"Bukankah kau seharusnya tak di sini, Tuan?" tanyanya kemudian padamu dengan wajah sedikit memperlihatkan keheranan sambil meletakkan gelas seloki terbuat dari plastik yang ada dalam genggamannya di samping botol Vodka di sebelah kanannya.
Kau hanya mampu menjawabnya dengan senyum simpul, pandangan matamu sengaja kau turunkan, dalam pikiranmu, kau merasa heran, kenapa ia baru sadar sekarang—setelah beberapa tenggakan yang ia lakukan bersamamu, sedang ia berdiri tepat di depan hidungmu.
Kau lalu mengambil nafas singkat, tapi sedikit dalam, kemudian menjawab pertanyaannya.
"Ya, memang seharusnya seperti itu, jika kau kembali mabuk dan menceritakan hal-hal yang paling rahasia dari dirimu, dan itu membuatku muak!" jawabmu.
"memangnya kemarin apa yang aku bicarakan?" ia kembali bertanya kepadamu, kedua alisnya ia tarik sentripetal ke dalam, seolah dihisap oleh lubang hitam yang ada pada dua bola matanya, ia menampakkan wajah sedikit bingung, atau mungkin malah hanya sekedar memperlihatkan ekspresi keterkejutannya yang memang disengaja.
Untuk sesaat kau hanya diam, lalu mengangkat kedua baumu, kedua tanganmu kau buka lebar seperti seseorang yang sedang berdoa, tapi sejajar dengan bahu, sedang bibir bawah mu kau majukan untuk mengejeknya dengan arti bahwa kau sendiri sebenarnya juga lupa.
"Ayo lah, kau pasti mengingatnya," ucapnya sedikit merengek padamu, kedua bahumu ia goyang pelan dengan dua tangannya, berulang-ulang, dan itu membuatmu merasa terdesak untuk segera menjawab apa yang sedang ia tanyakan.
"Apa kau benar-benar tak bisa mengingatnya?" tanyamu dengan maksud memastikan.
"Asal kau tau, dalam keadaan kepala terasa berat dan melayang-layang seperti semalam itu, tak semua hal yang dapat kulakukan akan dapat pula untuk kuingat, dan jika pun bisa, itu pasti hanya sebagian kecil saja," jelasnya padamu sedikit panjang dan melebar.
"Lalu kenapa kau masih ingat dengan janjiku semalam?" tanyamu seakan menyelidik, tapi dengan bahasa yang lunak dan nada yang sedikit mencemooh.
"Kalau itu ... Mungkin termasuk ke dalam sebagian kecil dari apa yang tadi aku maksudkan," jelasnya lagi beralasan sambil mengulum senyumnya dalam-dalam.
"Kau betul-betul pandai membela diri!" ucapmu kemudian dengan sedikit tawa dengan nada rendah yang selintas terdengar seperti sebuah pujian.
"Hmmm ... Jadi kau betul-betul tak ingat kenapa aku berkata demikian?" tanyamu sekali lagi untuk meyakinkannya.
Dan meski ia bisa mendengarmu dengan jelas, namun sepertinya ia lebih memilih untuk hanya diam, dan kemudian memasang wajah manjanya, dengan setelan senyum yang dibuat-buat sedemikian rupa; setelan khas senyum seorang pelacur saat ingin menarik mangsa ke dalam cengkeramannya atau saat mereka minta dicengkeram; sebuah senyum yang sebenarnya mematikan, tapi bukan karena kekuatan, melainkan disebabkan kelembutannya yang memabukkan.
Mendapati wajahnya berekspresi seperti itu, kau hanya mampu menggelengkan kepalamu dengan ringan, lalu satu tanganmu terangkat untuk memukul-mukul lunak pada keningmu, seolah-olah kau ingin memastikan bahwa gumpalan lemak yang ada di dalam kepalamu itu masih ada di dalam sana; serupa rumah pengecekan barang yang melakukan pengecekan dengan cara mengetuknya berulang kali.
"Ya sudah, mari lupakan," katamu lagi padanya, lalu kau mengambil gelas seloki dengan tangan kananmu, kemudian kau menjangkau botol Vodka yang ada di sisi kirimu, lalu setelah itu, kau menuangkannya hingga terisi setengah ke dalam gelas seloki yang kau pegang, lalu kau berkata kepadanya dengan nada sedikit memerintah.
"Ayo, sekali lagi!" pintamu kepadanya sambil menyodorkan gelas yang sudah terisi setengah di tangan kananmu, sedang alismu terangkat sebelah untuk memastikan permintaanmu itu mendapat sambutan darinya.
Bibirnya kemudian melengkung pelan kepadamu, kemudian merekah serupa bunga Tulip di pagi hari, kemudian ia menjangkau gelas seloki yang ada pada sisi kanannya, setelah itu ia segera menyodorkannya kepadamu yang menandakan gelas itu telah siap untuk diisi lagi.
Dengan hati-hati kau kemudian menuangkan vodka ke dalam gelas yang ada pada genggamannya, kemudian menanti sampai ia terisi setengah seperti gelas seloki yang ada pada cengkeraman jari tanganmu.
Setelah itu selesai, kemudian botol vodka yang kau pegang kau letakkan kembali pada sisi kirimu sambil menatap perih ke dalam bola matanya—sebab teringat ceritanya kemarin malam. Sedang, dalam hatimu kau masih sangat percaya dengan apa yang dikatakan oleh petuah lama yang kau dengar berulang-ulang itu saat kau masih kecil, bahwa mata manusia adalah telaga bagi jiwanya, dan dari sana; dari kedua bola matanya itu, kau bisa melihat dan merasakan semua yang tengah dirasakan oleh hatinya dengan jelas, sesuatu yang sama sekali tak bisa kau bohongi, apalagi untuk dirimu sendiri; kau benar-benar bisa merasakannya, bahwa ia menyimpan sebuah kepedihan yang sangat rahasia.
Lalu kau mengangkat gelas sejajar dadamu, dan tanpa melepaskan pandangan dari kedua matanya, kemudian dengan lagak meyakinkan bak seorang pemabuk andal kau pun mengajaknya bersulang.