No Life, sebuah istilah yang ditujukan kepada seseorang yang sama sekali tidak memiliki sesuatu yang di namakan kehidupan. Bukan seorang Undead, mereka juga seorang manusia namun mereka adalah orang-orang yang lebih memilih menjauhkan diri dari aktivitas di luar ruangan, menjauh dari kehidupan sosial dan menjauh dari hubungan antar manusia. Bagi masyarakat umum, orang-orang seperti itu pantas disebut sampah masyarakat.
"Panasnya …," Ujar seorang pelajar yang mencoba menutupi matahari dengan telapak tangannya. Nama pelajar itu adalah Reyhan, bersekolah di SMA 1 swasta di kotanya dan mulai hari ini ia menginjak tahun ke-2 nya di sekolah itu.
Reyhan berjalan terhuyung-huyung ditengah teriknya panas matahari, berjalan menuju rumahnya yang berada di ujung jalan perumahan gang F. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya, meskipun kedua orang tuanya jarang sekali berada di rumah karena masalah pekerjaan.
Sesampai di rumahnya, Reyhan membuka gerbang kemudian menutupnya dengan rapat juga ia menutup pintu rumahnya dengan sangat rapat setelah masuk ke dalam. Langkahnya terhenti di depan lemari pendingin , membukanya dan membiarkannya tetap seperti itu untuk menikmati udara dingin dari lemari pendingin . Ingin sekali dirinya memasukan kepalanya kedalam lemari pendingin itu, tetapi ia takut jika seseorang yang paling menyeramkan di rumah ini memarahi dirinya, sebenarnya membuka terlalu lama lemari juga berpotensi membuatnya di marahi. Reyhan mengambil botol berukuran besar dari dalam lemari pendingin yang sudah di isi air, membawa dengan sisa tenaganya ke kamarnya yang berada di lantai 2. Di kamar, ia menaruh botol air di lantai dan seakan melupakan air yang ia bawa, ia melemparkan tubuhnya keatas ranjang, meregangkan tubuhnya benar-benar menikmati ranjang yang seakan sudah lama tidak bertemu.
Ia membiarkan tubuhnya beristirahat, walau di sekolah ia sama sekali jarang bergerak dan tanpa sadar ia terlelap pergi ke alam mimpi, benar-benar melupakan botol air yang ia bawa.
"Hey!"
Lampu kamarnya menyala, telinganya terasa sakit saat mendengar pekikan panggilan itu.
"Kalau tidak meminumnya jangan membawanya ke kamar! Terus cobalah untuk rapihkan kamar mu yang seperti kapal pecah ini …"
Aaaah berisik, wajahnya yang tertutup ranjang mengekspresikan seperti itu. Adik perempuannya, dia adalah orang yang Reyhan maksud sebagai orang paling menyeramkan di rumahnya, selalu marah-marah kepadanya, mengejeknya dan mencacinya. Membuat dirinya tidak memiliki harga diri sebagai seorang Kakak, tetapi ia tidak bisa marah kepada Adiknya, ia tidak akan pernah bisa.
Adik perempuannya masih terus mengoceh, tetapi Reyhan tidak tahu apa yang sedang dia bicarakan, ia menolak untuk mendengarnya lagi. Satu-satunya terakhir kali yang ia dengar adalah ucapan "Kau sebaiknya keluar dari rumah!" Lalu membanting pintu kamarnya dengan sangat keras, emosi Reyhan memuncak sesaat mendengar suara pintu itu tetapi ia memilih untuk menempelkan wajahnya lagi dengan ranjang, ketika mengingat ucapan itu.
"Aku … Tidak bisa melakukannya," Ucap Reyhan sangat pelan, lalu ia kembali tertidur.
\*\*
Suara ketukan pintu yang lembut membangunkan Reyhan dari tidurnya "Rey, bangun. Waktu ya makan malam," Suara seorang perempuan dewasa, sangat lembut di telinganya, sangat berbeda daripada sebelumnya. Perempuan itu adalah Ibunya yang begitu sayang dan paling mengerti dirinya.
"Rey–."
"Yaaaa …" Jawab Reyhan lemas yang masih membenamkan wajahnya di atas ranjangnya. Panggilan Ibunya tidak dapat ia abaikan, Reyhan berusaha bangkit dari ranjangnya meski rasanya ranjang itu kembali menariknya untuk berbaring.
Reyhan terduduk di ranjang, mengacak-acak rambutnya yang mulai sedikit lebat. Reyhan menghembuskan nafas kasar tanpa alasan yang jelas, kemudian berdiri dan melangkahkan kakinya ke arah pintu. Namun, ketika ingin meraih gagang pintu, langkahnya terhenti. Ia menatapi seragam putih abu-abu yang masih ia kenakan sejak pulang sekolah.
'Jika dia melihat ku begini, pastinya dia akan marah lagi,' Pikir Reyhan lelah di marahi Adiknya, ia mengambil pakaian yang tergantung di dalam lemari kemudian menggantungkan seragam ia pakai setelahnya.
Reyhan keluar dari kamarnya dan menuruni tangga perlahan, ia melihat Ibunya tengah membicarakan sesuatu kepada Adiknya, kemudian pandangannya teralih, ia melihat kursi kosong dan disebelah kursi itu adalah Adiknya. Duduknya begitu tegas, bahkan sekujur tubuhnya tampak begitu tegas sampai ekspresi dan lirikan mata yang ditujukan kepada Reyhan. Sombong sekali, pikir Reyhan seraya memalingkan matanya dari Adiknya. Ia duduk di kursi kosong yang berada di samping adiknya, ketika duduk sangat jelas Adiknya menggeser kursi yang sedang di duduknya agar menjauh dari Reyhan. Sakit hati? Jelas, sikap seperti itu jika dijadikan kata-kata makan akan jadi seperti 'Aku tidak ingin dekat dengan orang itu.'
"Alice, tidak boleh begitu," Ibu mereka berdua menegur gadis muda yang duduk di samping Reyhan.
Alice hanya membuang wajahnya sedikit, ia sama sekali menolak untuk mendengarkan ucapan Ibunya.
"Kalau begitu ayo makan, hari ini ibu masakan makanan kesukaan kalian loh," Ucap Ibu mereka.
"Ibu memasak semua ini sehabis pulang kerja nantinya Ibu sakit loh," Ucap Alice terdengar begitu khawatir dengan Ibunya.
"Tidak apa-apa kok, lagipula kerjaan Ibu juga tidak begitu berat. Jadi Ibu baik-baik saja," Balas Ibu mereka sambil menunjukkan senyuman yang begitu lembut di wajahnya.
Tangan Reyhan berhenti menyuapi mulutnya, ia merasakan perasaan buruk yang sangat kuat.
"Begitu, Ibu memang hebat. Tidak seperti seseorang yang sepulang sekolah terus tertidur bagai sapi sampai malam hari, kesehariannya pun terus seperti itu."
Ucapan Alice sangat jelas ditujukkan kepada satu orang. Reyhan hanya menunduk, mengeratkan giginya dengan sangat kuat bersamaan ia mencengkram sendok yang ia genggam. Marah, jelas dirinya sangat marah, tetapi yang dikatakan adiknya adalah kenyataan, karena itu ia tidak bisa marah.
"Alice," Ibunya memanggil dengan suara yang sangat serius, ia memberikan tatapan yang tidak kalah serius juga kepada putrinya itu.
"Hmph!" Alice membuang wajahnya kemudian berdiri dari kursinya "Aku akan makan nanti," Ucap Alice membawa piringnya ke dapur, setelah itu ia pergi ke kamarnya tanpa sedikitpun melirik kearah mereka.
Suasana canggung tercipta berkat Alice, Ibunya berkata "Rey, maafkan Alice ya."
"Tidak apa-apa, lagipula ini salah ku," Ucap Reyhan memaksakan untuk tersenyum kepada Ibunya.
Ia tidak akan pernah bisa marah kepada Adiknya itu. Adiknya, Alice, dia seorang pelajar SMP yang bersekolah di sekolah bergengsi. Pintar, rajin, manis dan sangat cantik, ia menorehkan banyak prestasi, karate, olimpiade matematika dan bahasa inggris, ia juga sangat pandai berkomunikasi dengan orang yang baru saja ia temui. Semua kelebihan itu berada pada Adiknya, bahkan ayah mereka yang saat ini berada di luar negeri pun lebih mengandalkan Adiknya dibandingkan kepada Reyhan. Sedangkan, Reyhan hanyalah sosok yang berkebalikan dengan Alice.
Makan malam hanya dilanjutkan oleh Reyhan dan Ibunya, makan malam yang sedikit canggung. Andaikan Ibunya tidak bercerita tentang apa yang terjadi di tempatnya bekerja, mungkin suasana di meja makan itu akan terasa membeku.
Selesai makan malam, Reyhan membereskan semua makan malam mereka. Sisa makan malam yang masih tersisa di simpan Ibunya di dalam lemari pendingin, Ibunya berkata jika makanan-makanan itu masih bisa dihangatkan. Reyhan tidak berkomentar apapun mendengar Ibunya berkata seperti itu, meskipun sudah hidup berkecukupan tetapi Ibunya masih sangat memanfaatkan makanan sisa dengan baik.
"Reyhan, biar Ibu yang membersihkan–."
"Tidak apa-apa, Rey saja yang melakukannya. Ibu istirahat saja, besok juga Ibu harus bekerja lagi kan?" Ucap Reyhan melarang Ibunya untuk membersihkan piring kotor.
Ibunya terdiam sesaat sambil menatap Rey dengan khawatir, ada sesuatu yang ingin dibicarakan Ibunya namun Ibunya tidak dapat mengeluarkan kata-kata itu, ia hanya takut tidak bisa mengatakannya dengan tepat.
"Baiklah, kalau begitu setelah ini Kamu juga tidur ya, besok juga sekolah kan?"
Reyhan hanya mengangguk pelan menjawab pertanyaan itu.
"Kalau begitu selamat malam, Reyhan."
"Selamat malam," Ucap Reyhan pelan.
Saat berbicara dengan Ibunya ia selalu memakai ekspresi yang santai seolah ia tidak sedang memikirkan sesuatu yang berat, bahkan setelah disindir dengan keras oleh adiknya, ia masih bisa memasang ekspresi palsu itu. Merasa tidak enak dirinya berbohong kepada Ibunya, tetapi ia terpaksa melakukannya. Reyhan takut jika Ibunya semakin khawatir dengannya, karena itu lebih memilih memasang ekspresi palsu.
Selesai mencuci piring, Reyhan langsung kembali ke kamarnya. Menaiki tangga, ia menginjak lantai dua rumah itu. Langkahnya terhenti sesaat ketika sayup-sayup mendengar suara gadis berbicara, itu adalah adiknya yang sedang berbicara dengan seseorang di dalam kamarnya–kamar mereka bersebelahan, terkadang suaranya sangat keras saat berbicara dengan orang lain sampai mengganggu tidurnya.
Dengan siapa? Mungkin Alice sedang menelepon seseorang. Reyhan tidak begitu memikirkannya, Alice adalah adiknya yang paling cerdas dan bisa menjaga dirinya sendiri karena itu ia tidak begitu khawatir dengan pergaulannya. Saat merasa seperti itu, tanpa sadar ia juga begitu percaya dengan Adiknya seperti yang orang lain lakukan kepada Adiknya dan itu membuatnya semakin merasa buruk.
Tidak seperti seseorang yang sepulang sekolah terus tertidur bagai sapi sampai malam hari, ucapan Alice begitu menjengkelkan, tapi itu adalah kenyataanya dan ia tidak dapat marah karena itu. Tidak seperti adiknya yang memiliki banyak prestasi dan pandai berbicara, Reyhan berkebalikan dari Adiknya dalam segala hal. Tidak pernah keluar rumah, menghabiskan banyak waktu di dalam rumah, tidak melakukan apapun, tidak memiliki kesibukan yang berarti, seseorang yang tidak memiliki kehidupan itulah Reyhan.
Reyhan melempar tubuhnya lagi ke ranjang, memeluk gulingnya dengan sangat erat dan air matanya tanpa sadar menetes keluar.
'Aku juga … Tidak menginginkannya, Aku juga tidak ingin kalah dari orang lain. Kalau begitu lakukan saja! Memangnya Kau pikir itu mudah! Memangnya menurutmu itu mudah! Orang-orang hanya bisa menyuruh saja tanpa ingin mengerti! Aku lemah, aku pengecut, aku tahu itu! Tapi itulah kenyataanya. Aku tidak bisa berbicara dengan orang lain, aku tidak memiliki keberanian untuk melakukan itu! Memangnya Kau tau bagaimana rasanya ingin melarikan diri saat berbicara dengan orang lain!'
Reyhan, seseorang yang tidak memiliki kehidupan, seseorang yang dipanggil No Life, seseorang yang akan dianggap sebagai sampah masyarakat memiliki alasan tersendiri saat memulai gaya hidupnya yang tidak karuan. Rasa tidak percaya dirinya yang begitu besar menghalangi seluruh langkahnya untuk mencoba hal yang baru, karena itu ia mengurung diri dan itu juga bukan karena keinginannya, ia hanya merasa tidak memiliki pilihan lain.
Tidak percaya diri, selalu berpikiran buruk, tidak dapat berbicara dengan orang lain, kemampuan sosial nol besar. Terdengar sangat bodoh, tetapi yang Reyhan rasakan saat ini adalah beban hidupnya yang paling berat. Selama beban ini masih berada di dalam dirinya, ia tidak dapat melakukan apapun. Ia tidak dapat mengatakan masalahnya kepada siapapun, bahkan kepada keluarganya, karena ia takut jika mereka berbicara seperti orang lain. Lakukan saja, jangan takut, jangan malu, terdengar sangat menyepelekan tapi yang dirasakan Reyhan lebih berat daripada apa yang dikatakan oleh orang lain.
To be continue