Cahaya menembus jendela kamarnya, menyinari tepat mengenai wajahnya. Ia tanpa sadar terlelap tidur semalam, menyadari pagi telah tiba ia berusaha untuk bangun dari ranjangnya bersiap untuk berangkat ke sekolah. Bagi seorang pelajar SMA, sekolah adalah tempat menyenangkan dimana mereka bisa bertemu teman-teman, bermain bersama teman, bertemu teman yang tempat tinggalnya berjauhan dan belajar untuk menggapai apa yang mereka inginkan. Dari semua poin itu, Reyhan hanya mendapatkan manfaat di poin terakhir sedangkan sisanya membuat dirinya merasa tidak nyaman.
Reyhan tidak mandi terlalu lama, sebelum keluar dari kamar mandi ia memakai seragam sekolahnya agar menghemat waktu. Setelah itu duduk di meja makan untuk sarapan, tanpa ia sadari Adiknya sudah duduk di samping nya dengan pakaian kasual. Ingin sekali ia bertanya kenapa Alice tidam memakai seragam, padahal sudah waktunya untuk bersekolah, tetapi ia terlalu takut untuk melakukannya.
Merasakan tatapan aneh dari Kakaknya itu, Alice yang sangat sudah terbiasa dengan Kakaknya berbicara dengan sendirinya "Libur," Hanya itu yang Alice katakan, namun Reyhan dapat mengerti sepenuhnya apa maksud perkataan Alice.
Ibu mereka keluar dari dapur, membawakan dua piring dengan dua potong roti masing-masing diatas piring itu. Benar-benar sarapan yang tenang, ketenangan itu membuat Reyhan merasa aneh. Biasanya pagi hari Adiknya sudah mengoceh mengejek dan menyindir dirinya, tapi hari ini tidak terjadi apa-apa.
Reyhan baru memakan sebagian rotinya tetapi alarm jam tangannya sudah berbunyi menandakan sudah waktunya untuk berangkat ke sekolah. Reyhan mengambil sisa roti yang belum ia makan, lalu melangkah pergi ke luar rumah.
"Benar-benar tepat waktu, menjijikan," Gumam Adiknya itu benar-benar menusuk dan Reyhan dapat mendengarnya meski sudah cukup jauh dari meja makan.
"A--aku pergi," Ucap Reyhan setelah memakai sepatu di dekat pintu lalu berjalan keluar rumah.
Sinar matahari yang sangat terang menyoroti wajahnya, anak-anak sekolah dasar berlarian dengan semangat menuju sekolah mereka dan tetangga yang sedang mengobrol, semua keramaian itu menyedot energi paginya sedikit demi sedikit sampai membuatnya benar-benar merasa lelah.
"Haaah."
Reyhan menghembuskan nafasnya, melangkahkan kakinya berjalan menuju sekolah yang memakan waktu sekitar 30 menit jika berjalan kaki. Akan lebih mudah jika ia naik angkutan umum, tapi sayangnya Reyhan tidak begitu terbiasa menaiki angkutan umum. Terakhir kali ia naik angkutan umum ke sekolah saat di tahun pertamanya, dan sekolahnya terlewati yang membuatnya pergi cukup jauh dari sekolah. Sejak saat itu, ia belum ingin lagi menaiki angkutan umum.
"Berjalan kaki juga tidak buruk, itu tidak salahkan?" Gumamnya setiap ia melihat angkutan umum "Lagipula berjalan membuatku tenang," Lanjutnya, terdengar seperti sebuah alasan tetapi itulah yang dirasakan oleh Reyhan ketika berjalan kaki. Meski berada di keramaian, selama kakinya tetap melangkah ia tidak begitu memikirkan orang-orang disekitarnya
namun bukan dalam artian buruk.
Sesampai di sekolah, ia langsung pergi ke kelasnya. Terdengar audah cukup ramai di dalam kelas, membuatnya ragu untuk melangkah. Ia menarik nafas, kemudian menghembuskannya perlahan lalu–.
"Hey! Jangan menghalangi jalan!"
Seorang lelaki dengan kerah terbuka– memperlihatkan sebuah kalung menggantung di lehernya dengan tampang yang cukup menyeramkan berbicara dengan sangat keras di belakangnya. Reyhan sangat terkejut sampai reflek menyingkir dari depan pintu, membiarkan orang itu masuk ke dalam kelasnya
'Ah … Orang itu …'
Reyhan mengingatnya, pria yang paling bermasalah di kelasnya. Entah sudah berapa kali pria itu berhadapan dengan guru karena melakukan pelanggaran, tipe yang paling tidak cocok dengan Reyhan. Setelah pria itu masuk, Reyhan juga masuk kedalam kelasnya. Tempat duduknya berada dipaling belakang dan dekat dengan jendela luar kelas.
Ia duduk di kursinya, termenung sambil sesekali melihat kearah luar jendela. Melihat orang-orang seusianya berlarian di lapangan dengan senyuman lebar dan tawa yang sayup-sayup terdengar di telinganya. Membosankan, pikirnya lalu menjatuhkan kepalanya ke atas meja yang membuatnya hanya melihat tembok di bawah jendela itu.
Suara bel terdengar sangat keras, berbunyi di seluruh gedung sekolahnya sebagai pertanda dimulainya pelajaran pertama. Reyhan kembali menegakkan tubuhnya, menegaskan posisi tubuhnya seakan siap menyambut pelajaran pertama di sekolahnya.
"Memang ya, tidak ada yang lebih baik selain belajar," Gumamnya pelan.
Reyhan memutar badannya, membuka tas untuk mengambil buku tulis dan juga pulpen. Saat itu ia sadar sebuah benda yang sangat penting untuknya tidak ada di dalam tas.
"Astaga … Aku tidak akan makan siang hari ini," Gumamnya pelan saat tidak melihat kotak bekal makan siang di tasnya.
"Eh kotak ini?"
Di dapur, Alice melihat sebuah kotak yang terbungkus kain di dapur. Ibunya sudah pergi bekerja, tidak ada siapapun di rumah untuk ditanyai. Ia membuka balutan kain yang terikat, lalu membuka kotak itu.
"Si bodoh itu …," Gumamnya jengkel.
Sebuah kotak berisi nasi, sedikit sayuran, telur dan juga paha ayam goreng, kotak makan siang itu milik Kakaknya. Ia menghela nafas, lalu menutup kotak itu dan mengikatnya kembali seperti semula. Kemudian melangkah menuju ruang tamu dan menyalakan televisi, ia berpura-pura tidak melihat apa yang ada di dapur dan tidak tahu akan kotak itu.
Alice terus menerus mengganti Channel TV mencari acara yang menarik di pagi hari, ia tidak pernah melihat acara pagi hari kecuali di hari minggu karena biasanya ia saat ini berada di sekolah. Tetapi, hari ini sekolahnya sedang berulang tahun dan seluruh murid diberitahu untuk belajar di rumah selama satu hari.
Alice menghela nafas kasar, mematikan televisinya kemudian menaruh remote tv di atas meja. Ia kembali melirik kearah dapur, tepatnya ke arah kotak makan yang ada di atas westafel. Walau berpikir untuk mengabaikannya, tetapi Alice merasa sangat tidak enak tapi di sisi lain juga ia tidak mau mengantarkan bekal itu kepada Kakaknya.
"Aku tidak mau memberikan bekal ini kepada orang itu, tapi Aku merasa tidak enak dengan Ibu yang memasakkan ini untuknya. Aku juga tidak mungkin memakannya, bikin Aku gemuk sih. Lalu kalau Aku tidak mengantarnya juga Aku akan dimarahi Ibu … Gah! Ini gara-gara orang menjijikan itu!" Ucapnya lalu menatap tajam kearah bekal itu seakan sudah menaruh dendam kepada kotak makan yang tidak bersalah itu.
Pukul 11.30, bel sekolah kembali berbunyi, menandakan para murid untuk beristirahat. Kebanyakan murid akan keluar dan pergi ke kantin untuk mengisi energi mereka kembali dengan makanan dan minuman di sana. Ramai, sesak, Reyhan tidak pernah betah berada di sana, karena itu ia jarang sekali pergi ke kantin dan memilih makan bekalnya di dalam kelas. Tetapi, hari ini ia meninggalkan bekalnya di rumah.
'Apa yang harus kulakukan? Memaksakan diri ke kantin? Tidak, terlalu banyak orang. Aku tidak akan mampu melakukannya. Kalau begitu lebih baik Aku tidur saj–.'
"Oy Reyhan."
Dalam keseharian Reyhan disekolah, ia tidak pernah banyak berbicara, tidak pernah mengganggu orang lain atau mengejek orang lain dengan kata-kata kasar. Tetapi, sikap Reyhan yang jarang bicara itu dianggap aneh oleh orang lain sampai beberapa orang yang saat ini berada di dekatnya sering mengganggu dirinya.
"Kau tidak membawa makan siang mu? Biasanya Kau membawanya bukan? Kotak makan buatan Ibumu itu? Kau benar-benar disayang ya hahaha!"
"Benar-benar anak kesayangan."
"Anak mami."
Itu yang sering mereka katakan–dan hari ini mereka mengatakannya lagi. Ditertawakan, diejek, dipermalukan, orang-orang dikelasnya hanya bisa menatap dengan ras iba, bahkan ada juga yang tidak peduli kepada dengan berpura-pura tidak tahu. Reyhan juga tidak begitu peduli dengan mereka semua, ia hanya bisa bersabar dan menunggu semua ocehan mereka berlalu dengan sendirinya karena hanya itu saja yang bisa ia lakukan.
"Hey! Kau mendengarkan ku tidak!" Kerah seragam Reyhan ditarik dengan kuat sampai Reyhan berdiri dari kursinya "Kau ini benar-benar menjengkelkan! Dasar No Life!" Kepalan tangan orang itu melayang menuju wajah Reyhan, hanya memejamkan mata menunggu hantaman di wajahnya.
"Ah!?" Suara orang itu cukup keras sampai membuat Reyhan membuka kembali matanya.
Pukulan itu ditahan seseorang dari belakang, seseorang itu sanggup menahan pukulan itu meskipun tangan yang menahan pukulan itu jauh lebih kecil daripada tangan lelaki yang berada di depan Reyhan. Mata Reyhan membulat sempurna saat melihat orang yang menahan pukulan itu adalah saudarinya yang memakai seragam sekolah SMP.
"Tu–. Apa yang Kau lakukan!? Apa yang dilakukan anak SMP disi–."
"Jangan menyentuhnya," Gumam Alice memberikan sorot mata yang tajam.
"Hah? Apa yang–."
"Aku bilang jangan menyentuhnya!" Alice berteriak cukup keras, menarik perhatian seluruh murid yang ada di kelas bahkan sampai murid-murid yang berada di kelas lain.
Permintaan Alice tidak dituruti orang itu, ia menarik kepalan tangan itu dan memutarnya sampai ke punggung orang itu "Aku peringatkan sekali lagi, jangan menyentuhnya."
"Aw! Aw! Baiklah! Lepaskan Aku sialan!" Orang itu meronta kesakitan, meski seorang lelaki tapi dia tidak mampu menarik tangan kanannya yang ditekuk sampai menyentuh punggungnya.
Lelaki itu bersama teman-temannya sedikit menjauh dari mereka dengan raut wajah kesal, meski itu tidak menggetarkan sorot mata tajam yang masih Alice arahkan kepada mereka.
"Hah! Reyhan, apa dia pacarmu? Manis sekali. Eh? Tapi dia masih SMP kan? Apa jangan-jangan Kau suka dengan anak-anak? Hahahahaha itu lucu," Ucap Lelaki itu mengejek mereka berdua diikuti tawa teman-temannya.
Suasana semakin memburuk, Reyhan tidak ingin Adiknya juga menjadi sasaran ejekan mereka "Alice ... Sedang apa Kamu disini!? Lebih baik Kamu cepat–. Akh!" Ucapan Reyhan Tertahan seketika saat tatapan Alice yang begitu menusuk diarahkan kepadanya.
Namun dalam sekejap tatapannya dan raut wajahnya berubah.
"Kakak, Aku membawakan ini untukmu. Kamu melupakannya kan?"
Alice tersenyum sangat manis, bicaranya juga dangat lembut, tatapannya juga sangat hangat. Reyhan dan orang-orang disekitarnya seketika mematung melihat perubahan sikap Alice yang terbilang mengerikan itu.
"Ka--kau adikku?" Pertanyaan itu keluar tanpa sengaja dari mulut Reyhan.
"Kakak, apa yang Kamu bicarakan? Tentu saja Aku ini Adikmu."
'Adikku tidak mungkin berbicara seperti itu!' Teriak Reyhan dalam hati. Seorang gadis yang tidak pernah memanggilnya dengan sebutan Kakak, seorang gadis yang selalu menatapnya dengan sinis dan jijik, seorang gadis yang selalu berbicara kasar kepadanya, semua itu adalah sosok adik kandungnya yang sangat ia kenal. Sosok Alice di depannya ini sama sekali bukan sosok Adiknya.
"Ah sepertinya sebentar lagi istirahat akan berakhir, sebaiknya Kakak cepat makan siang atau nantinya jam istirahat keburu habis," Ucao Alice sambil menaruh kotak makan siang di atas meja Kakaknya "Kalau begitu aku pulang, sampai nanti Kakak," Alice berbalik, menoleh sedikit kebelakang dan menebarkan senyuman yang sangat manis kearahnya ... Itu membuatnya ingin muntah.
'Aku mual,' Batinnya sambil memakingkan wajah dari Alice yang berjalan menjauh diikuti tatapan teman-teman sekelasnya.
Untuk sesaat suasana kelas terasa berbeda, terasa lebih mencekam daripada saat ia hampir dipukul. Reyhan mendapati Alice sedang berdiri diam di dekat pintu, menatap laki-laki dan teman-temannya yang menjahili dirinya tadi dengan tatapan kosong. Ia terus menatap dan terdiam, ekspresinya datar membuat dirinya terlihat lebih menyeramkan daripada sebelumnya.
"Apa yang kau lihat!" Teriak laki-laki itu.
"Tidak, aku hanya melihat betapa rendahnya kalian. Meski sudah SMA tetapi sikap kalian masih seperti anak-anak, memalukan. Oh ya, jika Kau menyentuh Kakak ku lagi akan kubuat menyesal. Mungkin Kau tidak tahu, tapi semua ucapan dan ejekan mu kepada Kakak ku semuanya sudah ku rekam, Aku bisa membuat mu dikeluarkan dari sekolah ini jika Aku mau," Setelah mengatakan itu, Alice melangkahkan kakinya kembali keluar dari kelas.
Mereka tidak dapat berkata apa-apa, bagi mereka tidak ada hal yang paling memalukan selain diancam oleh anak-anak. Mengetahui gadis itu adalah Adik Reyhan, mereka semua mendekati sang Kakak.
"Hey–. Huh a--apa yang terjadi denganmu?"
"Tidak mungkin, ini tidak mungkin
Tidak mungkin, ini tidak mungkin
Tidak mungkin, ini tidak mungkin ..." Reyhan terus mengucapkan kata-kata itu, memegangi kepalanya dengan ekspresi seakan menggambarkan ia melihat kepalsuan diantara kenyataan "Tidak mungkin Adikku seperti itu, dia tidak mungkin berbicara manis seperti itu!" Ucap Reyhan sangat ketakutan.
Kelima pria yang ingin mengancamnya seketika mengurungkan niat mereka, merasa jijik dan menguatkan pandangan mereka jika Reyhan memang aneh membuat mereka melakukan itu.
To be continue