Malam itu Selena benar-benar pergi dari rumahnya, air matanya yang sudah dia tahan sejak tadi pagi sudah tidak mampu lagi dia tahan.
Tangannya sibuk memasukkan semua barang-barangnya kedalam koper dan juga tas miliknya. Saat ini Selena benar-benar kehilangan arah, rumah yang dia sangka sebagai tempat pulang nyatanya tidak. airmatanya erus mengalir sejak tadi.
"Kakak." Mentari masuk ke kamarnya tanpa permisi dia langsung memeluk Selena dengan erat.
Tidak ada percakapan diantara mereka, hanya ada suara tangis yang mengisi ruangan itu. Semuanya benar-benar terjadi secara tiba-tiba, dan mereka juga tidak menyangka kalau akan berpisah seperti ini.
Selena semakin mengeratkan pelukannya pada Mentari, mengisi waktu bersamanya sebelum benar-benar pergi dari rumah ini. "Kamu disini baik-baik ya?"
Mentari menatap lekat mata Selena yang terlihat lelah itu, "Kak jangan pergi! Kenapa kakak yang harus pergi?"
Selan tidak mampu menjawab pertanyaan Mentari, karena dia juga tidak tahu kenapa dia yang harus pergi. Kenapa harus pergi hanya karena semua orang tahu orang tuanya, bukankah orang tua akan senang melihat anaknya menjadi kebanggaan? Pertanyaan itu sedang mengisi kepalanya.
"Mentari, kamu harus janji sama aku! Disini kamu harus selalu baik-baik aja!"
"Kenapa cuma aku yang harus baik-baik aja? Kak Selena gimana? Kakak mau kemana malam-malam begini?"
Pergi kemana itupun belum Selena pikirkan, dia hanya mengikuti isi hatinya. Pergi dari sini dan meninggalkan semuanya yang melelahkan. "Nanti kan aku bisa cari tempat tinggal lain, kamu nggak usah khawatir!"
"Bagaimana caranya biar nggak khawatir? Kakak aja nggak tau daerah Jakarta kak."
Selena menghapus air matanya dan menggenggam erat tangan Mentari. "Ingat ya, kita bakal ketemu lagi jadi kamu nggak usah khawatir! Lagian kan aku masih ada hp, jadi kamu masih bisa hubungin aku kapan aja." Selena tersenyum kearah Mentari.
Tidak ingin berlama-lama berada disini, Selena mempercepat berkemasnya. Dia memasukan semua barang-barangnya, bahkan buku-buku novel juga dia bawa. Lebih tepatnya sekarang dia seperti sedang pindah rumah daripada di usir.
"Kak aku pesenin taksi online ya? Biar malam ini kakak tidur dulu di hotel." Menari sudah akan menelpon taksi online tapi segera dicegah Selena.
"Jangan! Kamu bisa kena masalah kalau ikut campur." Selena kembali melanjutkan tindakannya, dia mengganti seragam sekolahnya dengan kemeja kotak-kotak agar tidak diciduk polisi nanti.
Bi Lastri juga tiba-tiba datang ke kamarnya dengan air matanya yang sudah mengalir deras, dia langsung memeluk erat Selena. "Mbak Selena kenapa pergi?"
Selena menghembuskan nafasnya cukup panjang lalu menepuk punggung Bi Lastri. "Udah nggak apa-apa Bi, ini mungkin sudah menjadi takdir aku. Bi Lastri doain aja semuanya aku bisa melewati semua ini."
Bi Lastri melepas pelukannya dan menatap Selena seperti tatapan seorang ibu yang akan mengantarkan anaknya pergi. "Pasti Bibi bakal do'ain mbak Selena, pokoknya dimana pun nanti mbak Selena pergi doa Bibi akan selalu menyertai."
"Udah ya Bi, Selena pamit dulu." Selena menarik kopernya tapi langsung di cegah Bi Lastri.
"Ini kopernya biar Bibi aja yang bawa ya? Sampai depan, kan turun tangga susah."
Selena membiarkan Bi Lastri menyelesaikan tugas terakhir untuk Selena. Mentari juga membantu membawakan tas Selena, walaupun sempat mendapat penolakan darinya.
Jujur saja hati Selena terasa sakit saat melihat Bi Lastri dan Mentari membawa kopernya dan berjalan didepannya. Walaupun mereka bukan keluarga sebenarnya Selena tapi kasih sayang mereka melebihi orang tuanya sendiri.
Selena sempat menghapus air matanya saat Bi Lastri dan Mentari tidak melihatnya. Ternyata perpisahan itu masih berlanjut, Pak Mamat langsung memeluknya saat baru sampai didepan pintu.
Bahkan Pak Mamat yang terlihat galak sekarang bisa menangis di depan Selena. Susah payah Selena menahan air matanya, tapi nyatanya tidak bisa. Mengingat kebaikan yang pernah mereka lakukan membuat Selena semakin merasa kehilangan.
"Mbak Selena malam ini nginap di rumah saya aja ya? Di rumah masih ada kamar kosong kok." Pak Mamat masih bisa tersenyum walau dengan air matanya yang masih menetes.
"Enggak usah Pak, nanti kalau bapak bantu aku bisa kena masalah. Bapak kan tahu gimana sifat papa, jadi Pak Mamat cukup doakan Selena aja ya!"
Pak Mamat mengusap wajahnya yang mulai keriput dan tersenyum kepada Selena. "Mbak Selena orang baik pasti nanti akan ada yang menolong. Pesan Pak Mamat pokoknya mau gimanapun keadaannya inget sama yang maha kuasa ya! Insyaallah nanti pasti bakal ada jawaban."
Selena bisa melihat ketulusan dari wajah Pak Mamat yang menatapnya. Dia sungguh seperti sosok ayah baginya, sejak kecil Pak Mamat sudah mengasuh Selena bersama dengan Bi Lastri. Perpisahan ini ternyata jauh lebih berat dari apa yang ada dipikiran Selena.
Melihat Pak Mamat, Bi Lastri dan Mentari yang menangis didepannya membuat hatinya semakin sakit. "Udah ya! Selena pamit dulu. Buat Bi Lastri sama Pak Mamat makasih banget udah jagain Selena sejak masih kecil, sekarang Selena udah gede jadi bisa jaga diri. Fan kamu Mentari jadi anak yang baik dirumah ini! Jangan pernah merasa bersalah sama aku!"
Selena lalu mengenakan tas punggungnya dan menarik kopernya keluar dari rumah itu. Walaupun Selena mendengar suara dari Bi Lastri dan Mentari yang terus memanggil namanya, tapi dia memutuskan untuk tidak melihat kebelakang.
Kakinya terus melangkah keluar dari rumah ini, mencari rumah yang benar-benar sepeti rumah untuknya.
Sebenarnya Selena sudah kehilangan sosok ayah sejak sepuluh tahun lalu, setiap hari mendapat perlakuan tidak adil sepertinya sedikit demi sedikit mengikis kesabarannya.
Hari ini mungkin puncak dari sakit hati yang di alaminya, Selena tidak ingin kembali lagi menjadi dirinya yang menjadi tempat pelampiasan kemarahan orang tuanya.
Tidak tahu mau kemana Selena hanya melangkah mengikuti kata hatinya. Jarak rumahnya yang benar-benar jauh dari pusat keramaian membuat Selena harus berjalan lebih lama lagi.
Rasa takutnya saat melewati deretan hutan lindung tadi sudah menghilang. Semuanya hilang berganti dengan rasa sedih dan kecewa yang mengisi pikiran dan hatinya.
Semakin lama berjalan membuat kakinya kembali terasa nyeri, akibat lebam kemarin cukup membuatnya kesulitan melangkah.
Terlihat didepan sudah terlihat jalanan besar, Selena mencoba mempercepat langkahnya tapi ternyata malah semakin membuat kakinya terasa sakit.
Dia memutuskan duduk dulu di pinggir jalan sambil mengecek keadaan kakinya yang ternyata lukanya semakin membiru.
"Kamu kenapa?" sosok laki-laki berdiri didepannya dengan tatapan yang terasa sangat teduh.
Selena menatapnya lama sebelum akhirnya menjawab, "Kamu yang kemarin kan?" Selena teringat dengan sosok laki-laki kemarin sore yang membantunya saat terjatuh dari motor.
Laki-laki itu ikut berjongkok didepannya dan menatap Selena.