Dengan berat hati Naya menerima keputusan pemilik warung makan itu, ia pamit pergi dan membawa semua berkas yang sudah diperlihatkan.
"Gimana Nay? Berhasil?!" tanya Dito antusias.
"Belum rezekinya di sini Dit," Naya pasrah.
"Lah kenapa? Ko bisa gitu?" Dito keheranan.
Naya pun menjelaskan apa permasalahannya, sudah jelas ia tidak bisa meninggalkan Mauren. Naya harus membawa Mauren meskipun sedang bekerja, ia tidak mau terjadi apa-apa dengan adik kesayangannya.
"Yasudah, sekarang kita pulang ke rumah gue. Kita makan dulu, besok kita lanjut nyari karena sore ini gue harus ngojek." ucap Dito sambil memundurkan motor bebeknya.
Mereka pun pergi ke rumah Dito, dengan perasaan berat dan sedih, Naya menerima kejadian hari ini dengan lapang dada.
Usai makan siang di rumah Dito, Naya pun pulang diantar Dito lagi. Mereka akan kembali melanjutkan kegiatan hari ini di hari besok, sungguh hari yang sangat melelahkan bagi Naya dan Dito.
"Dit makasih ya, maaf ngerepotin sampe dikasih nasi buat makan malam juga." ucap Naya ketika mereka sudah sampai di kosan Naya.
"Yaelah Nayaaa, emang Lo itu siapa bilang makasih segala. Orang lain? Lo itu sahabat gue, santai aja kali. Selagi gue masih bisa bantu, gue bantu sampai akhir hayat gue. Tenang, dulu Lo juga selalu ada ketika gue membutuhkan Lo dalam belajar. Hha," Dito tertawa puas.
Naya menyeringai ketika ingatannya tentang sekolah datang lagi ke benaknya, ia sangat merindukan momen itu. Momen di mana hanya masalah teman dan pelajaran yang dipikirkan, tidak ada beban hidup yang harus dikaitkan.
Tak lama dari itu Dito pun pamit pergi, Naya bergegas masuk dan akan segera istirahat.
Ketika malam sudah menyapa, Naya berbaring di samping Mauren. Ia mengobrol dan menceritakan hari ini yang sudah dilaluinya kepada Mauren.
Tiba-tiba handphone Naya berdering, "Nay, Nay, gue udah nemuin tempat kerja buat Lo." suara Dito terdengar sangat gembira di balik telepon.
"Wa'alaikumussalam Dito," Naya memperingati Dito yang kebiasaan selalu tidak mengucap salam ketika menelpon.
"Eeh iya, maaf gue lagi bahagia banget ini. Udah langsung aja ya, gue udah nemuin tempat kerja buat Lo. Kerja yang bisa sambil bawa Mauren, jadi besok Lo gak usah repot nyari lagi. Gimana? Enak kan??!! Mauren bisa aman sama Lo di tempat kerja," Dito terus berbicara tanpa jeda sedikit pun.
Naya terdiam, ia tak bicara satu kata pun setelah mendengar penjelasan panjang lebar dari Dito. Tentu Dito bertanya-tanya, kenapa Naya tidak ada respon yang gembira? Apa Naya sakit, ataukah Naya sudah tidak semangat lagi nyari pekerjaan?
"Woyy!! Nyambung gak sih ini telepon? Ko gak ada yang ngomong, apa kuota gue abis kali ya??" Dito terus mengomel, sehingga membuat Naya tersenyum akan kelucuannya.
Naya terdiam bukan karena sakit atau apa, tetesan air mata kebahagiaannya membuat dirinya lemah tak mampu berkata-kata.
"Gue di sini Dit, Gue bahagia denger kabar ini. Saking bahagianya, gue gak bisa berucap sepatah kata pun tadi. Makasih ya," ucapan tulus tersampaikan dengan hati, membuat Dito berpikir sejenak dengan apa yang diucapkan Naya barusan.
"L-lo?? Wah, ngimpi nih gue. Sejak kapan Lo bisa ngerubah panggilan Lo sendiri, biasanya manggil 'aku', ko sekarang jadi pake 'gue'?? Kesambet lo?" nada bicara Dito benar-benar tidak percaya, hal ini membuat Naya tersenyum lagi.
"Gue mau lakuin apa yang Lo mau, selagi itu tidak melanggar aturan ya.. gue lakuin demi lo bahagia. Tapi maaf jika gue baru ngelakuinnya sekarang, kemarin-kemarin Lo mau gue bicara Lo-Gue kan??" Naya memastikan.
Tentu Dito menjawab 'iya', ia semakin antusias ketika Naya bicara seperti itu. Hal ini pun menjadi penyemangat tersendiri bagi Dito. Memang terlihat sepele, tapi dari hal yang sepele kebahagiaan itu selalu muncul.
Sambungan telepon mereka terputus ketika Naya menghentikan obrolan mereka. Ia akan menyiapkan baju kerja terbaiknya di hari pertama besok.
"Besok kita berjuang Mauren, kamu yang kuat ya. Jangan rewel, kalo rewel nanti kita gak dapet uang lagi." Naya terus memainkan pipi Mauren yang tembem.
Semakin ke sini, mata Naya semakin melemah. Sepertinya ia akan tidur lebih cepat malam ini, matanya sudah tidak bisa terbuka lagi.
Akhirnya, Naya terlelap bersama Mauren. Hari ini akan menjadi hari yang bersejarah bagi Naya, di mana hari ini penuh perjuangan dan lika-likunya.
Matahari pun berusaha agar dirinya bisa datang di pagi hari, menemani makhluk hidup sampai ia terbenam. Kebiasaanya menyinari bumi, membuat manusia merasakan kehangatan akan kehadirannya.
"Siap berjuang!" ucap Naya penuh penekanan saat dirinya selesai mengenakan pakaian rapi.
Hari ini Naya sudah sangat siap bekerja, seperti biasa Dito menjemput dan mentraktir Naya sarapan di pinggir jalan. Selepas itu mereka datang ke tempat kerja Naya dengan hati yang terus berbunga dan memancarkan aura bahagia.
"Gue tunggu Lo di sini sampe kerja Lo selesai, gue gak mau ada apa-apa di hari pertama Lo bekerja. Setelah liat Lo aman dan nyaman, besok gue akan tenang ninggalin Lo di sini sama Mauren." ucap Dito sambil mengambil helm dari Naya.
Naya tersenyum penuh haru, "Makasih ya, aku eh g-gue gak akan lupain kebaikan Lo selamanya. Gak tau lagi gue balesnya pake apa, kebaikan Lo terlalu banyak bagi gue. Lo emang sahabat yang selalu ada, bahkan ketika gue gak memperdulikan diri gue sendiri."
"Aisshh kata-kata Lo seperti pujangga di ujung kota, terlalu puitis. Gue bales nih dengerin! Gue ada karena ketulusan, bukan karena mengharap balasan. Awww, gimana cocok gak jadi pujanggga juga?" Dito sedikit menggoda Naya, agar semangat Naya kembali membara.
Naya terkekeh hebat, ia sampai lupa kalau dirinya harus segera masuk ke dalam untuk mulai bekerja. "Udah ah, nanti gue terlambat lagi. Gue gak mau dipecat, dah wassalamu'alaikum." Naya pergi setelah melambaikan tangannya kepada Dito, Dito membalas lambaian itu dengan menyesuaikan nada bicaranya.
"Dengan mbak Kanaya Huanisi Az-Zahra ya?" tanya seorang pria muda dengan kisaran umur 24 tahunan.
"Ah iya pak eh mas, saya Kanaya atau biasa dipanggil Naya. Kenapa ya?" tanya Naya balik.
"Oh itu mbak, mbak dipanggil sama si bos. Katanya mau memaparkan tugas mbak di sini," ucap si pria muda tadi.
Dengan cepat Naya pun pamit dan menuju tempat di mana bos rumah makan itu berada.
Dengan penuh hormat dan ketelitian, Naya mengetuk pintu dengan perlahan tapi nyaring. Membuat si pemilik rumah makan menyuruhnya masuk dan duduk di hadapannya.
"Emm kamu Kanaya itu ya?" tanya si bos berkacamata tebal karena minus-nya sudah sangat tinggi.
"Iya pak saya Kanaya atau Naya," kepala Naya menunduk sopan.