Hari itu tidak akan terlupakan olehku. Masih hangat dalam ingatanku, saat aku pulang bermain bersama sahabatku—Han Nam Il Orabeoni— ayah dan ibu menunggu di halaman rumah. ketika aku masuk, mereka tersenyum. Awalnya aku merasa canggung dengan senyuman tersebut, hati kecilku berkata ada sesuatu yang aneh. Tepat seperti yang sudah kuduga, para tetua keluargaku hadir semua di rumah sore itu. Mereka tersenyum penuh arti dan mempersilakan aku untuk duduk dengan bahasa yang sangat sopan.
Aku jengah mendengar bahasa sopan yang mereka gunakan saat berbicara denganku. Keanehan tidak hanya terjadi sampai disitu, orangtuaku tidak lagi memanggil namaku. Mereka seperti enggan atau tabu untuk memanggil namaku.
Hatiku sakit. Sakit saat mereka memanggilku dengan panggilan Yang Mulia (Mama). Segera, aku tahu, aku lolos seleksi tahap dua pemilihan Putri Mahkota yang pernah kujalani beberapa waktu lalu. takdir seperti ingin merenggut kebahagiaanku.
Di usia sepuluh tahun, aku harus berpisah dengan kedua orangtuaku. Istana meminangku untuk menjadi pendamping dari Putra Mahkota Uiyang. Gadis lain mungkin akan berteriak kegirangan mengetahui dirinya terpilih menjadi Putri Mahkota Joseon. Tapi, aku merasa kebahagiaanku seperti direnggut paksa oleh surga. Pemilihan tersebut hanya berhenti sampai di tahap dua saja, semua atas keinginan dari tetua istana. Mereka memilihku sebagai kandidat terbaik untuk menduduk takhta calon ratu masa depan. Seharusnya aku merasa bangga dengan penilaian tersebut, nyatanya aku tidak sedikitpun merasa bangga. Aku merasa terbebani.
Seakan belum cukup dengan beban yang harus kutanggung sebagai Putri Mahkota, surga kembali memberikan kejutan tak terduga. Hari itu adalah hari keempat aku tinggal di istana, tepatnya di Byeolgung. Dayang senior berusaha keras melatih serta memberi pelajaran tentang etika istana.
Aku ingat betul, matahari bersinar sangat cerah, ketika seorang dayang istana muda berlari menerobos pintu masuk utama Byeolgung. Dayang muda itu menangis dan bersimpuh di hadapan sanggung senior yang melatihku. Dengan terbata – bata, dayang muda itu mengabarkan bahwa Jusang Jeonha— ayah mertuaku—telah mengembuskan napas terakhir.
Hatiku hancur.
Hancur bukan karena rasa sedih atas berita meninggalnya ayah mertuaku. Tapi, hatiku hancur saat menyadari kenyataan lain yang akan kuhadapi. Kenyataan bahwa aku akan langsung naik tahta sebagai seorang Ratu Joseon.
Aku takut. Sangat ketakutan. Aku takut dengan takhta yang akan kududuki kelak.
~TQS~
"Sampai bertemu besok Nam Il Orabeoni!"
Heo Jung Eun tersenyum sambil melambaikan tangannya sebelum masuk ke dalam rumah. Gadis manis itu tersenyum lebar pada sahabatnya, Han Nam Il, yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Setelah Nam Il tidak lagi terlihat oleh jarak pandangnya, Jung Eun pun masuk ke dalam rumah.
Jung Eun masuk ke dalam rumah dengan senyuman yang masih tersungging di wajah manisnya. Tapi, senyum itu pudar saat ia mendapati kedua orangtuanya seperti tengah menunggu dirinya. Jung Eun merasakan sesuatu yang aneh saat melihat tingkah orangtuanya. Orangtuanya tersenyum dan sedikit membungkukkan badan pada dirinya. Hal itu membuat gadis itu merasa tak nyaman.
"Eomeoni, Abeoji, kenapa kalian ada di luar rumah seperti ini?" Jung Eun bertanya sambil mengernyitkan dahi melihat tingkah kedua orangtuanya yang jelas sangat tak biasa.
Nyonya Min tersenyum dan melangkah mendekati putri tunggalnya. Tangannya dengan lembut merapikan anak – anak rambut di puncak kepala Jung Eun. "Silakan. Segeralah masuk, semuanya sudah menunggu kedatanganmu."
Jung Eun tak mengerti dengan sikap aneh ibunya. Di dalam hati, gadis manis itu bertanya – tanya. "Eomeoni, kenapa Eomeoni berbicara begitu formal padaku? Ada apa ini sebenarnya? Ho, kenapa juga kalian berpakaian sangat rapi di sore hari seperti ini?"
"Sebaiknya anda masuk lebih dulu. Di dalam ruangan anda akan menemukan jawabannya. Silakan."
Tuan Heo membuka suara. Pria itu tak menjawab pertanyaan yang dilontarkan putrinya. Tangannya mengarahkan Jung Eun agar segera masuk ke dalam rumah.
Jung Eun terpaksa melangkah untuk menuruti perintah yang diberikan orangtuanya. Perlahan, gadis itu mengarahkan langkahnya menuju bangunan utama rumahnya. Di dalam hati, Jung Eun kebingungan dengan sikap yang diperlihatkan kedua orangtuanya. Gadis itu merasa ada sesuatu yang tak baik yang sedang terjadi.
Begitu pintu ruangan utama rumahnya terbuka, Jung Eun kembali mendapatkan kejutan yang tak pernah ia bayangkan. Di dalam ruang utama rumahnya, manik hitamnya mendapatkan pemandangan yang tak pernah terduga. Sudah ada sepuluh orang yang sepertinya menantikan kehadiran Jung Eun. Jung Eun mengenali wajah satu persatu yang duduk di ruang utama rumahnya itu sebagai para tetua keluarganya. perasaan tak nyaman semakin kuat menguasai hati Jung Eun saat ini.
Jung Eun menoleh dan mendapati kedua orangtunya tersenyum padanya. Tapi, senyum yang diperlihatkan kedua orangtunya bukanlah senyuman yang biasa Jung Eun dapatkan. Senyuman itu adalah senyuman penuh rasa hormat. Jung Eun tak suka dengan senyuman tersebut.
"Selamat atas terpilihnya nona muda keluarga Hong sebagai Wangsejabin. Kami sangat bangga dan terhormat karena sekali lagi, keluarga kami mendapatkan kehormatan terpilih menjadi keluarga istana. sekali lagi, selamat atas terpilihnya anda, nona muda Hong."
Seluruh tetua keluarga Jung Eun tersenyum dan membungkuk hormat pada dirinya yang masih berdiri di ambang pintu. Jung Eun terbelalak mendengar ucapan selamat yang baru saja diucapkan salah satu tetua keluarganya. Jung Eun kembali menoleh pada kedua orangtuanya yang masih berdiri di belakangnya. Tatapan gadis itu seperti memohon penjelasan atas semua kejadian aneh sore hari ini.
Seakan mengerti kebingungan yang tergambar di wajah Jung Eun, Nyonya Min kembali menyunggingkan sebuah senyuman. Wanita bangsawan itu menatap lembut putrinya.
"Selamat anda telah terpilih menjadi Wangsejabin, Mama. Kami berharap anda bisa membawa berkah dan kedamaian untuk negeri ini kelak."
Hati Jung Eun sakit saat mendengar orangtuanya kembali berbicara dengan bahasa yang formal pada dirinya. tapi, yang paling menyakitkan bagi Jung Eun adalah ayah dan ibunya tak akan pernah memanggil lagi dirinya dengan nama lahirnya. Airmata tanpa tertahan jatuh membasahi kedua pipi Jung Eun. Hati Jung Eun seperti dikoyak oleh pisau. Benar – benar pedih. Sore itu menjadi sore yang menyedihkan bagi Hong Jung Eun.
~TQS~
Jung Eun meringis sakit. Kepalanya benar – benar tak tahan lagi untuk menyangga mahkota berat yang kini sedang ia kenakan. Ini adalah hari keempat Jung Eun tinggal di istana. Setelah ia dinyatakan terpilih menjadi Putri Mahkota, esok harinya istana langsung mengirimkan tandu untuk menjemput Jung Eun dari rumah.
Jung Eun ingat betul, dirinya tak bisa menahan tangis pilu karena harus berpisah dari orangtuanya. Dengan berat hati, Jung Eun pun masuk ke dalam tandu. Gadis itu harus memulai pendidikan dan persiapan pernikahan kerajaannya. Seperti hari ini, Jung Eun mengenakan daesu dan jeokui lengkap untuk berlatih memberi hormat saat upacara pernikahan nanti.
Seorang dayang senior tengah memperhatikan cara memberi hormat yang dilakukan Jung Eun. Di kanan dan kiri Jung Eun terdapat dua dayang muda yang bertugas membantunya. Lagi – lagi, Jung Eun kehilangan keseimbangan saat hendak menunduk karena tak tahan menahan beban berat di kepalanya.
"Mama, anda tak boleh bergerak seperti itu. Anda harus menunduk secara perlahan. Mari kita ulang sekali lagi. Mohon untuk tidak membuat kesalahan lagi, Mama."
Dayang senior itu kembali menegur Jung Eun yang lagi – lagi membuat kesalahan. Jung Eun menghela napas lelah. Sudah seharian ini ia berlatih berjalan dan menghormat. Latihan seperti itu bukanlah sesuatu yang sulit jika tidak dilakukan dengan menggunakan pakaian berlapis – lapis dan mahkota besar yang sedang ia kenakan saat ini. Jung Eun hanya bisa mengangguk pasrah, sekalipun ia ingin sekali menendang dan melemparkan pakaian berat yang ia pakai.
Baru saja Jung Eun kembali ke posisi semula sebelum ia memberi hormat, telinganya mendengar suara keributan di halaman. Jung Eun menghentikan gerakannya dan memberikan tatapan penuh pertanyaan pada dayang senior yang melatihnya.
"Mamanim! Sanggung Mamanim !"
Suara panggilan seorang gadis terdengar di halaman Byeolgung, paviliun tempat tinggal Jung Eun selama berlatih di istana. dayang senior yang mendengar keributan itu segera memohon izin pada Jung Eun. Jung Eun hanya mengangguk singkat sebagai tanda ia memberi izin.
"Ada keributan apa ini? Kenapa kau bersikap begitu sembrono di kediaman Wangsejabin Mama, Dayang Jang?"
Pertanyaan bernada marah kini terdengar di telinga Jung Eun. Gadis itu memilih duduk untuk beristirahat sejenak sebelum kembali berlatih. Jung Eun menajamkan telinganya untuk mendengar keributan yang terjadi di halaman paviliunnya.
"Mohon maafkan sikap saya, Mamanim. Tapi, ada berita penting yang harus saya sampaikan pada anda." Balas dayang muda itu sambil bersimpuh di hadapan dayang senior tersebut.
"Ada apa sebenarnya? Segera katakan!"
Isak tangis mulai terdengar dari dayang Jung yang kini tengah bersimpuh di depan dayang senior tersebut.
"M-mamanim, J-jeonha... Jusang Jeonha baru saja mengembuskan napas terakhirnya." Ucap Dayang Jung sambil kembali terisak.
Jung Eun terhenyak mendengar berita yang baru saja ia dengar. Gadis itu terduduk lemas sambil memegangi dadanya yang kini berdenyut sakit. Sorot mata gadis manis itu terlihat kosong seakan baru saja di beri beban berat puluhan ton. Jung Eun sangat terkejut mendengar berita yang tak sengaja ia dengar.
Perlahan, rasa takut mulai menyerang dirinya. Jung Eun mulai ketakutan dengan segala hal yang akan terjadi kelak. Jung Eun tak sanggup dengan kenyataan seperti ini. Terpilih menjadi putri mahkota saja sudah membuat dirinya tersiksa setengah mati. Fakta baru bahwa ayah mertuanya—Raja Gwanghyo—telah berpulang membuat Jung Eun seperti tercekik. Rasa takut semakin kuat menguasai hatinya, hingga tanpa sadar airmata mengalir turun membasahi pipinya.
"Eomeoni, apa yang harus kulakukan sekarang? Beban menjadi Putri Mahkota saja sudah sangat berat bagi gadis sekecilku. Kenapa? Kenapa surga mengambil Jeonha secepat ini?" ucap Jung Eun dengan suara yang sangat lirih.
~TQS~
Malam itu angin berhembus kencang. Udara terasa sangat dingin. Suasana berkabung terasa begitu kuat menyelimuti istana malam ini. Malam itu paviliun Byeolgung masih terlihat terang benderang. Belum ada satupun cahaya lilin yang dipadamkan. Termasuk di ruangan tempat dimana Sang Putri Mahkota beristirahat.
Jung Eun belum juga beranjak tidur. Gadis itu tengah termenung dengan mata yang sembab. Seharian tadi, setelah kabar kematian Raja Gwanghyo disebarkan, pelatihan Jung Eun dihentikan untuk sementara waktu. Perintah resmi istana mengenai penundaan pernikahannya pun telah disampaikan padanya. Jung Eun dan Putra Mahkota Uiyang harus menunda pernikahan sampai masa berkabung selesai. Selama masa penundaan tersebut, Jung Eun tetap tinggal di istana.
Jung Eun menghela napas lelah. Dadanya terasa semakin sesak setelah mendapatkan perintah resmi mengenai penundaan pernikahannya. Masih terngiang di telinga Jung Eun kata – kata dayang senior yang melatihnya mengenai penundaan tersebut.
Kemungkinan besar, anda akan segera naik takhta. Setelah masa berkabung selesai, anda akan menikah dan langsung dinobatkan menjadi Ratu Joseon. Penobatan anda kelak bukan lagi penobatan sebagai Putri Mahkota Joseon, tapi sebagai Yang Mulia Ratu Joseon.
Ucapan dayang senior itu membuat hati Jung Eun semakin sakit. Menduduki takhta Sejabin saja bukanlah keinginannya. Kini, ia harus segera menduduki takhta sebagai Ratu Joseon. Tanpa sadar, airmata kembali jatuh dari kedua sudut mata Jung Eun. Gadis itu lelah. Gadis itu tak menginginkan takhta ini. Matanya kemudian melihat baju upacaranya yang masih disimpan di ruangannya.
Jung Eun jatuh terduduk sambil menangis. Gadis itu ketakutan. Jung Eun takut dengan segala yang akan terjadi di masa depannya. Gadis itu menatap nanar pada jubah upacaranya.
"Eomeoni, aku takut. Apa yang harus kulakukan sekarang? Beban ini terlalu berat untuk kutanggung." Ucapnya sambil menangis menatap baju upacaranya.
~TQS~