Pria dalam kenangan
Batty mengerang sambil menggeliat seperi seekor ulat dalam cangkang yang hangat, tubuhnya sangat lelah, kepalanya juga pening, entah berapa lama ia tertidur. Ia menendang selimut yang membungkus tubuhnya, lalu memijit pelipis untuk meredakan pening yang membuat kepalanya terasa sangat berat.
Keadaan di sekitarnya terlampau sepi dan tenang. Tidak seperti pagi biasanya. Padahal ibunya tidak pernah membiarkannya menikmati pagi dengan keadaan tenang dan damai.
Wanita itu selalu menggedor pintu kamarnya dengan keras, berteriak membangunkan seisi rumah, dan memanggil semua anggota keluarga untuk sarapan bersama. Namun, kali itu keadaan saangat sepi, tidak ada kebisingan apapun yang terdengar mengganggu indera telinganya. Keheningan yang sangat mencurigakan.
Perlahan-langan ia membuka kedua matanya, memastikan bahwa ia berada di tempat yang benar. Namun, Betty berada di temapt yang salah, ia bukan berada di rumahnya, apalagi kamarnya. Langit-langit di atas kepalanya berwarna krem sementara dikamarnya putih pucat, ada lampu sebening kristal menggantung di atas kapalanya, sementara di rumahnya tidak ada lampu segaus itu.
Betty bangun, menegakan badannya, dan memindai seluruh ruangan .Ruangan itu sangat asing, perabotanyanya asing, dinding dan lantai ruangannya juga asing. Ia berada di sebuah apartemen dengan perabotan yang super mahal. Tatapanya berpindah ke arah tubuhnya.
"Astaga!''
Betty menjerit, lalu melompat dari sofa dengan mata membelalak. ia tidak berpakain, bajunya berserakan di lantai, satu-satunya yang melekat di atas tubuhnya adalah celana dalam dan bh berenda hitam yang sudah kusam.
Betty menyambar pakainyanya, memakai tanktop secara terbalik, mengenakan rok mini ketat dengan cepat, dan mengenakan blazer hitam secara terburu-buru. Entah apa yang sebenarnya terjadi padanya, ia tidak ingat sama sekali.
Wajahnya merah padam menahan malu, tetapi ada yang lebih penting menghantam kepalanya seketika. Ia berada di apatememt siapa? Apartemen itu terlalu mewah untuk teman-temannya.
Betty menoleh ke berbagai arah dengan waspada, menajamkan pendengaran, dan mengawasi seluruh ruangan. Sepi. Dengan langkah yang sangat hati-hati agar tidak meninggalkan suara, Betty melangkah ke arah dinding bercat putih di sisi paling kiri di dekat sebuah televisi LED yang sangat lebar. Di atasnya menggntung dua bilah pedang samuari yang di letakan di atas dinding.
Betty tidak tahu, apakah itu hanya pedang imitasi atau asli, yang paling penting ia punya sebuah senjata untuk melindungi dirinya dari marabahaya. Meskipun hanya memegang pedang mainan, itu jauh lebih baik dari pada tidak memiliki senjata apapun, bukan?
Betty mengendap ke berbagai ruangan, ia mengacungkan sebilah pedang dengan tatapan waspada, lalu melangkah ke arah dapur yang terlalu mengkilap dan tidak pernah digunakan, tidak ada tanda-tanda bahwa kompor itu sering dinyalakan.
Betty membuka lemari pendingin, tak ada makanan apapundi sana, satu-satunya benda adalah dua botol air mineral yang sudah terbuka.
Kemudian Betty pindah ke arah kamar depan, ia membuka knop pintu dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara dan membangunkan singa yang sedang bersembunyi dan siap menerkamnya kapan saja dari belakang.
Akan tetapi, tak ada siapapun di dalam kamar super lebar itu, tidak juga di rugan yang lainnya. Batty tidak menemukan pergerakan seseorang ataupun tanda-tanda kehidupan di sana. Satu-satunya yang menyala adalah mesin pendingin yang diletakan di berbagai sudut.
Setelah memastikan bahwa di apartemen mewah itu tidak ada siapa pun yang bisa mengancam nyawanya, Betty menyambar tas tangan berwarna hitam yang tergeletak di atas meja, merogoh ponsel dari dalam tasnya. Ia berniat menelpon polisi.
"Uh, sialan!" Betty memekik dengan kesal.
Ponselnya mati, kehabisan batrai. Ia juga lupa membawa power bank untuk keadaan darurat seperti sekarang. Kesal, betty mencampahkan kembali ponselnya ke dalam tas.
kemudain ia duduk di atas sofa, tempatnya tertidur dengan sangat pulas beberapa jam yang lalu. Selimut cokelat muda yang lembut menjuntai ke lantai marmer yang mengkilap.
Entah apa yang terjadi padanya, ia sama sekali tidak mengingat mengapa ia berada di rumah orang asing. Hal yang terakhir ia ingat adalah saat berada di sebuah pub untuk minum. Ya, ada seorang pria di sampingnya, pria yang bahkan tidak bercara apapun padanya. Namun, setelah itu ingatnya menjadi samar, Betty tidak mengingat dengan jelas apa yang sebenarnya telah terjadi, sehingga ia harus berakhir terkurung di rumah orang asing.
Betty menijit pelipisnya dan berpikir dengan keras, bagaiman caranya untuk pergi dari tempat itu sebelum pemiliknya datang? Ia tidak mungkin meloncat dari jendela. Melihat gendung-gedung dari balik kaca, setidaknya Betty berada di ketinggian belasan kaki. Kalaupun ia memaksa untuk meloncat, ia pasti berakhir di peti mati, atau yang paling ringan, kepalanya pecah dan kedua tangan juga kakinya pasti patah.
Betty memutar otaknya untuk mencari jalan keluar, berteriak bukan jalan kelaur yang benar. Meskipun ia berteriak sampai suaranya habis, tidak ada seorangpun yang akan mendengarnya. Apartement semewah ini sudah pasti di desain kedap suara.
Satua-satunya jalan keluar adalah pintu depan yang dikunci dengan pengamanan paling mutakhir. Semoga saja penculik itu, begitulah Betty menyebutnya, lupa untuk mengunci pintu, meskipun sepertinya sangat mustahil seorang penjahat bisa seceroboh itu.
Betty melangkah ke arah pintu depan, pintu baja berkualitas tinggi. Ia menarik gagang pintu, dan pintu itu terbuka dengan sangat mudah. Sepertinya Tuhan sedang bermurah hati padanya, atau barang kali penculik itu orang yang sangat baik.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Betty membuka pintu, lalu berlari menyusuri lorong apartemen yang sepi ke arah lift. Ia segera memencet tombol untuk membuka pintu lift, dan tidak sabar menunggu.
"Ya, ampun." Betty menepuk jidatnya. Ia tidak sempat menngunakan sepatu, dan berlari dengan kaki telanjanag seperti ayam.
Tidak berapa lama, pintu lift terbuka, di dalamnya ada dua orang, seorang ibu berwajah judes dengan alis terlalu tebal, dan seorang anak perempuan berusia sekitar delapan tahun yang sangat manis, rambutnya dikepang dua dan diikat dengan pita pink yang lucu. Saat betty masuk, perempuan itu menatapnya dari atas samapai ke bawah penuh tanda tanya, terlebih saat memandang kaki ayamnya.
"Nona anda baik-baik saja?" tanyanya prihatin. Betty menngeleng.
"Tentu saja aku tidak baik-baik saja, aku baru saja diculit oleh orang asing", kata Betty.
"Dengar, bu, penghuni apartement nomer tujuh belas adalah seorang penculik. Tadi malam dia menculiku saat aku sedang mabuk. Kau harus hati-hati, aku beruntung bisa kabur," kata Betty lagi, tatapannya mengarah pada anak perempuan berwajah canti di samping ibunya.
"Terlebih kau memiliki anak perempuan yang sangat cantik." Batty menambahkan ucapanya.
Perempuan itu menutup mulutnya dengan ekspresi ngeri sambil menrik anak perempuannya dalam jangkaun tangan.
Pintu lift terbuka di lantai dasar. Betty melesat ke luar sambil berlari, meninggalkan gedung apartemen yang berdiri megah di tengang kota yang ramai. Beberapa orang menoleh kepadanya, tetapi Betty tidak peduli. Ia harus pergi dari tempat itu secepat mungkin.
Betty berdiri di pinggir jalan yang ramai, lalu lintas sangat ramai, beberapa mobil berlalu lalang memenuhi jalan raya.
''Taksi!" Betty berteriak seraya melambaikan tangannya.
Sebuah mobil bercat kuning berhenti di dekatnya, seorang pengemudi bertopi hijau membuka kaca pintu, dan tersenyum ke arahnya. Betty meloncat dari trotor dan menyambar daun pintu, masuk ke mobil, mendaratkan bokongnya ke kursi, dan membanting pintu sekut tenaga.
"Tolong antarkan saya ke jalan Blackstone." Batty menghela napas lega, akhirnya bisa meninggalkan tempat itu. Blackstone adalah kawasan yang terletak tidak jauh dari pusat kota, hanya sekitar setangah jam. di tempat itulah rumah batty berada, dan dalam keadaan kacau seperti ini, rumah adalah tempat paling aman untuk dituju
"Baik, Nona."
Pengemudi taksi berwajah ramah itu mengangguk, lalu menutar setir mobil dan menarik persneling. Mobil meluncur dengan suara lembut, membelah jalan yang ramai, dan sesekali menyalip kendaraan yang berjalan terlalu lambat. Lalu lintas pagi itu cukup padat. Jalan didominasi oleh kendaraan beroda empat, beberapa bus sekolah berwarna kuning terang dengan jendela lebar, dan mobil bak terbuka berukuran besar mengangkut barang-barang yang akan di kirim ke kota sebelah atau sebaliknya.
Batty memandang ke arah depan, ke arah dasbor, di atasnya menempel sebuah jam kecil seukuran telapak tangan. Jarum jam menunyjukan angka delapan. Batty mendecit pelan sambil menepuk keningnya. Ia benar-benar dalam bencana besar. Kedua orang tuanya pasti sangat cemas, tetapi itu tidak terlalu penting jika dibandingkan dengan nasib pekerjaannya. Orang-orang di kantornya pasti sangat cemas karena ia tidak memberikan kabar untuk cuti sama sekali, bahkan ponsel pribadinya pun tidak bisa dihubungi.
"Pak, boleh saya ikut mengisi batrai ?"tanya Batty.
"Tentu saja. Fitingnya berada di depan" jawab pengemudi, telunjuknya terarah pada dasbor.
"Terima kasih." Batty menjulurkan tangannya ke arah depan melewati celah diantara dua kursi di samping pengemudi, lalu memasangkan kabel yang menjuntai ke ponselnya untuk mengisi daya listrik. Ponsel menyala, butuh beberapa menit sebelum Batty memutuskan untuk menghidupkan tombol on pada ponselnya.
Begitu ponselnya sudah menyala, puluhan notifikasi muncul tanpa bisa henti, belasan panggilan tidak terjawab, dan beberapa pesan suara yang masuk. Batty bahkan tidak tahu, pesan mana yang harus ia baca lebih dulu, semuanya sangat penting.
Ponsel berdering sangat nyaring, nama Jane tertera di layar kaca. Jane adalah rekan kerjanya, sekaligus teman yang super judes, tetapi sangat baik. Tidak ada alasan untuk menolak panggilannya.
"Kemana saja kau, huh? Kau tahu berapa puluh kali aku menghubungimu pagi ini?" Jane berteriak, suaranya sangat nyaring. Gendang telinga Batty hampir saja pecah, untunglah ia cepat menjauhkan ponsel dari alat pendengarannya.
"Sorry. Aku mengalami kejadian yang sangat buruk. Ponselku mati, dan kau tahu aku –"
"Tidak ada yang lebih buruk dari apa yang kini menantimu di kantor." Jane memotong ucapan Batty bahkan sebelum ia menyelasaikan ucapanya.
"Apa? Apa yang sedang terjadi?" Batty merasakan ada yang tidak berer dari intonasi suara Jane. Perempuan berambut merah itu memang sering bertingkah berlebihan dalam menyikapi sesuatu, tetapi ia tidak pernah berbohong tentang urusan kantor.
"Derektur baru yang ditunjuk untuk menggantikan Mr. Owen sudah tiba di kantor dan saat ini dia sedang mencarimu." Batty hampir saja berteriak karena kaget.
Mr. Owen adalah bosnya selama lima tahun terakhir. Karena berbagai alasan, terutama karena kesahatannya semakin menurun berkat usia yang beranjak senja ditambah penyakit jantung. Mr. Owen memutuskan untuk pensiun dini dan memilih menghabiskan waktu di rumah peristirahatan, sambil mengurus beberapa hewan peliharaan yang ia beli dengan harga yang cukup mahal dan didatangkan dari berbagia negara, beberapa diantaranya, tentu saja statusnya legal. Namun, siapa juga yang peduli. Selama orang itu kaya, ia bisa membeli dan melakukan apa saja, bukan?
Setelah diputuskan bahwa Mr. Owen akan cuti kerja, para karyawan dan staf diberi perintah agar menyambut dengan hangat penggantinya, yaitu putranya yang baru saja kembali dari luar negri.
Namun, setelah beberapa hari menyiapkan penyambutan, yang ditunggu tak juga muncul apalagi memperkenalkan diri. Mr. Owen dibuat meradang oleh kelakuan purtanya itu, terlebih ia sudah berada di luar negeri, menikmati matahari terbenar di pantai tropis yang hangat, dan menegak segelas anggur merah di tepi pantai yang indah bersama istrinya yang sangat cantik juga seksi.