Chereads / Marriage Destined From Childhood Rival / Chapter 2 - Amarah yang Familier

Chapter 2 - Amarah yang Familier

Dia harus menangani wanitanya lagi? Sungguh menjengkelkan.

Bella menggerutu di dalam hati. Ini sudah menjadi pekerjaannya sejak lama. Sejak dia menjadi sekretaris Bagas, tugas yang paling sering dan paling wajib yang harus dia lakukan adalah menangani wanita-wanita Bagas.

Bella sudah berangkat ke bandara sejak pukul 2 siang. Dia tidak mau mengambil risiko macet, lagi, jika dia pergi lebih lama. Tetapi, untungnya jalanan tidak terlalu macet hari itu. Bella sudah sampai di bandara pada pukul 3 sore dan dia mesti menunggu satu jam lagi.

Manajer Laura tadi sempat mengatakan, bahwa dia harus menunggu Laura di pintu masuk kedatangan. Dengan sebuah buket bunga lili yang terikat rapi, Bella berlari menuju pintu masuk sesuai dengan arahan si manejer.

Bella berjalan sambil menatap bunga di tangannya.

Sebenarnya, Bella juga tidak terlalu mengerti, kenapa presdirnya itu selalu memintanya memberikan bunga lili untuk kekasihnya. Kenapa tidak mawar?

Di masa lalu, ada seorang wanita yang juga sangat Bagas cintai, bahkan sampai sekarang Bagas masih sangat menyukainya. Tetapi saat itu Bagas bahkan menyatakan cintanya pada wanita itu dengan memeberikan bunga lili juga.

Bella tidak mengerti, mungkin Bagas memang menyukai bunga lili ketimbang bunga mawar. Atau mungkin dia ingin menyimpan bunga mawar di saat dia akan melamar istrinya nanti. Bunga mawar jelas melambangkan aura keromantisan yang tinggi.

Oh, atau mungkin presdirnya itu memang tidak tahu bagaimana bersikap romantis?

Sementara Bella larut dalam pikirannya, dia ternyata sudah sampai di pintu masuk kedatangan.

Saat itu, Bella melihat Laura yang tengah dikerumuni oleh para penggemarnya. Ada yang meminta foto, tanda tangan dan juga ada yang berteriak sangat histeris.

Manajer Laura dan penjaga keamanan di sana tampak kewalahan mengosongkan jalan untuk Laura. Sedangkan Laura tampak sedikit menunduk dengan senyum manis di wajahnya. Senyum itu cukup lembut dan halus jika dilihat sekilas, membuat para penggemarnya semakin histeris.

Untungnya berkat kerja keras para penjaga keamanan, Laura berhasil mencapai pintu keluar dengan aman.

Bella menyambutnya dengan senyuman.

"Nona Laura, Presdir Bagas mengirimkan saya untuk menjemput anda. Dan beliau memberikan anda ini." Bella menyerahkan buket bunga di tangannya.

Wajah Laura tampak sangat kecewa pada saat itu, namun beberapa saat kemudian dia menampilkan senyum terpaksanya dan menerima bunga dari tangan Bella.

"Presdir sangat pengertian. Dia masih mengingatku walaupun jadwalnya sangat sibuk, bukan?" Suara Laura terdengar begitu halus. Bella hanya membalas dengan tersenyum. Dia tidak ingin berkomentar lebih atau ikut menyanjung bosnya, dia di sini hanya ingin menjalankan tugasnya. Untuk menjemput Laura. Itu saja.

Melihat Bella yang malah diam dan tidak meresponnya, Laura merasa sedikit jengkel.

Laura diam-diam tersenyum licik. Dia melangkahkan kakinya dari sana, dengan sepatu hak tingginya, dia melenggang dengan anggun.

Bella dan si manajer buru-buru mengikutinya dari belakang.

"Akh!" pekik Laura tiba-tiba.

Jika memperhatikan Laura dengan sangat jelas saat itu, orang-orang akan tahu bahwa dia hanya memutar kakinya dengan sengaja waktu itu, membuatnya tampak tergelincir. Namun karena Bella dan si manajer di belakang memang tidak terlalu memperhatikannya, mereka percaya bahwa Laura benar-benar tergelincir.

Manajernya buru-buru menyusul dan membantu Laura. "Laura, kamu baik-baik saja?"

"Ini menyakitkan," rengeknya.

Bella yang berada di belakang sedari tadi, langsung segera menyusul. Dengan prihatin dia ikut menatap kaki Laura.

Melihat Bella yang berada di sampingnya. Laura menatap si manajer dengan tatapan penuh arti. Karena si manajer pun sangat tahu bagaimana Laura, jadi dia sangat paham dengan maksud tatapannya barusan.

"Sekretaris Bella. Bisakah kamu menilai seberapa parah kakinya tergelincir? Kakinya pasti sangat sakit," kata si manajer.

Karena merasa dia di sini juga harus sedikit perhatian karena dirinya sekarang sedang membawa nama presdir di pundaknya. Bella pun menyetujui itu tanpa memprotes.

"Baik, baik." Bella langsung membungkuk tanpa ragu-ragu.

Bella bukan dokter. Dia sama sekali tidak punya keahlian sejenis itu, tapi jika hanya untuk menilai seberapa parah kaki seseorang terluka, dia tentu bisa untuk hal yang mendasar seperti itu, dia sering mengamati kakeknya.

Bella berjongkok dan memegangi pergelangan kaki Laura dengan hati-hati. Lalu dia mulai menekan lembut kaki Laura dengan satu tangannya, mencoba menilai daerah mana yang sakit.

Sedangkan Laura menatap Bella dari atas sana. Tatapan itu penuh dengan tatapan merendahkan. Lalu dia melukis sebuah senyuman di bibirnya.

Laura sudah lama menyimpan rasa tidak suka pada Bella. Sikap Bella di matanya terlihat sangat sombong.

Keesokannya, Bella sudah berada di kantor. Dia saat itu baru saja membuat secangkir kopi dan ingin mengantarkannya pada sang presdir. Tepat ketika berada di depan pintu, Bella bahkan belum membuka pintu itu, namun suara Bagas sudah terdengar melengking memanggil namanya.

Bella sedikit kaget. Dia buru-buru masuk tanpa mengetuk pintu lebih dahulu.

"Presdir?" Bella meletakkan kopi panas di meja Bagas lalu mundur beberapa langkah. Bella sudah sangat paham dengan semua ekspresi Bagas, dan sekarang dia juga sudah dapat menyimpulkan dengan cepat bahwa Bagas sedang marah besar.

Sebenarnya amarah seperti ini cukup familier bagi Bella. Bagas memang selalu marah. Tetapi bedanya, untuk hari ini Bella tidak tahu apa yang membuatnya marah.

"Kamu sangat bodoh!" Bagas duduk di kursi mewahnya dan menatap tajam kearah Bella. Tatapan Bagas waktu itu terlihat mengerikan, membuat Bella sedikit bergidik.

Bella tetap menundukkan kepalanya. Dia bahkan tidak tahu di mana letak kesalahannya hari ini. Jadi dia tidak tahu harus berkata apa.

Melihat Bella yang tetap menunduk dan tidak membalasnya. Bagas menjadi tambah marah. Dia lantas meneguk secangkir kopi dari atas meja dengan kasar.

Namun, sedetik kemudian dia menyemburkan semua kopi itu dari mulutnya. Dan hebatnya, semburan Kopi itu melayang tepat di wajah Bella dan juga mengenai kemeja putihnya yang bersih itu.

Bella hampir meledak.

Bella menahan kesabarannya dengan tetap diam tak berkutip. Dia juga sangat ingin marah sekarang. Rasanya dia bahkan bisa memakan pria di depannya itu dengan utuh.

Pria ini benar-benar kelewatan batas.

Bagas mengerutkan keningnya dan dengan marah mengibas cangkir itu kelantai, lalu berteriak dengan nyaring lagi. "Bella! Kamu ingin membunuhku dengan kopi panas seperti ini?!"

Tentu saja kopinya panas.

Dia baru saja membuatnya, oke? Dan bagaimanapun membuat kopi itu di mana-mana harus menggunakan air panas.

Apa Bella salah?

Bella tidak tahan lagi. Dia membalas Bagas dengan kepala yang diangkatnya tinggi.

"Apa kamu bodoh? Itu baru saja aku seduh. Tentu saja itu akan panas. Siapa suruh meminumnya tanpa menunggunya dingin terlebih dulu!"

Bagas tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. "Kamu melawanku? Kamu sudah berani melawanku sekarang?"

"Kamu sangat aneh." Bella menggeleng-gelengkan kepalanya dan dengan acuh dia langsung memutar tubuhnya dan pergi dari sana.

Bella selama ini terlalu memanjakan Bagas. Dia selama ini selalu menahan kekesalannya, dan lihatlah sekarang, Bagas memperlakukannya semena-mena.

Bagas menatap punggung Bella yang meninggalkan ruangan.

"Kembali ke sini, Bella!" pekiknya.

Bella tetap berjalan seolah dia tidak mendengar apapun. Dia bahkan menyempatkan diri untuk membanting pintu ruangan itu dengan keras saat menutupnya.

Bagas semakin marah. Dia bersandar pada kursinya dengan kesal. Melonggarkan dasinya dan kembali melirik laptop yang berada di mejanya.

Berita utama di internet itu telah membuat darahnya naik sangat tinggi. Berita itu adalah peristiwa kemarin. Di sana tertulis bahwa Laura baru saja kembali ke negaranya untuk syuting film terbaru, dan Tuan muda Smith telah mengirim sekretarisnya dengan seikat bunga.

Foto yang menyertai berita itulah yang membuat Bagas marah besar. Melihat Bella yang sedang berjongkok dan memijat kaki Laura, itu terlihat sangat memalukan dan sangat rendah.

Mengapa Bella mau-maunya melakukan hal seperti itu? Jika saja orang yang melakukan itu adalah orang lain, Bagas mungkin tidak akan semarah ini, tetapi orang itu adalah Bella! Sekretarisnya!

Bagas kembali diselimuti amarah.

Jika dia diberi pilihan, dia lebih suka tidak membuka laptopnya pagi tadi dan menemukan foto itu. Bagas menutup laptop itu dengan satu tangannya dan melemparnya ke laci secara asal.

"Bella memang selalu bodoh!"

Bagas mengangkat teleponnya dan dengan santai memanggil Bella kembali.

"Presdir?" Mendengar suara Bella, entah bagaimana itu membuat amarahnya mendadak sedikit mereda, dan dia melemparkan perintah dengan nada seperti biasa namun terdengar sedikit lesu.

"Bawakan aku minuman dingin." Setelah mengatakan itu dengan jelas, Bagas mengakhiri panggilan tanpa menunggu balasan dari Bella.