"Kenapa kamu sekesal itu?"
"Ya aku kesal saja, kalau enggak suka bilang."
"Mungkin mereka iri kamu ditangani langsung sama dokter ganteng di rumah sakit itu."
"Maksudnya kamu?"
"Jelas."
"Dih, sok banget kamu. Tetapi lumayanlah."
"Sudah akui saja aku memang ganteng kok."
"Eh kok kepalaku agak pusing, kenapa ya?"
"Istirahat saja."
"Nanti ketiduran gimana?"
"Ya enggak apa-apa."
Leandra mengernyitkan dahinya. Kemudian ia terdiam, senyap sekali. Rigel penasaran dan melihatnya ternyata Leandra sudah terlelap.
Saat mereka sampai rumah, Leandra tidak juga bangun. Ia begitu lelap karena ia masih merasa sakit pada kepalanya.
Karena Leandra tidak bangun maka dengan terpaksa Rigel membawanya ke dalam rumah dengan menggendong.
Padahal hari itu Leandra belum mandi hanya pada pagi hari saja, karena sore hingga malam mereka di rumah sakit. Akan tetapi Rigel tidak mungkin membangunkannya. Setelah menggendong Leandra ke dalam, ia mengambil belanjaan serta menaruhnya dan membersihkan dirinya.
Pagi hari pukul 05.30 WIB
Leandra masih menggeliat namun belum juga terbangun dari tidurnya. Rigel yang sudah bangun dan juga mandi hanya memandanginya sekilas saja. Hari itu Leandra diminta Rigel untuk tidak berangkat kuliah dulu karena takutnnya kepalanya masih pusing juga Adrian yang harus diwaspadai.
Setelah bersiap-siap Rigel ternyata sudah menyiapkan sarapan untuk Leandra, ia kembali ke kamar untuk mengabil tas dan ponselnya.
"Lea," panggil Rigel mencoba membangunkan Leandra.
"Hmm."
"Bangun."
"Iya sudah bangun kok."
"Mandi, sarapan, jangan lupa minum obatnya."
"Hah, obat? Obat apaan?" tanya Leandra yang belum bangun seutuhnya.
"Obatnya sudah aku siapkan, supaya pusingnya hilang."
"Okay, loh kamu sudah mau kerja?" tanya Leandra heran karena nyawanya sudah kembali seutuhnya.
"Iya, Aku kerja dulu," pamit Rigel seraya mengacak-acak rambut Leandra seperti perlakuan Ayahnya.
Leandra terdiam, ia tidak mengatakan sepatah kata apapun.
"Rambut yang diacak-acak kenapa hatiku enggak jelas?" tanya Leandra pada dirinya sendiri heran.
Leandra bangun dan bergegas untuk mandi, setelah itu ia ke dapur hendak memasak sarapan tetapi benar apa yang dikatakan oleh Rigel jika ia sudah menyiapkan sarapan.
"Enak juga masakannya."
Leandra melahap habis masakan yang dibuat oleh Rigel dan kini ia harus minum obat tersebut. Ada 3 butir obat dan itu mmebuat Leandra bingung harus diminum semua atau bagaimana.
["Assalamualaikum, ada apa?"]
"Waalaikumsalam, maaf ganggu ya?"
["Enggak, kenapa?"]
"Obatnnya 3 diminum semua?"
["Iya, sudah makan?"]
"Sudah kok, ini kamu bukan ngeracunin aku 'kan?"
["Astaga, ya enggaklah, kalau racun bukan itu obatnya."]
Leandra mengernyitkan dahinya.
"Wah parah, tapi bahaya enggak ini? Entar aku kenapa-kenapa kamu tanggung jawab."
["Iya aku yang tanggung jawab."]
"Oke, makasih. Aku tutup."
Segera Leandra matikan panggilan tersebut. Ia meminum obat tersebut setelahnya membereskan meja makan dan beberapa yang sekiranya belum beres.
Leandra mengambil camilan dan minum untuk ia bawa ke kamar karena hendak mengerjakan tugasnya di meja belajar yang ada di kamar.
Ia merasa ada yang berbeda pada dirinya, ia merasa kantuk yang berlebihan entah apa sebabnya. Ia mengingat-ingat apa yang ia makan tetapi tidak ada yang aneh. Ia teringat jika pagi tadi minum obat, segera ia telepon kembali Rigel.
"Kamu enggak sibuk 'kan?"
["Enggak, ada apa?"]
"Kamu kasih aku obat apa?"
["ya obat untuk kepalamu yang terbentur itu."]
"Kok aku ngantuk banget, jangan-jangan salah obat ya?"
["Enggak, memang itu ada obat tidur dalam kandungan obatnya. Maka dari itu aku suruh izin kuliah supaya kamu istirahat saja."]
Leandra mendengus kesal.
["Kenapa?"]
"Tadinya aku mau mengerjakan tugas, besok dikumpul malah ngantuk begini ya susah."
["Istirahat saja dulu, tugasnya nanti saja."]
Leandra tidak mengatakan apapun, ia mematikan panggilannya dan tertidur. Karena rasa kantuk itu tidak bisa ia tahan.
Leandra tertidur sampai pukul dua siang. Rasanya sudah sangat lama sekali ia tidur.
*****
"Yang telepon istrimu?" tanya Andre saat mereka bersama.
Rigel menganggukkan kepalanya.
"Kamu kasih obat apa memangnya?"
"Kepalanya sakit, kebentur tembok."
"Kok bisa? Kamu kekerasan?"
"Apaan, itu masalahnya sama mantan pacaranya. Kemarin kita ketemu di mall."
"Mantan apa masih pacarnya?"
"Katanya mantan."
"Yakin?"
"Kamu ngapa ndre?"
"Kagak, jadi gimana kepalanya?"
"Kemarin cek tapi hasilnya 'kan belum keluar."
"Oh pantesan anak-anak pagi tadi ngeributin."
"Anak IGD?"
Andre menganggukkan kepalanya. Mereka kerap menyebutnya dengan anak-anak karena usia mereka masih dibawah Rigel dan Andre juga masih bermanja-manja.
"Apa yang mereka ributkan?"
"Biasa, Pak Rigel sama pacarnya gitu."
Rigel tertawa.
"Berarti kemarin Leandra ditangani sendiri?"
"Iyalah, siapa lagi buat apa aku dokter kalau enggak ngobatin."
"Tapi lama-lama tuh anak bisa luluh juga."
"Semoga."
"Galak enggak di rumah atau bagaimana?"
"Galak, banget tapi ya lucu kadang."
"Bisalah tahun depan punya anak."
"Apa-apaan."
"Lah terus gimana?"
"Ya ke depannya belum ada yang tahu bagaimana."
"Atau dia mau balik ke mantannya."
"Katanya enggak, mana aku tahu isi hatinya, Ndre."
"Aman tapi keadaan di rumah?"
"Ya aman saja, enggak mungkin demo."
"Iya maksudnya jiwa ragamu aman? Tahan?"
"Ini arah pembicaraan pasti ke sana 'kan?"
Andre tertawa karena sahabatnya paham.
"Nih ya, kamu itu laki-laki normal masa iya bisa tahan selama ini kagak begitu, sudah mau berbulan-bulan atau lebih tinggal serumah 'kan?"
"Ya gimana, itu ujiannya. Enggak mungkin juga mau dipaksa, buat sakit anak orang namanya."
"Tapi dulu aku sama istri langsung gas saja malamnya terus sudah ada hasilnya."
Andre ini sudah menikah 2 tahun sebelum Rigel dan kini sudah memiliki anak berusia 1 tahun.
"Beda posisinya ndre, kalian sama-sama suka dan ada hubungan sebelumnya."
"Ah kamu susah mungkin."
"Gila lama-lama ngobrol sama kamu, Ndre."
Rigel meninggalkan Andre yang masih duduk di kantin. Sedangkan Rigel kembali pada ruangannya. Ia melanjutkan pekerjaannya, selama bekerja di rumah sakit Rigel sering mengisi materi ataupun acara pada siaran tertentu dan mengisi materi pada kampus mengenai materi spesialisnya. Entah ada apa di dalam otaknya sehingga ia begitu pintar.
Malam ini Rigel pulang pukul delapan malam. Sesampainya di rumah ia duduk di ruang tengah seraya merebahkan tubuhnya pada sofa. Ia merasa lelah sekali karena banyaknya pasien pada hari senin.
Leandra membawa segelas kopi kesukaan Rigel dan menaruhnya di meja ruang tengah tempat Rigel berada.
"Terima kasih," ucap Rigel seraya tersenyum manis.
"Enggak bilang tumben?"
"Tumben buat."
Leandra menatapnya sinis.
"Aku salah apa coba? Katanya suruh bilang tapi kamu marah."
Leandra tidak menjawab melainkan duduk di sofa tersebut.
"Kenapa?"
"Enggak," jawab Leandra singkat.
Rigel bangun dari rebahannya dan kini ia duduk memandangi Leandra.
"Ada masalah?"