Chapter 3 - Bab 3

Kau lalu mengangkat gelas sejajar dadamu, dan tanpa melepaskan pandangan dari kedua matanya, kemudian dengan lagak meyakinkan bak seorang pemabuk andal kau pun mengajaknya bersulang.

Ia menyambut ajakan itu dengan seutas senyum yang ia lukis sendiri pada wajahnya, menggoyangkan kepalanya untuk menyibakkan rambutnya yang jatuh menutupi setengah pelipisnya sebelah kiri, lalu mengangkat gelas selokinya sejajar denganmu untuk kemudian dari masing-masing gelas terdengar bunyi yang beradu nyaring dan lantang, dan itu sekaligus menjadi pengantar bagi malam yang sedang menanjak naik di langit Komune Pigalle yang tenang tapi tak pernah tidur, dan desir angin sudah dari tadi pergi meninggalkan Komune sombong itu untuk menuju puncak Montmartre yang perkasa, lalu melintas berkelok sambil mengangkangi kubah-kubah Basilica Sacre Coeur, meninggalkan piuhnya di sudut-sudut bar Le Kremlin yang merah terang, lalu berkesiur mencari tempat pulang di antara bangunan-bangunannya yang tua dan pongah tapi masih selalu siap menantangi waktu—bangunan-bangunan yang pada setiap dindingnya menyimpan banyak kesedihan dan kesenangan yang tersimpan dari tiap-tiap zaman, merekam setiap keangkuhan dan segala-gala keserakahan, sepanas-panasnya api gairah dan sekeras-kerasnya desahan, menyingkap seluruh kebinalan dan juga kebanalan; serta segala hal yang menjadi ciri khas bagi makhluk malang yang disebut dengan manusia ini.

Lalu setelah itu, hanya dalam satu tarikan nafas, kemudian gelas yang tadinya berisi setengah tersebut kini telah kosong dan sama sekali tak menyisakan sesuatu apapun di dalamnya, kecuali hanya udara malam kota yang masih saja setia dan tersisa pada setiap ruang yang kosong—yang selalu menyimpan keterhubungan setiap jiwa pada makhluk yang hidup dan masih terus berkehendak pada Tuhan yang selalu sibuk menyembunyikan diriNya.

Persis seperti sebelumnya, tiba-tiba saja matanya kemudian memejam dan dahinya mengerut buruk seakan terisap ke dalam kedua bola matanya. Tapi tak lama, hanya sebentar, lalu setelah itu kedua matanya terbuka lagi dengan senyum yang mengembang lalu perlahan-lahan berubah menjadi tawa, yang renyah dan bergairah.

Dan seperti tawa-tawa yang renyah dan bergairah lainnya—yang tanpa sadar akan dapat mempengaruhi orang-orang untuk ikut masuk ke dalamnya. Hal itu tanpa sadar juga ikut membuatmu tertawa saat mendengar suara tawanya yang seperti memanggilmu untuk masuk ke dalamnya tanpa banyak tanya, dan tanpa bisa protes perihal apapun yang sedang ia tertawakan.

"Bagaimana!? Apa kau sekarang sudah ingat tentang kejadian semalam?" tanyamu kemudian dengan diikuti tawa renyah yang tak bisa kau tahan.

Tawanya tiba-tiba berhenti sejenak saat mendengar apa yang kau tanyakan, sedang matanya memandang padamu dengan lekat seolah sedang mengingat sesuatu dengan keras, menunggu, menunggu, dan menunggu. Tapi sepertinya ingatan yang ia tunggu dan harapkan itu tak kunjung datang menghampiri tempurung kepalanya. Lalu ia pun kembali mengulum senyumnya sendiri.

"Masih belum," ungkapnya tak lama kemudian, suaranya terdengar berbeda dari sebelumnya, ia seperti menahan sesuatu yang menggelitik di dalam mulutnya, atau mungkin dari dalam hatinya, atau malah bisa saja dari dalam perutnya.

Lalu, tanpa ada jeda sedikit pun dengan akhir kata yang ia ungkapkan, kemudian sekali lagi tawanya pecah berhamburan ke udara, mengisi ruang-ruang kosong, berderai di antara rerumputan yang mengembun, lalu jatuh di antara semak-semak—tawanya kali ini terdengar lebih keras dari sebelumnya.

Kau pun sekali lagi tanpa sadar ikut tertawa karena melihat ulahnya yang demikian—yang tanpa ada alasan pasti tiba-tiba saja ia menumpahkan semua tawanya sepuasnya. Dan sama seperti tadi, kau sama sekali tak memiliki kesempatan untuk memikirkan alasan yang membuatnya tertawa, sedang bagimu alasannya sudah pasti karena terbawa oleh suara tawanya yang memang mempunyai daya magis yang mampu membawamu untuk ikut terbawa dan tertawa sama sepertinya. Itu terjadi dalam waktu yang agak lama. Berulang-ulang, sampai wajahmu menjadi merah padam, dan urat-urat pada batang lehermu menyembul seperti selang air yang ujungnya tersumbat.

Dan setelah puas, dalam jeda yang tak dapat disebutkan; antara kau berhenti tertawa dan saat ia mengambil nafas untuk menghabiskan sisa tawanya. Kau kemudian sekali lagi mencoba bertanya.

"Sudah ingatkah kau sekarang?"

Ia lalu menatapmu, dengan perasaan yang entah apa kini ada di hatinya, begitu bias dan sangat sulit untuk diterka. Tatapan yang hampir sama seperti tadi, tapi mulai berat dan binarnya memperlihatkan cahaya kebahagiaan yang tak terkira—walau masih menyembunyikan perih jauh di dalamnya.

"Aku tak mau tau," katanya kemudian dengan lugas dan cepat, lalu disusul Kembali oleh suara tawanya yang bertambah keras.

Sementara itu, kau hanya bisa memandangnya dengan pandangan yang kecut sambil bibirmu menyungging berat ke sebelah kanan, hatimu sebenarnya sedikit jengkel dengan ulahnya yang sedikit kekanakan itu, sedang di balik sifat kekanakannya itu kau pun perlahan mulai mengagumi cara bagaimana pikirannya bekerja, yang kadang dengan mudah dan tiba-tiba saja terbang tinggi, setinggi-tingginya, jauh dan tinggi sekali, kemudian meliuk-liuk, lalu menukik tajam sesuka hatinya, serupa seekor burung yang baru saja lepas dari sangkarnya yang pengap, dengan girang meloncat ke sana ke mari tanpa beban sedikit pun, dan berkicau semaunya, begitu lepas begitu bebas. Lalu, kini kau pun jadi mulai menerka-nerka dan bertanya, apalagi kira-kira yang lebih berharga dan menyenangkan dari menjadi seorang manusia selain tetap menjadi kanak-kanak?