Siang berganti senja, senja beranjak malam, malam pun hilang dan pagi menjelang. Waktu berlalu begitu cepatnya seiring dengan tumbuhnya tunas-tunas cinta, yang lantas berkembang menjadi daun hingga daun menjadi rimbun penuh dengan cinta yang hangat bagai musim semi.
Kim semakin sering datang ke kedai Aqila, tak jarang dia sengaja menghabiskan waktu selepas penat menghadapi pasien-pasiennya. Bahkan, ketika hatinya dilanda rindu yang meradang, Kim akan mangkir dari kewajibannya demi melihat gadis bernikab yang senang dengan warna gelap itu.
Sementara Adya masih begitu dingin, tak pernah sedikit pun menghiraukan Kim. Hanya menganggapnya pelanggan biasa. Bukan tanpa alasan, Adya yang memiliki banyak beban hidup, seolah menutup diri pada harapan baik yang ada di sekitar. Dia tidak ingin terluka, mengingat luka-luka menganga yang sebelumnya tergores masih belum kering.
Gamisnya melambai seiring langkah gesit melayani pelanggan yang datang, pemandangan itu selalu Kim rindukan. Ucapannya yang ramah menawarkan menu, suaranya lembut membuat hati Kim semakin terpana dan enggan untuk memalingkan perhatian. Meski dia tak mampu melihat senyum manis seperti yang Aqila ceritakan. Namun, hatinya begitu yakin gadis itu begitu cantik dan sempurna, melebihi gadis-gadis lain yang sering datang menggodanya.
"Siapa sih yang kamu pandangi dari tadi?" sapa Aqila membawa dua cangkir americano dingin.
"Adya," Singkat Kim menjawab, wajahnya tersipu kemerahan saat menyebutkan nama pujaan hatinya.
"Cieilee, kayaknya kamu benar-benar jatuh cinta deh, Kim, wajahmu sampe merah gitu," ledek Aqila seraya menyikut lengan pria tampan itu.
Merasa tertangkap basah begitu saja, Kim gelagapan berusaha menutupi hal tersebut. Lagi-lagi Aqila tergelak, seraya beringsut menuju meja kosong untuk duduk, sekadar melepaskan penat setelah seharian disibukkan oleh hiruk pikuk rutinitas. Kim bertingkah semakin aneh belakangan ini. Lebih sering bengong dan tersenyum sendiri. Membuat Aqila sedikit khawatir, seolah tahu betul bahwa kisah itu tidak akan berhasil.
Seraya menggerutu tidak jelas, Kim meraba-raba wajah tampan berahang tegas itu, lantas menyadari suhu tubuhnya meningkat. Tanpa berpikir lagi, dia mengambil langkah menyusul Aqila ke meja, sejurus kemudian Kim menyambar es kopi yang Adya siapkan. Namun, bukanya minum Kim justru menempelkan cangkir itu ke pipinya yang putih bersih.
"Apa ya kau lakukan?" tanya Aqila keheranan.
"Di sini tiba-tiba jadi panas, Nuna," jawab Kim, lantas membanting tubuh bagian belakangnya ke kursi yang berada tepat di seberang Aqila
"Sudahlah, hentikan, ini tidak akan berhasil, mungkin kamu hanya penasaran saja, pada Adya," protes Aqila mengkhawatirkan Kim yang sudah seperti adiknya.
"Aniyo!" tegas Kim membantah saran Aqila.
"Kim ...," Aqila mencoba membujuk Kim, menatapnya tajam dan penuh keseriusan.
"Enggak Nuna, enggak, perasaanku kali ini berbeda," elak Kim.
"Jinja?" selidik Aqila memicingkan tatapannya.
"Nae!" Lagi-lagi Kim menegaskan perasaannya.
"Lalu, mau dibawa kemana nantinya?" Aqila mencoba menjelaskan sesuatu dengan cara yang berbeda.
"Bantu aku mendapatkan hatinya dulu, baru kita pikirkan langkah selanjutnya, Jebal ...," pinta Kim dengan wajah serius.
Lantas dia mengembuskan napas berat, meletakkan cangkir yang sedari tadi menempel di pipi ke atas meja di hadapannya. Diiringi dengan Aqila yang bangkit dari sandaran kursi, kemudian menyilangkan kaki, tatapannya terarah tajam pada Kim.
"Kim, kamu siap patah hati?" tanya Aqila dengan serius.
Kim mendekatkan wajahnya pada wajah Aqila, "Aku yakin, Adya tidak akan menolakku," ucapnya kemudian, seraya menyeringai.
"Benar juga, siapa yang akan menolak pria tampan dan sukses sepertimu, ya," Aqila mengalihkan pembicaraan, dia tidak tega jika harus mengungkapkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi, jika Kim berani main hati dengan gadis seperti Adya.
Bukan karena Adya gadis yang tidak baik, hanya saja takdir baik belum berpihak padanya. Jadi, tidak menutup kemungkinan hal buruk akan terjadi pada Kim, jika bersikeras ingin bersama.
Tiba-tiba wajah Kim memancarkan binar, kemudian tersenyum simpul dengan beribu sirat. Tanpa kata, dia beranjak meninggalkan Aqila, berusaha menghampiri Adya. Padahal saat itu kedai sedang ramai, mengingat jam istirahat para pekerja kantoran sudah dimulai.
Kim berinisiatif membantu Adya membereskan cangkir dan piring bekas pelanggan, hatinya tergerak ketika melihat gadisnya kepayahan melakukan pekerjaan itu. Bahkan, semenjak Kim di kedai, belum melihatnya duduk barang sebentar saja.
Kim mulai menggulung lengan kemeja, lantas mengambil baki, setelah itu mulai menyisir meja-meja yang berantakan. Banyak pasang mata yang tertuju pada pria maskulin itu, ada yang memotretnya tanpa sungkan. Bukannya keberatan, justru Kim semakin tebar pesona dengan bergaya ala-ala model sampul majalah kawakan.
Para wanita karir yang sedang santap siang, bersorak menatap ketampanan Kim tepat di depan matanya. Padahal, Kim menginginkan Adya yang tertarik perhatiannya. Nahas, bagai gayung tak bersambut. Dia terabaikan. Adya masih sibuk dengan dunianya, bekerja dengan benar, mencari nafkah untuk kelangsungan hidupnya. Jangankan tertarik, bahkan melirik Kim saja enggan dia lakukan.
"Benarkah dia tak mengacuhkanku?" batin Kim.
Dia menghentakkan kaki di atas lantai, seperti bongkahan beton menyekat tenggorokannya. Bibir tipis merah muda mengerucut seperti piramida mesir yang terkenal. Manik matanya mendelik ke arah Aqila yang sedari tadi memperhatikan dengan saksama.
Aqila mengacungkan jempol tangan kanan ke arah Kim, lalu memutar ke arah berlawanan dengan jarum jam hingga membuat posisinya terbalik. Kim semakin kesal mendapati Aqila meledeknya.
"Nunaaa," rengek Kim.
Dengan langkah dihentak-hentakkan dia menghampiri Aqila dan kembali duduk tepat di depannya. Tawa renyah Aqila kembali pecah.
"Dasar bodoh!" ledek Aqila kemudian tertawa kembali.
"Adya manusia atau bukan sebenarnya?" Kim kembali merengek, lantas menyambar cangkir berisi es kopi, mereguknya hingga tandas.
"Berhentilah mengeluh, kalo cara tidak langsung enggak mempan, 'kan bisa pke cara langsung."
Angin segar kembali menyibak hati Kim yang sempat kesal, lagi dia mendapatkan ide gila untuk mendapatkan simpati Adya.
"Ah, kau berpikiran gila lagi?" selidik Aqila, yang melihat tatapan aneh Kim.
Kim menaik turunkan alis simetrisnya sebagai jawaban.
"Tunggu kedai sepi, awas kau macam-macam!" ancam Aqila.
"Yeh, Sunbaenim!" jawab Kim, penuh keyakinan.
"Kembalilah ke klinik dulu, pikirkan pasienmu," tukas Aqila, "jangan sampe kewajibanmu terabaikan karena seorang gadis Kim," lanjutnya.
"Iya," jawab Kim singkat.
Lantas dia beranjak dari duduk, kemudian berpamitan pada Aqila. Kim membalikkan badan, mengambil langkah menuju ke luar kedai, didapatinya Adya sedang membersihkan meja di dekat pintu keluar.
Jantung Kim berdegup hebat seolah akan menembus dadanya yang bidang ketika akan berpapasan dengan Adya. Meskipun dia mengetahui pasti Adya tidak menghiraukannya, tetap saja rasa nervous menggila dalam benaknya. Sesekali Kim mengambil napas panjang dan mengembuskan perlahan.
"Annyeongghi gaseyo, Seoseangnim," ucap Adya ketika tepat tangan Kim menyentuh gagang pintu.
Degh!
Bunga bermekaran di dalam kepala Kim, mendengar suara Adya yang begitu lembut dan hangat terdengar di telinganya, hingga menyusup ke dasar hati. Bibirnya mengulas senyum, tersipu.
Yeay, begitulah ternyata seorang Oppa yang sedang dimabuk asmara.
Catatan Kaki
Aniyo : Tidak
Jinja : Benarkah/Sungguh?
Nae : Iya
Annyeonghi gaseyo : Selamat Jalan
Seoseangnim : Tuan