William mengendurkan dasi coklat bergaris putih yang mengikat lehernya untuk mengendurkan otot-otot leher yang kaku. Ia menunangkan sebotol minuman keras- botol ke dua dalam gelas kecil, dan menenggaknya sampai habis. Ia melewati hari yang buruk. Sangat buruk. Keputusan untuk kembali ke kota Northvalley adalah keputusan yang sangat keliru. Ia seperti kembali menggali luka lama yang tidak pernah sembuh. Kalau bukan karena perminataan ibunya, ia tidak sudi untuk kembali, apalagi bersedia bekerja di perusahan ayahnya.
William mengenakan kemeja putih berkancing banyak, celana panjang ketat, dan jas hitam berbahan tebal, kombinasi pakaian yang sangat tidak nyaman untuk dikenakan terlebih di dalam pub yang sesak, bising dan aroma minuman keras menguar di udara, tertiup oleh pendingin ruangan yang menyala di setiap sudut. Willian merasa sesak, kepalanya juga pening.
Seorang wanita mengerang di sebelahnya, di depan wanita itu ada tiga botol bir tergeletak di atas meja bar yang mengkilap, dan menenggak satu botol lagi dengan tangan kanannya. William menoleh ke arah wanita itu, tingkah wanita itu sedikit menarik perhatiannya. William tertawa kecil saat wanita itu tersedak oleh minuman yang ia tenggak, dan menyeka cairan yang tumpah di sekitar mulut dengan tangannya, kemudian mengarang kesal.
"Oh, sial! Kenapa hidupku sangat menyadihkan seperti ini?" katanya. Lalu meletakan botol itu di depannya bersama botol lainnya yang sudah habis. William menutup mulutnya, menahan diri agar tidak tertawa.
Wanita itu menoleh ke arah William, menatapnya dengan mata yang kuyu seperti seekor koala yang kekurangan jam tidur. Ia menyibakan rambut yang tergerai tidak teratur, menegakan badannya, kemudia berkata denag suara parau,
"Hey tuan, apakau kau juga berpikir bahwa aku juga tidak cantik, huh?" tanyanya.
William menatap sesaat pada wanita mabuk itu. Tidak ada yang salah dengan wajah wanita itu, wajahnya memang tidak secantik model yang sering berjalan memperagakan baju desainer terkenal, ataupun secantik wajah Caroline-tunangannya, tetapi wanita itu tidak layak disebut wanita jelek. Karena setiap wajah memiliki kharateristik dan keunikannya masing-masing, dan william pikir setiap wanita itu cantik, hanya saja tergantung siapa saja dan bagaimana orang melihatnya.
"Jangan merasa tidak enak hati tuan, aku tahu, aku memang tidak secantik si jalang Dorroti itu, tapi aku memiliki tubuh yang seksi dan payudara yang kencang," katanya, ia mencondongkan tubuhnya ke arah William, mengedipkan matanya dengan genit, kemudian membuka blazer hitam dan mencampaknyanya ke lantai. Alkohol malai mengambil alih tubuh dan otaknya.
"Kau lihat, bukankah tubuhku juga seksi?" katanya seraya memamerkan tubuhnya yang hanya dibaluti tanktop tipis berwarna silver. William memalingkan wajahnya ke arah lain, manahan diri agar tidak tergoda dengan belahan dada yang menyembul dari balik tanktop yang membalut tubuh sintalnya.
"Tuan, kau lihat, bukankah aku memiliki tubuh yang seksi?" ia merangsek pada William dan mendekatkan tubuhnya. jarak mereka sangat dekat, sehingga william dapat mencium aroma dari tubuh wanita itu. Aroma khas seorang wanita yang sering kali membuat lelaki sepertinya mabuk kepayang dan lupa untuk pulang.
"Hey Nona, sadarlah!" William mendorong tubuh wanita itu dengan lembut dan menarik kursinya sedikit lebih jauh.
"Kau juga menolaku?" Ia tersinggung, matanya melotot.
'Kalian, para pria memang brengsek." Wanita itu mendengus kasar, lalu menenggak botol minumanya lagi dalam sekali teguk. Ia seperti seorang altit yang sudah berlari puluhan kilo dan sangat kehausan. William diam saja, membiarkan wanita itu menumpahkan kekesalannya.
"Kau sama brengseknya denga si Erik sialan itu. Setelah sekilan lama kami menghabiskan malam yang bergelora, liburan yang menyenangkan, dan banyak uang yang kuhabisakan asal dia senang. Si erik brengsek itu mencampahkanku begitu saja setelah mendapatkan pacar yang lebih baik dariku," katanya. Suara botol diletakan dengan kasar di atas meja, menimbulkan suara yang cukup keras.
"Apakah semua lelaki memang seperti itu? sebuah hubungan tidak lagi berarti ketika sudah mendapatkan pengganti yang lebih seksi?" Ia meletakan kepalanya ke atas meja bar yang, rambutnya hitam tergerai menutupi wajahnya, menyembunyikan kesedihan di sana. Kemudian wanita malang itu menangis.
"Dasar lelaki brengsek." Tangisanya sangat kencang, mengalahkan suara musik yang bergema di seluruh sudut ruangan.
Beberapa orang yang duduk tidak jauh dari William menoleh ke arahnya dengan penasaran, dan seorang bartender di balik meja panjang yang difunsikan sebagai konter berwajah Asia pun menoleh ke arah william, senyum kecil tersungging pada bibirnya, lalu meneruskan pekerjaannya meracik minuman untuk para pelanggan. William merasa tidak enak, ia merasa seperti tertangkap basah sedang melecehkan wanita tidak yang berdaya.
Willian menegak gelas terakhirnya, mengeluarkan beberapa lembar uang, dan menyodorkannya pada seorang kasir sekaligus bertender di balik konter.
"Sekalian untuk wanita mabuk itu," kata William sambil beranjak meninggalkan tempat duduknya.
Wanita mabuk tadi mengerang, kedua matanya terbuka, ia melihat William berjalan menjauhi konter, menjauhi dirinya.
"Hay, tuan tampan, lain kali kita pergi ke hotel," ia berteriak pada William, lalu terkekeh-kekeh.
William tersenyum kecut saat mendengar ucapan wanita yang sedang mabuk berat itu. Ada banyak masalah yang memenuhi isi kepalanya saat itu, dan ia tidak berniat menambahkan satu masalah lagi dengan membawa perempuan yang sedang patah hati juga mabuk berat ke sebuah hotel, meskipun bayangan betapa hangatnya tidur dalam dekapan seorang wanita menari-nari dalam kepalanya. Tidak salah lagi, tubuhnya mendambakan belaian hangat seorang wanita. Sudah sangat lama Willian menjalani hidup seperti lelaki suci, sejak Caroline pergi, dan meniggalkan luka yang begitu dalam.
Willian berbelok ke arah toilet pria di sebelah kanan, di samping pintu keluar. Toilet berbau menjijikan itu lengang, hanya ada dua orang lelaki betubuh seperti seorang pegulat. Salah dari merek berdua bertato ular kobra pada kedua lengenyan yang berotot besar, sementara seorang lagi rambutnya bergaya funk yang sangat jelek.
Setelah melakukan hajatnya, kedua orang itu berlalu meninggalkan toilet yang bau, meninggalkan William seorang diri hnaya di temani oleh suara gerecik air yang dari dalam keran yang menyala. Di depan sebuah cermin lebar yang terpasang di dinding sebelah kanan, william berdiri, menatap wajahnya yang rupawan; hidung mancung, rahang tegas, alis sehitam arang menaungi dua bola mata sebiru langit pada musim panas, dan tubuh ideal seperti atliet profesional. Secara keseluruhan William memiliki tubuh yang sempurna, tetapi di jauh ke dalam jiwanya ia adalah lelaki yang rapuh.
William mengela napas berat, kedua tangannya mencekam sisi wastapel, ada beban yang sangat berat menggelayuti pundaknya, menggangu pikirannya, dan membuatnya merasa lelah. Ia menyalakan keran, mencuci kedua tangan dan wajahnya. bau tubuh wanita mabuk tadi masih tercium dengan sangat jelas seperti ada setetes parfume yang dioleskan pada pangkal hidungnya, membuat, membuat William merasakan gejolak aneh pada bagian tubuhnya yang lain, bagian yang paling sensitif juga penting, dan dia butuh seorang wanita.
Suara bising musik yang diputar dapat terdengar meski sedikit samar-samar, William keluar dari dalam pub yaang sudah dipadati oleh orang-orang, kebanyakan dari mereka adalah anak muda dan orang-orang yang menyimpan kesepian dalam jiwa mereka. Seperti dirinya, dan minuman adalah teman yang spaling cocok untuk situasi yang buruk itu.
Ia berjalan ke arah parkir menuju mobil sport berwarna hitam menawan yang terparkir paling ujung. Mobil yang ia beli dengan harga yang cukup mahal, bukan masalah uang yang harus ia keluarkan. Namun, mobil berharga milliaran itu harus ditukarkan dengan kebebasan yang peranh ia miliki. Bekerja di balik meja dengan tumpukan kertas-kertas yang harus ditandatangani bukan pekerjaan impiannya.
Malam sudah sangat larut, di atas langit tak ada satupun bintang yang berkelip, udara malam bertiup sangat kencang membawa hawa yang sangat dingin, membawa berita bahwa hujan akan sebentar lagi turun dan mengguyur kota yang mulai lengang. William mengendari mobilnya dengan pelan, menembus jalan kota yang muali sepi. Di persimpangan jalan yang sunyi, lampu jalan menyala dengan redup, ia melihat ada dua lelaki-dua orang yang ia temui di toilet tadi sedang menggoda seorang wanita bertanktop silver. Tunggu, tanktop silver? William memeras otaknya untuk mengingat pemilik tanktop silver yang ia temui. Dan indra penciumnya bekerja sangat baik, ia mendadak mencium bau parfume seolah-olah masih menempel pada ujung hidungnya, ingatnya langsung terjuju pada wanita mabuk yang ia temui di pub tadi.
Mobil William berbalik ke arah persimpangan jalan, menghampiri dua orang bertubuh raksasa tadi. Ia membuaka pintu mobilnya dengan kasar, dua orang itu menoleh ke arahnya dengan wajah jengkel.
"Hey, bung, kuharap kalian tidak keberatan untuk melepaskan kekasihku,'' kata William tanpa berpikir panjang lagi mengaku bahwa wanita mabuk itu pacarnya.
"Oh, ya? Jadi Kau si Erik brengsek itu?" Lelaki bertato ular terkekeh-kekeh.
"Terus apa uruasanmu. Huh? Bukankah kau sudah mencampahkan gadis manis ini? Bukankah begitu sayang?" wanita mabuk itu berdiri sempoyongan, menatap ke arah Willian denga wajah bodoh.
"E, ya, si Erik memang brengsek," katanya.
William mengela napas berat dan mengutuk kebodohanya karena melibatkankan dirinya pada urausan yang tidak penting seperti itu. Ia sama sekali tidak mengenal wanita yang sedang mabuk berat itu, bukun urusanya jika wanita itu berada dalam bahaya karena kebodohannya sendiri.
Akan tetapi sebagai lelaki sejati, ia tidak bisa membiarkan wanita lemah berada dalam bahaya. Memindungi wanita adalah insting alamiah seorang lelaki, dan William tidak bisa mengabaikannya begitu saja.
"Aku berubah pikiran," jawab William, ia punya pirasat urusan ini tidka akan semuda yang ia pikirkan.
"Kalau kami tidak mau melepaskannya, lalu apa yang akan kau lakuakan, huh?" betul saja. Berurusan dengan preman tidak pernah mudah, apalagi preman sok jagoan yang lebih mengutamakan otot daripada otak. William menyeringai, ia sudah sangat sering berurusan dengan mereka.
"Maka aku akan melakukannya dengan cara lain,"
"Oh, ya? Kalau begitu ambilah wanita jalang ini jika kau mampu."
Lelaki bergaya rambut jelek itu menyerigai labar, memamerkan gigi-giginya yang hitam. Tembakau dan minuman keras telah menghianati keindahan senyuamnya. Ia menyerang Willian dengan kedua tangannya, dengan ketangkasan luar biasa, William dapat menangkis serangan itu, dan sebagai balasannya ia melayangkan sebuah pukulan tepat pada pangkal hidung lelaki bergigi jelek itu. ia melolong saat darah segar keluar dari hidungnya, dan semakin beringas menyerang Willian secara membabi buta. William bukanlah lawan yang mudah dikalahkan, ia memiliki sabuk hitam dalam olahraga bela diri. Tidak sia-sia William mengikuti berbagai pelatihan bela diri, melakukan aktifitas fisik secara teratur seperti itu sangat berguna di saat bahaya seperti ini.
Akan tetapi, kedua pereman itu bukan lawan yang mengenal sopan santun dalam perkelahian. Salah satu dari mereka mengeluarkan bilah pisau dari dalam sakunya, dan melukai dada William. William meringis saat darah merembas dari dadanya. Lukanya tidak terlalu besar, hanya sebatas goresan kecil, tetapi tetap saja membuat kemejanya sobek,dan meluaki dadanya. William benar-benar marah, dan menghajar kedua preman sampai babak belur, keringat mengucur deras dari wajahnya.
kedua preman itu terbirit-birit saat menyadari lawan mereka bukan orang biasa, lari membawa rasa malu dan juga sakit di seluruh tubuh, terutama hidung patah berdarah dan gigi yang tanggal.
"Kau tidak apa-apa?" William menghampiri wanita mabuk itu. Wanita malang itu tejerembap di atas jalan dengan kondisi yang meyedihkan setelah didorong dengan sangat kasar oleh dua preman pengecut itu.
"Aku baik-baik saja," katanya sambila berusaha untuk bangun. William mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri.
"Terima kasih, bung," katanya. Kemudin menjatuhkan kepalanya di atas pundak William, kemudian tertidur.
"hey, bangun, Nona. Ah, sial." William menggerutu. Wanita mabuk itu merajut impian di atas pundak William.
Dengan perasaan kesal William memapah wanita yang tidak ia ketahui namanya itu ke dalam mobilnya, dan meletakannya di kursi belakang. Mobil William bergerak, meluncur menyusuri jalan yang lengang, minggalkan debu halus di atas langit malam yang gulita.
Setelah berkendara cukup lama, William baru menyadari ia tidak tahu harus membawa wanita asing itu kemana, ia bahkan tidak mengetahui wanita itu siapa. Wiliam menghentikan mobilnya di pinggir jalan, di dekat halte bus yang gelap, lampunya mati.
"hey, nona, bangunlah." William mengguncangkan tubuh wanita itu denga keras, tetapi ia hanya mengeliat kecil dan tidur sangat pulas.
"Dimana rumahmu? Aku tidak bisa membawamu pulang," kata William. Tidak ada jawaban, satu-satunya jawaban adalah dengkuran halus dari mulut wanita itu.
William meraup mukanya, berpikir sejenak, dan menenangkan dirinya. Kemudian, ia melihat tas wanita itu tergeletak di bawah kursi. William segera memeriksa isinya, mencari identitas wanita tadi. Namun. ia hanya menemukan ponsel mati-batrainya habis, beberapa peraklatan make-up, dan sebuah dompet tanpa adanya kartu identitas.
Hujan di luar turun cukup deras, sesekali dikiuti oleh kilat yang memancarkan sinar yang menakutkan dan geledek yang menyambar. William mendesah putus asa, ia membawa wanita yang tidak jelas, dan sekarang harus bertanggung jawab atas keselamatannya. Mobil yang William kendarai meluncur ke arah timur, menerobos air hujan yang sangat deras, seolah Tuhan sedang kesal, dan langit sedang menangis. Kemudian mobil berbelok ke arah sebuah apartemen mewah yang menyala terang. William dengan terpaksa membawa wanita asing itu ke dalam aparemenya.