Chereads / My Idol Is A Werewolf / Chapter 23 - Chapter 23

Chapter 23 - Chapter 23

My Idol Is Werewolf

Chapter 23 :

Di tempat terpisah, seorang wanita dewasa tengah memasak di dapur seorang diri. Dia asyik bergelut dengan beberapa bahan makanan yang siap dirinya sulap menjadi hidangan yang bernilai tinggi.

Dengan tangan-tangan lincahnya, Fanny memasukkan sayuran ke wajah yang sudah berisik bumbu yang selah ditumis sebelumnya. Setelah semua bahan makanan seperti wortel, mie dan lainnya masuk ke wajan, selanjutnya Fanny mengaduknya hingga rata.

Suasana hatinya saat ini sedang bangus, terdengar jelas dari dirinya yang terus bersenandung, menyanyikan beberapa baik lagu yang menjadi favoritnya.

Tidak lupa, Fanny pun menambahkan garam, penyedap rasa dan gula ke dalam masakannya agar cita rasa dari masakannya itu keluar dengan sempurna.

Funny terus mengaduk masakannya, sesekali dirinya bergerak ke kiri guna mencincang beberapa bawang merah yang nantinya dia gunakan untuk menambah keharuman dari makanannya.

Biarpun bekerja seorang diri di dapur, tetapi Funny merasa senang karena dirinya dapat menyiapkan hidangan spesial untuk Baron serta Lars.

Hari ini jadwal Lars tidak terlalu padat, sehingga selepas sekolah dia pasti akan pulang ke rumah. Tidak seperti biasanya yang kerap kali langsung pergi ke lokasi latihan untuk memulai aktivitasnya.

Fanny sesekali melihat jam dinding, masih ada sekitar tiga puluh menit lagi sebelum Lars pulang sekolah. "Semoga, ini semua selesai di waktu yang tepat."

Tangan-tangan itu tidak henti-hentinya mengatuk masakan yang ada di wajan. Sayurannya mulai layu dan aroma dari makanan itu mulai mengisi ruangan.

Funny mulai mencicipi hasil makannya, dia mencari sendok. Namun, ketika dirinya masih sibuk dengan masakan tersebut, tiba-tiba saja seseorang datang dan memeluknya dari belakang.

"I Love You, Mom," katanya bernada lembut. Suaranya begitu merdu saat didengar oleh telinga.

"I love You Too, Boy," balas Fanny, sembari membalikkan tubuhnya, di waktu bersamaan dia mengecup kening pemuda yang berstatus anaknya tanpa ada hubungan darah. Biarpun demikian, Fanny tidak sedikit pun menurutkan kualitas kasih sayangnya pada Lars, sebaliknya dia menumpahkan semua kasih sayangnya pada Lars.

"Ibu sedang membuat apa?" tanyanya penasaran.

Lars pun merenggangkan jarak antara keduanya, dia melirik ke arah wajan yang sudah berisikan beraneka ragam sayuran. Aroma yang keluar pun langsung menggugah selera makannya.

"Ibu sedang membuat makanan kesukaanmu, Boy."

Lars pun mengangguk beberapa kali, mulutnya membentuk huruf O menandakan dia tahu apa yang sedang dibuat oleh Fanny.

"Kalau begitu, cepat siapkan untukku, Ibu. Aku sudah sangat lapar. Seharian ini aku tidak memakan apa-apa," keluhnya, sembari menyandarkan kepalanya di bahu Fanny.

Fanny pun mengelus pipi putra satu-satunya itu, "Pergi dulu sana, ganti pakaianmu. Baru setelah itu kita makan bersama."

Lars kerap kali bermanja-manja dengan Fanny, mungkin di setiap kesempatan dia akan bersikap manja dengan wanita berstatus ibunya tersebut. Sampai detik ini baik Fanny maupun Baron, belum memberitahukan Lars tentang asal usulnya, serta identitas orang tua kandungnya.

Hal ini mereka rahasiakan guna mejaga emosi Lars terlebih dahulu. Andai keduanya memberitahukannya sekarang, maka entah apa yang akan terjadi pada Lars nanti?

Bahkan Fanny, tidak bisa membayangkan bagaimana Lars saat marah atau bersedih nantinya?

"Sudah, pergi sana. Ganti pakaianmu dulu, baru setelah itu kita makan bersama," ulang Fanny meminta.

Sementara itu, Lars menggeleng. Sulit baginya untuk bisa lepas dari Fanny, sungguh dia tidak bisa jauh-jauh dengan sang Ibu. Biarpun itu hanya sekedar berganti pakaian saja.

Fanny pun mematikan kompornya terlebih dahulu. Masakannya telah matang dan siap untuk dihidangkan. Namun, ruang geraknya sedikit terhambat karena Lars tidak kunjung pergi juga.

Fanny ingin marah, tetapi dia tidak bisa berkata kasar apa lagi sampai memukul Lars karena tanggung jawabnya yang begitu besar, sehingga Fanny hanya bisa mengelah napas.

"Ayolah sayang. Kamu harus ganti pakaian dulu, tidak enak saat makan pakaianmu itu kotor," jelas Fanny memberi pengertian.

Semakin Fanny meminta, maka Lars semakin manja. Dia bergelayut manja pada tubuh mungil Fanny, yang sebenarnya sudah tidak sanggup menopang tubuh Lars yang besar dan berat.

Sekarang, Lars memasang wajah memelas, bibirnya sengaja dia majukan dan pipinya mengembung sempurna bagaikan balon udara. Fanny sendiri hanya bisa menggeleng, tetapi tetap dengan senyuman khasnya.

"Sudah, sudah. Jangan bermanja-manja dengan ibumu terus. Kasihan dia, pasti dirinya lelah karena seharian mengurus rumah," ucap seseorang dari arah belakang Lars.

Suara tersebut tidak asing di telinga Lars dan Fanny. Sosoknya pula sangat ditakuti, tetapi dibalik wajahnya yang galak dirinya memiliki hati bagaikan seorang malaikat.

"Benarkah itu, Ibu?" tanya Lars merasa bersalah. Seketika senyuman itu memudar dari wajah tampannya.

Melihat perubahan dari sang putra, membuat Fanny buru-buru menghiburnya, "Jangan dengarkan apa yang ayahmu katakan sayang. Dia hanya ingin mengganggumu saja."

Lars pun mengangkat wajahnya, tetapi raut kesedihan masih tampak terlihat yang membuat ketampanannya sedikit memudar.

"Ibu tidak sedang menghiburku bukan?" tanyanya memastikan.

Fanny menggelengkan cepat, "Tidak sayang. Ayahmu itu sangat suka bergurau. Lagi pula dia itu iri karena dirinya tidak bisa bermanja-manja dengan ibu," balasnya bernada ejekan, sembari memberi lirikan mata tajam.

Lars ikut melirik ke arah ayahnya. Sementara itu, Baron Magnus membuang pandangannya, dia melihat langit-langit seraya bersiul-siul merdu. Tingkah Baron Magnus yang seolah sedang bersikap acuh itu mendapatkan reaksi dari Lars. Dia menaikkan sebelah alisnya.

"Lihat saja sikapnya? Apa itu disebut dengan seseorang yang bersikap dewasa?" sindir Fanny dan langsung disambut dengan tawa oleh Lars, sedangkan Baron Magnus berdengus kesal.

"Aku ..." Dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-katanya tertahan di tenggorokan, sehingga membuatnya terlihat kikuk, ditambah dirinya menyembunyikan rasa malunya itu dengan terus memalingkan pandangan.

"Lihat saja tingkahnya, Lars? Ayahmu itu hanya iri saja padamu, sehingga dia berkata demikian untuk membuat dirimu pergi."

Fanny terus menyindir Baron Magnus di hadapan Lars, yang akhirnya membuat pria bertubuh tinggi besar itu pun meradang.

"Sudahlah, kalian hanya bisa meledekku saja," gerutunya dengan wajah yang sedikit di tekuk, "Sudahlah, Lars. Kau ganti pakaianmu dulu sana, baru setelah itu kita makan bersama. Jika kamu masih sibuk bermanja-manja, maka kapan kita akan makan? Ayah, sudah lapar."

Baron Magnus menutup perkataannya, dan berjalan mendekati Lars serta Fanny. "Ganti pakaianmu dulu, Boy. Setelah kau bersih, barulah kita makan. Kamu itu sudah besar, apa perlu ayah yang mandikan juga?" tanyanya lembut sambil mengacak-acak rambut Lars.

Mendengar tawaran tersebut, membuat Lars buru-buru melangkah mundur, menjauhkan dirinya dari Baron, seolah sedang melihat hantu.

"Aku tidak ingin mandi bersama ayah, atau nanti aku tidak bisa keluar kamar mandi. Ayah selalu mengunci pintu kamar mandi dan membiarkan diriku berada di dalamnya," gerutunya bernada ketus.

Baron Magnus pun tertawa lantang mendengar pernyataan tersebut membuatnya tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. "Kalau begitu, cepat mandi sana, atau ayah akan mengunci kamar mandi dan membiarkanmu terjebak di dalamnya. Mau?" ejeknya semakin menggila.

Lars pun menghentakkan kakinya, dia ingin merengek pada Fanny. Namun, ibunya itu segera memerintahkan dia untuk mandi.

"Sudah jangan banyak bicara lagi. Ganti pakaianmu dulu, ibu tidak suka dekat dengan orang yang kotor," katanya yang ikut mengejek Lars.

Kedua mengejek Lars secara bergantian, membuat remaja tampan itu merasa kesal dan sebal. Pada akhirnya, Lars pun pergi meninggalkan ruangan tersebut untuk berganti pakaian.