"Ibu dan Ayah tidak menerima penolakan, sekarang ganti pakaianmu. Ibu akan menunggumu di sini, kamu tahu 'kan kalau tidak mengikuti perintah Ayah."
Leandra menghela napasnya yang benar-benar berat.
Tidak lama dari itu Leandra ssudah berganti pakaian yang lebih rapi dari sebelumnya.
"Dengarkan Ibu, Nak. Coba untuk membuka hati ya, kamu harus lihat dulu orangnya."
Leandra dengan rasa malasnya kini mulai mempercantik dirinya namun seperti biasa ia hanya menggunakan bedak seadanya juga lipstiknya.
Keluarga rekan Ayahnya sudah sampai di rumah Leandra, dan benar adanya mereka memang dekat dengan Ayah dan Ibunya Leandra.
"Silakan masuk jeng," sapa Ibu Leandra pada tamunya tidak lupa memeluk sahabatnya.
"Wah sampai sudah disiapkan makan segala, padahal kami hanya ingin bersilaturahmi," ucap rekan Ayah Leandra.
Ayah Leandra hanya tertawa saja dan mempersilakan menjamu makanan tersebut.
"Lea mana?" tanya Ayah Leandra pada Ibunya.
"Tadi sudah siap kok, sebentar dipanggil dulu, Yah."
Tidak lama kemudian Leandra menemui tamu tersebut dengan Ibunya.
"Wah cantik sekali calon menantuku," ucap calon Ibu mertua Leandra.
Leandra hanya tersenyum paksa saja menanggapi perkataan itu. Setelah berbincang maka keluarga rekan Ayah Leandra mengutarakan maksud dan tujuannya.
"Jadi kedatangan kami sekeluarga ini tidak lain ingin melamar putri satu-satunya dari Om dan Tante, tentunya Leandra sebagai istri saya, Rigel Oceano Khevandra, bagaimana?"
Mata Leandra terbelalak mendengar kata lamaran dan bertanya-tanya di mana sahabat Ayah yang selalu ia banggakan.
"Bu, kok lamaran?"
Ibunya hanya mengisyaratkan untuk diam saja jangan melawan.
"Sebagai Ayah Leandra dan Om juga sudah bersahabat sejak lama dengan Ayahmu, pastinya lamaran itu diterima dengan senang hati. Leandra pasti menyetujui hal ini dan untuk itu malam ini juga kita akan membahas acara pernikahan yang secepatnya dilangsungkan."
Raut wajah Leandra begitu gelisah karena ia benar-benar tidak menyangka jika malam itu adalah hari lamarannya bukan pertemuan biasa.
Kedua keluarga tersebut terus berbincang mendiskusikan acara pernikahan putra putrinya. Sedangkan Leandra hanya diam dan menangis dalam hati, ia tidak mampu melawan apapun. Diskusi tersebut berakhir hingga pukul sebelas malam dan mereka pamit untuk pulang.
"Ayah, kenapa Ayah enggak bilang kalau malam ini lamaran?" Leandra bertanya dengan amarahnya yang memuncak setelah keluarga Rigel berpamitan.
"Apa pentingnya untuk kamu, yang jelas sekarang hanya menjalankan beberapa persiapan pernikahanmu saja."
Ayahnya berlalu meninggalkan Leandra bersama Ibu dan Leonal.
"Ayah!" Leandra memekik dengan suara tangisannya.
Leandra terduduk di kursi sofa ruang tamu tersebut, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
"Ibu enggak bisa apa bujuk Ayah batalkan ini semua?"
Ibunya menggelengkan kepala.
"Sahabat Ayah yang selama ini selalu ia banggakan mana? Enggak ada tuh, Bu. Ayah sama Ibu bohong ya?"
"Maksudmu Ayahnya Rigel? beliau sudah meninggal sejak Rigel berusia 10 tahun."
Ibu Leandra berlalu membereskan yang ada di atas meja bersama Leonal sedangkan Leandra masih termenung. Ia juga tidak menyangka jika Rigel ternyata tidak memiliki seorang Ayah.
Leonal kembali menemui Leandra di ruang tamu dan memberikan es krim stik di depan wajah Leandra.
"Makan dulu biar adem kak."
"Sumpah ya Ayah jahat banget."
"Tetapi kakak suka sama orang tadi?"
"Enggak! Amit-amit deh jangan sampai suka," kesal Leandra seraya membuka kemasan es krim cokelat tersebut.
"Tetapi orangnya enggak jelek-jelek banget dan kelihatannya baik."
"Iya tetap saja enggak mau."
"Sudahlah, cepat tidur kak besok 'kan mau fitting baju."
Buk!
Sebuah bantal sofa mendarat pada punggung Leonal karena dilempar Leandra yang kesal.
Leandra akhirnya pergi ke kamar dan mengistirahatkan tubuh dan pikirannya yang lelah.
Pukul 08.00 WIB
Leandra sudah bangun sedari pagi tetapi tidak kunjung keluar kamar juga, ia lebih sering mengurung diri dalam kamar. Namun, karena ia merasa lapar ia keluar kamar.
"Loh kok belum siap?" tanya Ibunya ketika Leandra mengambil minum.
"Siap ke mana, Bu?"
"Hari ini kamu sama Rigel fitting baju."
"HAH! KAPAN?"
"Pagi ini, semalam juga dibahas dan kamu ada, Lea."
"Rigel? Panggilannya Rigel ya, kok aneh. Eh iya ada satu hal yang mau Lea tanya sama Ibu. Kenapa namanya mirip sama Lea?"
"Leandra dan Khevandra? Jelas mirip karena kalian itu memang ditakdirkan pasangan."
"Enggak masuk akal alasannya, Bu."
"Nama Rigel itu bagus artinya coba cari saja, dan kenapa nama kalian mirip itu nanti saja Ibu jelaskan."
"Enggak penting banget cari arti namanya, Bu."
Ding dong!
Bel rumah berbunyi menandakan adanya tamu.
"Dengar 'kan? Itu pasti calon menantu Ibu," ucap Ibu Leandra seraya bersemangat membukakan pintu.
Apa reaksi Leandra? Ia hanya menatap Ibunya heran, mengapa ia sebahagia itu menerima tamu yang bahkan Leandra sendiri tidak mau menemuinya.
Benar saja, tamu tersebut adalah Rigel. Karena hari ini adalah jadwal fitting baju pernikahan yang sebentar lagi akan terlaksana. akan tetapi, pernikahannya akan dilangsungkan secara tertutup dan hanya tamu tertentu yang mendapatkan undangan tersebut.
"Itu Rigel di depan, cepatlah kamu bersiap."
"Kenapa enggak Ibu saja sih yang pergi."
"Lea, yang akan menikah itu kamu, tidak mungkin Ibu yang fitting baju, sayang."
Dengan penuh rasa malas Leandra berjalan ke kamarnya dan bersiap-siap. Setelah 10 menit berlalu Leandra sudah siap dengan pakaian yang sederhana. Ia mengenakan celana jeans hitam, kaos lengan pendek berwarna hitam dan rambut yang terurai.
"Heh! Kamu kenapa memakai baju begini?"
"Salahnya di mana sih, Bu. Terpenting Lea pakai baju, kalau Ibu mau mengatur juga Lea enggak akan mau pergi."
Ibunya menghela napas dan memberikan izin Leandra pergi dengan Rigel. Akhirnya Leandra mengajak Rigel pergi langsung tanpa basa-basi terlebih dahulu.
"Jadi mau pergi enggak?" tanya Lea dengan tatapan kesalnya pada Rigel.
"Iya. Bu kami pergi dulu ya," sapa Rigel yang berpamitan untuk pergi.
"Hati-hati ya kalian," jawab Ibu Leandra dengan senyuman bahagia.
"Enggak usah sok ramah deh," ucap Leandra seraya pergi keluar rumah.
Mereka pergi menggunakan mobil milik Rigel. Selama perjalanan tidak ada satu patah kata pun yang terucap diantara mereka. Hingga akhirnya, Leandra memberanikan diri untuk bertanya.
"Kamu kenapa mau dijodohkan sih?"
"Kamu enggak perlu tahu apa alasannya."
"Hello! Aku yang mau menikah sama kamu, tetapi enggak boleh tahu alasannya. Apaan sih semua orang di bumi ini."
"Bukannya kamu juga terima lamarannya."
"Enggak, itu Ayah yang menerima bukan aku. Lagian aku itu baru lulus SMA masih mau kuliah bukannya menikah sama kamu."
Rigel hanya menunjukkann wajah datarnya saja, tidak berkata apapun.
"Katanya kamu dokter enggak mungkin 'kan jomlo, jadi kamu harusnya bisa menikah sama pacarmu bukan aku."
Rigel tetap tidak bergeming sama sekali.
"Rigel!" panggil Lea kesal.
"Kamu itu bisa diam enggak, berisik banget."
"Aku itu bertanya sama kamu, pendengaranmu masih bagus 'kan?"
"Bertanya hal penting saja, hal yang enggak penting enggak akan aku jawab."
Leandra berbalik arah melihat wajah Rigel. ia begitu kesal dengan jawaban dan semua percakapan mereka selama di perjalanan.