Chapter 22 - Ancaman Untuk Mama

"Ma!" geram Sisi yang kembali teringat pada Alan. "Jangan takut, kami akan mencoba untuk menyelamatkanmu!"

"Bagaimana caranya?" tanya Laura yang masih ketakutan.

Sisi memutar bola matanya kearah Owen berharap pria tampan itu mau berpikir sesuatu untuk mamanya.

"Iya, aku tau! Jangan menatapku begitu!" pinta Owen lalu mulai memejamkan mata sambil sesekali mendehem.

"Bagaimana?" tanya Sisi yang sudah tak sabar mendengar keputusan suaminya.

"Diona!" teriak Owen dari kamarnya.

Wanita paruh baya itu kemudian menaiki anak tangga dan bergegas menghampiri Owen yang nampak kebingungan.

"Ada apa?" tanyanya singkat sambil mengerenyitkan dahinya yang sudah penuh denngan keriput.

"Kau punya kamar kosong untuk tamuku?" tanya Owen lalu mendekati Diona.

"Kita punya banyak kamar di kastil ini, jadi tenang saja!" tutur Diona lalu menundukkan pandanganya.

"Kau dengar!" seru Owen pada Laura. "Kau bisa tinggal di sini selama pria jahat itu menghantuimu!"

Laura tersenyum sinis. "Kau pikir semudah itu?"

"Lalu apa maumu?" tanya Owen tak mengerti yang diinginkan mertuanya itu.

"Suamiku bekerja di kantor yang pemiliknya adalah keluarga mafia itu, kau lupa?"

Owen mengangguk pelan, dia lalu memejamkan matanya sambil memiringkan kepalanya. "Kalau begitu suruh dia keluar dari perusahaan itu!"

"Kau gila!" pekik Laura yang mulai tau pria di depannya ini tak punya otak.

"Kau mau keluar dari kekangan mereka kan?" tanya Owen kesal.

"Tapi tak akan semudah itu, Owen!" geram Laura lalu menggelengkan kepalanya yang terus menghela nafas panjang. "Kau juga harus pikirkan keadaan suamiku yang terus dibayang-bayangi keluarga mafia itu!"

"Aku sudah bilang, keluar saja dari sana!" Owen membolakan matanya karena kesal sarannya dianggap sampah.

"Sayang!" potong Sisi lalu menarik tangan suaminya dengan cepat. "Aku rasa kita lebih baik berbincang dulu dengan mamaku di ruang makan, dia bukannya kesal padamu, tapi dia tak mengerti maksudmu!"

Owen dan Laura mengangguk bersama lalu mereka berduapun berjalan bersama hingga ruang makan.

"Kau tak tau betapa hancurnya hatiku saat Alan datang dengan begitu marah karena kepergianmu, Sisi!" tutur Laura saat tiba di ruang makan.

"Kau tak usah cemas, kami akan mengirimkan bantuan untukmu!" ujar Owen sambil menguangkan teh ke cangkirnya.

"Kau hanya tau tentang Sisi saja, kau tak pernah perduli padaku!" geram Laura sambil menatap mata Owen yang masih sedikit mabuk setelah minum bir yang disajikan di kamarnya.

"Mmm, aku sudah bilang. Sebenarnya kami telah mengirimkan bantuan kepada keluargamu!" lanjut Owen mencoba membuat Laura mengerti.

"Bantuan apa?" Laura kembali mengerenyitkan dahinya.

"Kau lupa ada orang yang berdiam di mobil dekat rumahmu untuk mengawasi kalian?"

"Oh!" Laura teringat kejadian beberapa hari lalu saat dia akan menyeberang, matanya sempat melihat dua orang dalam mobil namun tak dia gubris karena khawatir itu orang dari Keluarga Purple. "Aku ingat!"

"Nah!" jawab Owen lalu meneguk teh di cangkirnya.

"Kau yang kirim mereka? Berarti semua pengawalan itu dari keluargamu?" tanya Laura lagi.

"Iya, aku tak mungkin membiarkan mereka mencoba menyakiti kalian, percayalah!"

Laura tersenyum bangga pada pria yang kini resmi menikahi putrinya itu, dia lalu mulai bisa menerima Owen meski kecemasannya masih saja terasa di dadanya.

"Sekarang kau tenang saja, aku pasti akan membantu kalian berjaga, kalau sampai Alan mengganggu kalian, aku pasti akan maju duluan!"

"Paman!" teriak keponakan Owen yang berlari mendekatinya.

"Ada apa?" tanya Owen yang masih serius berbincang dengan mertuanya ini.

"Tante ini istrimu?" tanya keduanya dengan ketus.

"Iya, memangnya kenapa?" tanya Owen lalu jongkok di depan keduanya.

"Dia seperti nenek sihir!" ucap keponakan Owen membuat Sisi membelalakkan matanya.

"Sopanlah pada tantemu!" teriak Owen yang hanya di balas tawa terkekeh dari keponakan nakalnya itu.

Owen lalu membalikkan badannya untuk menenangkan istrinya. "Maaf, jangan kau masukkan hati apa yang mereka katakan!"

"Ih, anak nakal!" gerutu Laura yang mendengar ejekan dari keponakan Owen.

"Iya, mereka memang begitu, tapi itu cuma bercanda. Percayalah!"

"Tapi masalah kita belum selesai, Owen!" lanjut Laura saat teringat sesuatu.

"Apa lagi?" Owen dan Sisi bertanya hampir bersamaan.

"Itu!" tunjuk Laura pada Tuan Tony yang berjalan dengan tegap memasuki ruang makan itu.

"Dasar anak tidak tau diri!" geram Tony lalu menarik tangan putranya dan membantingkan tubuh kekar itu ke lantai.

"Jangan!" pinta Sisi lalu menghalangi Tony meraih Owen untuk kedua kalianya dengan tubuhnya.

"Dasar wanita jalang!" teriak Tony pada Sisi membuat Laura ketakutan. "Kenapa kau dekati putraku, kau ini pembawa sial!"

"Jangan!" kali ini Owen yang menghalangi ayahnya meraih tubuh istrinya.

"Kenapa kau ini, dia ini pembawa sial!" ujar Tony lantang lalu memasang kuda-kuda untuk siap berduel dengan putranya sendiri.

"Dia cintaku, Ayah!" pinta Owen yang berlutut di depan ayahnya yang sangat marah dengan mata memerah.

"Kau gila!" geram Tony bersiap meninju wajah Owen yang sangat ketakutan.

"Tunggu!" teriak Sisi lalu meraih tangan Tony yang begitu kencang mengapal. "Ini semua salahku, jadi aku yang harusnya kau tinju, Om!"

"Kau pikir aku laki-laki apa?" marah Tony lalu melemaskan lengannya. "Seumur hidupku aku tak pernah memukul wanita!"

"Ayah, aku mencintainya!" ulang Owen lalu meminta ayahnya duduk di kursi bersama Laura. "Beri aku waktu menjelaskan semua ini, aku tak akan membiarkanmu marah padaku seperti ini!"

"Apa yang ingin kau katakan kepadaku untuk pembelaanmu?" tanya Tony yang masih berdiri dengan marah di depan putranya.

"Pernikahan Alan itu palsu, dia tak pernah mencatatkan pernikahannya dengan Sisi, percayalah!"

Laura dan Tony mengerenyitkan dahinya, tentu mereka tak berpikir sampai ke sana selain menganggap pernikahan keduanya adalah sah di mata negara.

"Kau yakin?" tanya Laura lalu mengingat sesuatu.

"Yakin! Aku punya buktinya!" ulang Owen sambil tersenyum.

"Laki-laki itu benar-benar licik!" gerutu Laura yang baru tau apa yang dilakukan menantu palsunya itu. "Pantas saja dia tak menunjukkan kepadaku surat pernikahan mereka. Dia hanya bilang jika dia akan memberikan kado pernikahan jika aku berhasil membawa putriku kepadanya!"

"Jadi itu yang membuat kalian...."

"Ayah, kalau kau logikan, mana mungkin kami bisa menikah jika pernikahan itu sah!"

"Kau benar!" ujar Tony yang kini mengerti maksud dari putranya. "Aku terlalu marah hingga melupakan kemungkinan itu!"

"Tapi kita tetap dalam masalah!" ujar Laura sambil berdiri dari tempat duduknya.

"Kau ini bicara apa?" tanya Tony yang baru saja merasa tenang akan kabar dari putranya tentang keapsahan pernikahan Sisi dengan Alan.

"Aku tetap harus membawa suamiku keluar dari perusahaan itu!" jelas Laura yang kembali merasa cemas.

"AH! Itu yang berat!" guman Tony lalu menatap kearah Owen.

"Begini saja!" seru pria tampan itu bersiap mengatakan rencananya.

"Apa?"