Semilir angin di siang itu seolah menepis teriknya sang surya yang sedang meraja. Pria berkemeja hitam masih terpaku di mulut pintu kedai. Di sanalah hatinya bertaut, selain sajian menu yang membuatnya merasa tak jauh dari negeri kelahiran, juga ada tumpuan hati yang begitu membuatnya menggila.
"Tto boja, Adya," jawab Kim seraya menoleh ke arah Adya, setelah beberapa saat terpana oleh sapaannya.
Namun, sialnya, Adya sudah berada jauh dari tempatnya berasal. Didapatinya sudah tidak ada seorang pun di belakangnya. Kim sedikit kesal dan keheranan, secepat kilat gadisnya menghilang, atau dia yang terlalu lama merenung.
"Aish, jinja ...," Kim mengumpat, karena kesal.
Lantas, dia membalikkan badan kembali dan mengambil langkah menuju kliniknya.
"Seoseangnim! Seoseangnim!" Adya berteriak memanggil Kim, seraya berlari menyusulnya.
Kim yang mendengar suara Adya menghentikan langkah sesaat, Adya pun berlari terengah-engah menghampiri. Namun, Kim mengira bahwa diri sedang berhalusinasi. Dia mengabaikan Adya yang meneriakinya, lantas berjalan kembali. Adya yang tertinggal jauh oleh langkah pria tinggi itu hanya mampu menghela napas, teriakannya hanya bersambut oleh deru kendaraan yang melintas.
Sementara Kim sudah berada di sisi jalan lainnya. Adya membungkukkan badan karena sedikit kelelahan, sesaat kemudian dia bangkit menatapi punggung yang begitu lebar dibaluti kemeja hitam yang menawan semakin menjauh dari jangkauan netranya.
Sesaat dia mematung, ada rasa bimbang terselip di hatinya, antara mengejar atau kembali ke kedai. Jas putih yang di tentengnya itu pasti sangat penting untuk pria itu. Hatinya yang lembut sedikit khawatir. Namun, dia juga tidak berani lama-lama meninggalkan pekerjaannya yang merengkuh sebagian masa depannya.
Adya pun memilih kembali ke kedai bernuansa Korea itu. Kedai yang menyajikan beragam kuliner khas Korea, ada; jajangmyeon, tteokbokki, gimbab, yangnyeom tongdak dan lainnya. Kedai yang belum cukup lama buka tersebut sudah mulai dikenal, Aqila tepat memilih nuansa Korea yang memang sedang banyak digandrungi anak muda masa kini.
Meskipun begitu, Aqila pun tidak meninggalkan kuliner negeri sendiri yang tentunya variatif; nasi goreng, soto, bakso, mie ayam, serta menu andalan yaitu seblak spesial. Hal tersebut menjadikan kedainya ramai tiap kali jam istirahat tiba, terlebih lagi letak yang strategis menjadikan faktor penunjang.
Setelah Kim tak tampak lagi, Adya pun kembali menuju kedai. Hatinya gelisah jika terlalu lama meninggalkan pekerjaan.
"Dari mana saja kamu? Kok, enak banget main pergi-pergi saja saat kedai ramai?" sindir seorang yang seprofesi dengannya.
"Jangan mentang-mentang kenal dengan bos Aqila, lantas kamu seenaknya," imbuhnya.
"Maaf, Kak, saya tadi cuma mau ...," jawab Adya belum selesai.
"Halah, udah gak usah banyak nyingnyong, kerja aja yang bener!" hardiknya kemudian.
Tanpa menjawab Adya pun pergi menuju ruangan Aqila yang berada di belakang. Pintu dan jendela kaca menjadi pembatas sehingga Aqila bisa dengan leluasa mengawasi setiap gerak-gerik pekerjanya.
Tok! Tok! Tok!
Adya mengetuk pintu seraya mengucap salam, Aqila yang sudah mengetahui Adya menghampiri, langsung mempersilakan dia masuk, setelah menyahuti ucapan salam Adya. Perempuan yang tadi menegur Adya mendelik ke arah ruangan itu, sorot mata itu begitu mengerikan.
"Ada apa, Ad?" tanya Aqila tanpa basa-basi, matanya masih berfokus pada layar komputer yang ada di hadapan.
"Ini, jas Dokter Kim ketinggalan, Kak?" ujar Adya menjelaskan.
"Oalah, dasar semprul, bisa-bisanya dia melupakan atribut perangnya," umpat Aqila lantas menoleh ke arah Adya.
Perlahan Adya meletakkan jas itu di sandaran kursi kosong yang ada di seberang meja kerja Adya.
"Tadi saya sempat menyusulnya Kak, cuma saya teriakin kenceng-kenceng pun, Dokter itu enggak denger," jelas Adya, "saya mau nyusul ke kliniknya, tapi pekerjaan masih banyak, gak enak sama kakak-kakak yang lain," imbuhnya.
Melihat tingkah Adya yang begitu manis, Aqila tersenyum lebar, "Ya sudah, nanti aku yang telepon Kim, biar balik lagi ke sini."
Adya pun mengangguk seraya berpamitan. Sesaat setelah Adya mengambil langkah, Aqila berteriak.
"Adya, tunggu sebentar!" titah Aqila.
Sontak Adya menghentikan langkah, "Ada apa, Kak?"
"Menurutmu, bagaimana Kim itu, apakah dia tampan?" tanya Aqila mencoba menggali hati Adya.
"Maaf?" Adya terkejut, keheranan mendengar pertanyaan tersebut.
"Jawab aja, sesuai pendapatmu." Aqila tersenyum simpul.
"Menurut saya, sangat tampan, cocok jika bersanding dengan Kakak," seloroh Adya dengan polosnya.
Jawaban Adya membuat Aqila tertawa tergelak, "Lalu jika denganmu apakah cocok?" tanya Aqila kembali.
"Dengan--ku?" Adya tafakur, "bahkan memikirkannya saja aku enggak berani, Kak," lanjutnya.
"Pikirkan baik-baik, ya," Seraya terkekeh Aqila memberikan pesan itu, "ya sudah sana kembali kerja."
Adya yang kebingungan pun bergegas menuju dapur, dalam kepalanya masih memikirkan perkataan terakhir Aqila. Membuatnya mengkhayal penuh harap, dan terngiang-ngiang wajah Kim.
"Ah, apaan aku ini?" rutuknya pada diri.
Masih, dia sibuk dengan pikirannya seorang teman sepekerjaanya menabrak bahu Adya dengan sengaja. Membuat dia terhenyak dan tersadar dari mimpi manis yang baru saja singgah.
"Astaghfirullah ...," lirihnya.
"Tuh, kerjaan buat tukang ngadu!" Dagu gadis berkulit eksotis itu menunjuk wastafel yang sudah penuh terisi piring dan cangkir kotor.
Adya melesatkan ekor mata searah dengan tujuan gadis tersebut, "aku enggak ngadu, kok, Kak Yuna, aku memang ada urusan sama Kak Aqila," ucap Adya mencoba menjelaskan.
"Kerja saja, gak usah banyak mulut," Lagi-lagi gadis itu berkata dengan begitu sinisnya, kemudian berlalu.
Tanpa menolak Adya pun bergegas menuju wastafel. Sebelum itu dia meraih celemek yang tergantung di dinding, lalu mengenakannya. Tak lupa sarung tangan dia kenakan agar lengan gamisnya tidak basah. Dia pun mulai mencuci perlahan. Manik matanya selalu berbinar meski dalam kekalutan, tak pernah tersirat beban meski kadang dunia tak begitu menguntungkan.
Bahasa tubuhnya selalu terlihat tenang dan ikhlas membuat siapa saja merasa nyaman saat menatapnya, Aqila yang sedari tadi memperhatikan menghela napas dalam-dalam.
"Pantas saja Kim tertarik, tanpa terlihat wajahnya pun dia sudah terlihat cantik," gumam Aqila tanpa melepaskan pandangannya.
Sesaat kemudian terlintas di pikirannya ketika Adya kecil menangis di sudut halaman rumahnya, begitu tersedu-sedu hingga suaranya nyaris hilang. Memanggil seseorang yang melahirkannya, tetapi tidak digubris bahkan dia hanya mendapat caci maki sebagai jawaban.
Gadis kecil berumur sepuluh tahun itu tidak mampu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, yang terlihat hanya kesakitan yang begitu teramat tersirat dari wajahnya yang basah oleh air mata.
Aqila yang kebetulan bertetangga, menatap dari balik jendela, menyaksikan bagaimana sang ibu dengan tega memukul Adya begitu brutal, sementara ayah tiri Adya hanya tersenyum simpul seraya menggendong bayi laki-laki.
Langit mendung kala itu, menjadi saksi bisu. Guntur mulai terdengar, pertanda hujan akan turun. Aqila masih menatapi pemandangan mengerikan di hadapannya. Saat hujan mulai turun, ayah dan ibu Adya terburu menuju ke dalam rumah, Adya tidak berani menyusul, dan memilih berdiam diri bersimbah hujan yang turun.
Tangisan tanpa suara masih terlihat dari tubuhnya yang gemetar, sesekali dia menyeka wajah yang basah karena air mata dan air hujan yang bercampur.
Kriiing! Kriiing! Kriiing!
Suara telepon masuk, membuyarkan lamunan Aqila, dia terhenyak dan beristighfar, tak terasa buliran hangat mengalir dari sudut matanya.
Catatan kaki
Tto boja: sampai jumpa lagi