Chapter 4 - Bab 4

Kau tertawa lepas mengikutinya, mencoba sekuat yang kau bisa untuk ikut tenggelam dalam setiap nada-nada kebahagiaan yang muncul dari barisan tuts-tuts gaib tak terlihat yang tengah ia tekan dan mainkan dalam satu tempat di lubuk hatinya, dan kau ingin merasakan sensasi nyanyian kebahagiaan pada tawanya itu dalam-dalam; agar kau bisa melupakan bagaimana kepedihan telah nyata ada dan mendera segenap kehidupan yang ia punya; yang untuk saat ini boleh jadi masih tersimpan serapi mungkin dalam bilik yang lain pada lubuk hatinya; yang selalu ia buka-tutup sesuai keinginannya sendiri; yang selalu datang dan menghantui pikiranmu beberapa hari ini.

Dan meskipun kini kau bisa tertawa sekeras yang ia bisa, tapi tetap saja, kau tak bisa menjangkau secuil pun perasaan yang kini tengah ia rasakan itu, dan semakin dalam kau mencoba masuk untuk menyelami perasaan dalam hatinya, maka dorongan yang datang entah dari mana itu akan semakin kuat pula untuk membuatmu terlempar jauh keluar dari sana—untuk kemudian jatuh tersungkur dan tak berdaya di hadapan ingatanmu sendiri; di depan sebuah ingatan tentang apa yang ia ceritakan padamu kemarin malam; sesuatu yang membuat tubuhmu bergetar hebat, lalu menggigil karena tak kuat menahan perasaan aneh yang tiba-tiba mendesak hebat dari dalam, dan memaksamu untuk melampiaskannya seketika—dan itu sekaligus membuatmu melontarkan sebuah janji padanya tanpa sengaja, bahwa jika ia sekali lagi menceritakan cerita yang seharusnya ia simpan sendiri itu, maka kau tak akan datang lagi ke tempat di mana kau dan ia sekarang menikmati tegukan demi tegukan sebotol vodka.

Padahal, jika saja saat itu kau masih dalam keadaan sadar dan mau untuk berpikiran sedikit terbuka, tentu saja tanpa melibatkan dan menuruti apa yang selama ini sudah kau anggap sebagai nilai mutlak yang tak dapat lagi diganggu gugat itu; sesuatu yang kau anggap sebagai satu-satunya kebenaran di muka bumi ini. Dan sesuai alasannya, maka apa yang ia ceritakan kemarin malam tersebut sesungguhnya memang tak lain dan tak bukan hanyalah murni sebagai cerminan dari apa yang benar-benar tengah ia rasakan ketika itu, dan ia sama sekali tidak bermaksud mengurang atau menambahnya sedikit pun, dan sayangnya kau tak mau tau tentang itu—bahwa pada hakikatnya tak ada yang salah dari ceritanya.

Dan dalam hal tersebut sebenarnya ia pun sangat tau bahwa tak ada sesuatu yang salah dari dirimu, selain waktu itu kau rupanya sedang berada pada titik kebodohan paling tinggi dalam hidupmu—sehingga membuatmu menjadi bereaksi sedikit berlebihan terhadapnya, entah itu karena perbedaan nilai yang kau percaya dan paksakan tak boleh ia langgar, atau malah sebaliknya, atau justru malah sesuatu yang lain yang datang tanpa kau sadari dengan sangat pelan sekali, dan mulai mencengkeram hatimu tanpa sedikit pun kau sadari.

Dalam kepalamu kau masih bisa membayangkan bagaimana malam itu berlalu dengan sangat jelas, kau bahkan juga masih ingat jika ia sebenarnya hanya menceritakan sesuatu yang sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan hidupmu, sesuatu yang sebenarnya boleh-boleh saja ia ceritakan kepada siapa pun yang ia mau, tanpa harus terlalu kau pedulikan, dan itu, sekali lagi adalah sesuatu yang benar-benar berangkat dari kenyataan yang ia alami sendiri ketika ia bekerja sebagai seorang pelacur pada sebuah rumah bordir saat masih kecil, dan yang paling penting dari semua itu adalah: ia menceritakan padamu atas dasar keinginannya sendiri, dan atas persetujuanmu juga; dan ia sama sekali tidak meminta pendapatmu atas apa yang tengah ia rasakan saat itu.

Sementara, saat kau masih memikirkan hal itu, perempuan yang bernama Athena Vivian tersebut baru saja menghentikan suara tawanya, lalu matanya memandang padamu lekat-lekat—yang seperti seorang sedang bingung dengan tatapan mata kosong menembusi jalan dan gedung-gedung tua dan apapun yang menghalanginya untuk menemukan sesuatu yang sebenarnya entah apa.

Ia lalu melambaikan tangan kanannya tepat di depan matamu dan itu membuat kesadaranmu tertarik kembali pada tempat semula, ke dalam relung-relung kenyataan sebelah kiri dalam benakmu; ke tempat di mana akal bermain kucing-kucingan dengan nafsu, ego, dan kebodohan.

"Hoey, kau kenapa!?" tanyanya dengan suara berat dan sedikit lamban.

Kau lalu mengalihkan pandanganmu dari jalan menuju tepat ke dalam kedua matanya yang kini sudah memerah, dan kau kemudian tersenyum.

"Tak apa, hanya tengah mencoba menikmati minuman ini secara utuh," jawabmu dengan nada yang sama beratnya dengannya.

"Kau lihat, pupilmu sekarang telah membesar sebesar ini," katanya sambil menunjukkan ujung jempol pada jari tangan kanannya, lalu kemudian ia tertawa lagi untuk menunjukkan betapa bodohnya kau dalam perkara minum.

"Kau juga, pupilmu membuka selebar danau yang di dalamnya menampung segala macam buaya," balasmu tak mau kalah.

Ia lalu mengambil nafas dalam-dalam, memejamkan kedua matanya, menahannya sekejap, kemudian menghembuskannya perlahan. Lalu setelah itu, kedua matanya secara perlahan ia buka kembali, dan kemudian memajukan wajahnya beberapa puluh senti untuk lebih dekat pada wajahmu, sehingga kau dapat merasakan hangat nafasnya.

"Sekarang bagaimana?" tanyanya memastikan.

Kau hanya terdiam sejenak, tak tau apa yang ia maksudkan, tubuhmu tiba-tiba menjadi sedikit lebih hangat dari sebelumnya, sebab kini kau merasakan ada hal yang aneh baru saja tumbuh dan menjalar dalam setiap aliran darahmu seketika merasakan hangat embusan nafasnya yang menerpa sekujur kulit pada wajahmu, dan setelah itu, dalam keadaan masih ragu-ragu kemudian matamu sekarang terpaku pada bibirnya.

"Dasar bodoh, siapa suruh kau untuk menciumku!?" gertaknya kemudian sambil menempeleng ringan kepalamu.