Aqila terhenyak, lantas meraih benda pipih yang tergeletak di meja. Kemudian menyentuh ikon hijau dan menempelkannya di telinga sebelah kanan.
"Nunaaa!" teriak seseorang dari seberang telepon.
"Apaan sih kamu? Pake teriak-teriak segala," jawab Aqila yang kaget. "Bukannya ucap sapa, salam atau apa," umpatnya kemudian, lantas memonyongkan bibir.
Kim di seberang sana tergelak, mendapati Aqila yang berhasil dia goda.
"Nuna, Jasku ketinggalan di sana, ada kan?" ucap Kim mengutarakan maksud hati.
"Ya, ada, tadi Adya menyusulmu untuk mengembalikan, tapi telingamu itu entah tersumpal apa, dia teriak-teriak kamu enggak respon," jelas Aqila.
"Aaah, aku kehilangan kesempatanku ...," keluh Kim seraya mengembuskn napas kasar.
"Begini saja Kim, nanti setelah kamu selesai bekerja, balik sini aja, biar aku titipkan jasmu pada Adya, aku bantu kamu deh," tutur Aqila seraya menahan senyum.
"Oke, oke baiklah, ide bagus," Kim setuju dengan apa yang Aqila rencanakan.
Tak lama setelah percakapan itu, Aqila pun menutup telelonnya. Benda pipih berbentuk persegi panjang itu diletakkannya di meja. Namun, baru saja beberapa detik ponsel itu di simpan, kembali berbunyi menandakan pesan masuk.
Terlihat sebuah notifikasi dari kontak bernama 'Oppa' di ponselnya mengirimkan sebuah pesan singkat. Aqila mengulas senyum membaca pesan tersebut. Wajahnya berseri, dengan manik mata yang berbinar. Semua orang yang melihatnya dapat menebak begitu spesial orang tersebut di hati Aqila.
****
Tanpa terasa jam menunjukkan pukul 17.00 WIB, Jakarta dengan segala hiruk-pikuknya mulai terasa semakin sesak. Jalanan mulai dipadati lalu-lalang kendaraan bermotor, para karyawan kantor mulai berbalik arah menuju kediaman masing-masing. Klinik Kim pun sampai di penghujung jam kerja, sementara Kedai Aqila masih ada beberapa jam lagi untuk tutup.
Seperti biasa, Aqila akan pamit di sore hari. Biasanya kedai dia percayakan pada Yuna sebagai karyawan terlama di kedai itu. Namun, ada yang berbeda hari ini. Hari pertama Adya bekerja, justru Aqila menitipkan kedai dan seluruh isinya.
"Maaf?" Adya tercengang saat mendengar Aqila memintanya untuk menjaga kedai di jam terakhir.
Adya merasa tidak enak hati, mengingat diri hanya seorang karyawan baru yang belum genap sebulan bekerja di sana.
"Nanti Kim akan ke sini, ngambil jasnya, tunjukkin aja, ya, ini kuncinya," Aqila menyambar tangan Adya yang masih sibuk dengan cucian piringnya.
Adya menolak, karena merasa tidak pantas mengemban kepercayaan dari wanita anggun yang mengenakan setelan berwarna pastel itu.
Aqila tak mengindahkan penolakan Adya, sedikit memaksa menyelipkan kunci kantor di tangan Adya yang masih terbungkus sarung tangan khusus untuk cuci piring.
"Aku titip, kedai dan Kim, ya, Adya," ujar Aqila, lantas bergegas menuju ke luar kedai, wajah manis dengan senyum simpul dan lesung pipi setara dengan kecantikan hatinya.
Adya masih termangu menyaksikan tingkah seseorang yang sudah lama tak dijumpainya, tetapi masih sama seperti dulu. Hatinya begitu lembut memperlakukannya. Atau mungkin hati Adya yang justru begitu sensitif karena rindu akan kehangatan.
Adya mengulum senyum di balik nikab yang menghiasi wajah, tak lama dia melanjutkan pekerjaannya dengan saksama dan sepenuh hati. Selama ini hanya Aqila yang mengulurkan tangan untuk memberinya pekerjaan. Sementara orang lain akan memandangnya dari sudut terburuk dan penuh cela, tetapi Adya tidak pernah menyalahkan situasi yang membuatnya seperti itu. Baginya orang berhak berkata seburuk apa pun yang mereka mau, yang terpenting dia tidak membuktikan hal buruk yang orang lain pikirkan.
Kumandang azan magrib terdengar dari masjid terdekat, buru-buru Adya menanggalkan pekerjaannya yang masih menggunug. Lantas, dia menuju toilet untuk membersihkan diri dan berwudu. Namun, belum sampai di tempat tujuan Adya berpapasan dengan Yuna--seniornya di kedai.
"Penjilat!" maki Yuna dengan wajah sinis.
Adya celingukan, menoleh kiri dan kanannya, merasa tak menemukan siapa pun, lantas Adya dengan polosnya bertanya, "Saya, kak?"
"Memangnya siapa lagi?" Nada bicara Yuna semakin tinggi dan menusuk.
"Maksud Kakak, gimana?" Adya masih belum mengerti.
"Cih, memuakkan!" decak Yuna seraya pergi tanpa pamit.
Tepat di samping Adya, Yuna membuang saliva, membuat Adya tersentak dan mengelus dada untuk menguatkan diri.
"Serendah itukah aku? Bahkan, ketika aku tak melakukan apa pun aku masih dianggap salah?" batin Adya, lantas menepisnya kembali, "mungkin Yuna hanya sedang kacau saja."
Usai mengambil wudu, Adya melaksanakan salat magrib di ruang yang telah disediakan Aqila. Seperti biasa dengan khusyuk melangitkan doa sebagai perisai dalam hidupnya yang terkadang diapit oleh situasi yang tidak memihak.
Kim kembali ke klinik sesuai rencana, mendapati Adya tak ada di meja pelayan dan di dapur, Kim pun berusaha mencarinya. Ekor mata Kim menangkap bayangan Adya di sebuah ruang kecil yang berdampingan dengan ruangan Aqila. Tanpa sengaja dia melihat wajah Adya hanya berbalut mukena tanpa nikab. Kim semakin terpesona dibuatnya.
"Cantik," lirihnya.
Kim nyaris tidak berkedip memandangi gadis bermata besar itu. Bulu mata lentik yang membingkai membuat Kim melayang seolah ingin bergelayutan mengiringi setiap kedipan mata Adya. Degup jantung semakin tidak beraturan, desiran darah layaknya ombak di lautan lepas bergemuruh sampai pada hati yang sedang ditumbuhi bunga-bunga cinta.
Tidak ada kata yang memaknai perasaan cintanya, analogi seromantis apa pun tidak akan sebanding. Hati yang telah lama kosong dan terasing dari perasaan hangat yang merambat dengan cepat hingg ukiran senyuman kerap terjadi ketika mendengar atau menyebutkan namanya saja.
Adya, gadis malang yang mampu menggoyahkan hati bebal sang dokter tampan itu. Padahal bukan tidak mungkin, pria berhidung mancung itu memilih wanita macam apa saja seperti keinginannya. Mengapa harus Adya? Tidak ada jawaban pasti tentang hal itu. Karena terkadang jatuh cinta tidak bisa ditentukan, di mana dan kepada siapa akan berlabuh.
Adya menyadari ada yang memperhatikannya sejak tadi, lantas dia bergegas mengenakan nikabnya setelah terlebih dulu membuka mukenanya. Dilihatnya pria berkemeja biru dan mantel hitam masih terpaku menatapnya. Tentu saja hal tersebut membuatnya salah tingkah dan tidak karuan.
Tidak ingin berpikir berlebihan Adya oun gegas menghampiri Kim, untuk menunjukkan tempat di mana jasnya di simpan.
"Annyeong haseyo, Seoseangnim," tegur Adya.
"A-a-annyeong, Adya." Kim yang tertangkap basah tengah memangdangi Adya, gelagapan.
"Jasnya ada di sana, ini kuncinya, mau ambil sendiri atau saya ambilkan?" tawar Adya tanpa basa-basi.
"Nanti saja saya ambil sendiri, kamu boleh lanjut bekerja, jika masih ada pekerjaan," ujar Kim seraya tersenyum manis.
Adya tidak berani menengadahkan wajah, padahal senyum manis itu terukir indah karenanya.
"Nae," ucap Adya menyetujui apa yang Kim ucapkan, Adya pun menyodorkan kunci ruangan Aqila pada Kim.
Ketika Kim akan mengambilnya, seketika Adya menyimpan kunci itu di nakas yang menjadi tempat kim bersandar seraya berlalu menuju wastafel kembali. Kim pun celingukan, tidak mengerti dengan tingkah Adya.
"Adya!" panggil Kim.
Sontak Adya menghentikan langkah, kemudian dia menggaruk kepala yang tidak gatal. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Tidak dapat dipungkiri, gadis penyuka drama Korea itu sedikit merasa canggung ketika berhadapan dengan pria tampan yang begitu baik dan sering mencuri pandang padanya.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya Adya.
"Kamu cantik," celetuk Kim, kemudian menyambar kunci yang Adya simpan, lantas bergegas menuju ruang Aqila untuk mengambil jasnya yang tertinggal.
Adya terkejut, matanya terbelalak mendengar pujian Kim.