih sambalnya dibawa aja semua."

"Sudah Mas Bos? Mas Deri pun datang untuk mengambil sambalnya.

"Sudah Bos, bawa sana! He .. he." Mas Huda terkekeh saat dipanggil Bos oleh Mas Deri penjual bakso yang memang sudah cukup kenal baik dengannya.

"Kalau saya ini cuma apa to Mas Bos, nggak bisa lah kalau disamakan dengan njenengan." Mas Deri memprotes saat Mas Huda menyebut dirinya dengan sebutan bos juga.

"Lho ... yang paling utama itu, PD dulu. Masalah benar atau tidaknya nanti, biar alam yang menjawabnya Mas." Mas Huda pun berkata dengan penuh keyakinandan tentu saja tidak ada niat untuk merendahkan.

"Amin ... iya Mas Huda. Amin saja deh."

"Tinggal jawab amin saja kok kayak nggak yakin to Mas Deri kamu ini. Itu artinya, Mas Deri sendiri yang sebenarnya belum yakin akan kekuatan Tuhan."

"Yo yakin lah Mas, kalau nggak yakin ngapain saya capek-capek keliling jualan dari pagi sampai sore hari begini to Mas. Ya sudah kalau begitu saya permisi ya Mbak Dewi, Bos Huda. Selamat menikmati makan siang yang agak kesorean. He ... he."

Mas Deri pun mendorong kembali gerobak bakso sederhana miliknya, mencoba peruntungan di jalan-jalan yang lainnya.

*******

Bersambung di chapter selanjutnya ...