Chereads / Nikah Dadakan / Chapter 6 - BAB 5: "Dikejar rentenir?"

Chapter 6 - BAB 5: "Dikejar rentenir?"

Sudah 2 jam lamanya sejak hari menjadi gelap. Dan Naraya sangat bingung harus bereaksi seperti apa dengan situasinya kini. Perempuan itu memilih untuk menyibukkan dirinya dengan bersih-bersih. Sampai... Semuanya sudah tidak ada yang perlu dibersihkan lagi, lalu dia bingung–lagi–harus melakukan apa.

Sakha sendiri membantu membuang sampah yang berada di dalam kantong plastik hitam. Mereka bekerja sama tanpa ada komunikasi, hanya tubuh saja yang terus bergerak.

Karena lelah dan juga semuanya sudah beres, Naraya duduk di kursi meja makan. Sementara Sakha duduk di sofa ruang tamu. Mereka dapat saling melirik satu sama lain, karena meja makan dan ruang tamu tidak memiliki tembok untuk menghalangi pandangan mereka masing-masing.

"Kita..." Sakha berdehem kecil dan menatap Naraya dengan ragu. "Kita perlu bicara, kan?"

Dengusan kesal sepertinya menjadi balasan dari pertanyaan Sakha. Perempuan itu berjalan mendekati Sakha dan duduk di sofa single.

"Pertama," tangan telunjuk Naraya mengudara, "Apa alasan kamu masuk ke rumah saya?"

"Kamu... Kamu tahu apa yang kamu sebabkan ke saya? Saya..." Naraya tak dapat melanjutkan kata-katanya karena emosi yang membuat nafasnya menjadi memburu.

Dia tidak ingin menyalahkan Sakha atas semua kejadian ini. Tapi Sakha lah yang membuat situasi dan keadaan menjadi seperti sekarang, membuat mereka menikah. Lalu, Sakha tentu menjadi objek yang sangat tepat untuk sasaran seluruh kekesalan dan amarah Naraya saat ini bukan?

"Ini sama aja kayak kamu menghancurkan hidup saya!" Tanpa sadar, perempuan itu menaikkan nada bicaranya yang membuat Sakha sedikit berjengit kaget.

"Saya minta maaf..."

"Kamu kira maaf bisa memperbaiki situasi ini?" Sarkas perempuan itu, "Kita juga nggak bisa sembarangan cerai, saya menganggap pernikahan itu suci. Tapi saya menikah dengan cara seperti ini?"

Sakha hanya menunduk dalam mendengar Naraya yang menumpahkan segala isi hatinya yang mungkin sudah dia tahan sedari tadi. Sakha tahu, dia salah. Dia juga tidak tahu kalau hanya karena numpang bersembunyi bisa membuat orang lain menjadi salah paham. Dia tidak tahu...

"Saya juga tidak tahu kalau keadaannya bisa jadi kayak gini," Sakha berusaha membela dirinya, walau... Suaranya seperti sebuah bisikan yang untungnya masih bisa Naraya dengar.

Perempuan itu menarik dan menghembuskan nafasnya secara beraturan agar dapat menetralisir amarah yang masih bersemayam di sekujur tubuhnya. Hampir meledak, tapi tidak boleh. Naraya tidak boleh membuang-buang tenaganya hanya untuk mengamuk di malam hari.

"Jawab pertanyaan saya. Kenapa kamu tiba-tiba menyelinap ke rumah saya kayak maling?"

Sakha memberanikan diri untuk menatap mata Naraya yang kini terlihat begitu menakutkan karena alis yang menukik tajam ke bawah, menandakan bahwa dia sedang marah. Pria itu meneguk ludahnya kasar sebelum memulai berbicara.

"Saya dikejar-kejar." Akunya jujur, tapi tampaknya Naraya tidak percaya.

"Nggak apa-apa kalau kamu nggak mau percaya. Tapi faktanya memang gitu." Sakha menarik lengan kemeja batiknya sampai siku, "Lihat, tangan saya seperti diikat kan?"

Benar, ada bekas kemerahan yang tertinggal beserta luka yang baru setengah kering di lengan Sakha. Naraya tidak memperhatikannya tadi, tapi luka itu tampak cukup menyakitkan. Hatinya seolah merasa tercubit karena dia menyalahkan Sakha sedari tadi.

Otaknya mulai berpikir yang tidak-tidak. Apa jangan-jangan Sakha ini dikejar oleh rentenir karena tidak mampu membayar hutang? Karena itu dia diikat dan hendak dijual organnya. Kepala Naraya mengangguk pelan, sepertinya benar begitu.

"Saya benar-benar minta maaf. Saya juga nggak tahu kalau situasinya bakalan jadi kayak gini."

Melihat wajah sedih itu membuat Naraya merasa seperti orang jahat. Sungguh, dia seperti tuan yang tega membuang anak anjingnya di tengah hujan yang sedang lebat-lebatnya. Dan tatapan anak anjing menyedihkan itu pasti akan persis seperti tatapan berkaca-kaca milik Sakha saat ini!

Kenapa malah Naraya yang merasa bersalah?!

Ugh, kepala Naraya mendadak penuh dan terasa pusing. Belum lagi malam ini dia akan berduaan dengan Sakha. Tidak mungkin dia membiarkan pria ini menginap di hotel di malam pertama pernikahan mereka. Walau tentu saja dan tolong camkan, mereka pasti tidak akan melakukan apapun. Dan juga masih banyak hal yang harus mereka bicarakan.

"Percakapannya disambung besok aja. Saya capek." Naraya berdiri dan segera memasuki kamarnya. Tapi Sakha menarik ujung baju Naraya, membuatnya berhenti melangkah.

Dengan kesal serta perasaan risih, Naraya menoleh ke belakang. Dan mendapati Sakha yang sepertinya takut untuk menatap matanya.

"Saya..." Pria itu menjilat bibirnya, matanya yang terus melihat lantai kini dia angkat dan menatap mata Naraya, "Saya harus tidur dimana?"

Memutar bola matanya malas, Naraya menepis tangan Sakha dari bajunya. Dia memasuki kamarnya dan meninggalkan Sakha sendirian di ruang tamu.

Sakha menipiskan bibirnya. Apa Naraya segitunya membenci dirinya? Sepertinya dosa yang Sakha lakukan itu terlalu besar. Ya... Memang benar sih dosanya pada Naraya sangat besar. Tapi masa sampai membiarkan dirinya tidur di sofa?

Naraya keluar dari kamarnya sembari membawa kasur lipat, bantal, serta selimut membuat Sakha yang sedih menjadi agak kaget. Dia kira Naraya akan membiarkannya tidur di sofa yang busanya sudah tidak ada itu. Ternyata perempuan itu masih memiliki hati untuk memberikan Sakha tempat tidur yang layak.

"Ini, tidur di sini." Naraya membentangkan kasur lipat itu di depan televisi. Tanpa berkata apapun lagi, Naraya memasuki kamarnya.

Tapi sebuah panggilan dari Sakha membuatnya berhenti di ambang pintu. Gadis itu mendengus keras sebelum kembali menatap Sakha.

"Apa lagi, sih?!"

"A-anu..." Sakha jadi takut dan ragu kalau Naraya segarang itu, tapi karena tak kunjung mengatakan tujuannya memanggil Naraya. Perempuan itu melototi dirinya sampai dia merasa panas.

"Itu..." Tapi Sakha benar-benar tidak bisa melanjutkan perkataannya. Takut kalau Naraya marah.

"Apa? Jangan bikin emosi ya malam-malam." Naraya benar-benar geregetan. Haruskah dia memukul kepala Sakha? Ya Tuhan, benarkah dia menikahi orang seperti ini? Baru beberapa jam, ah tidak, bahkan belum beberapa jam dia mengenal Sakha dan pria itu sudah membuatnya menjadi sekesal ini?! Bagaimana dengan hari-hari berikutnya?!

"Saya boleh mandi?"

Tuhan, tolong berikan Naraya stok kesabaran yang banyak. Rasanya dia akan kehilangan kesabarannya sekarang.

***

Biasanya Naraya tidak suka bangun pagi-pagi sekali. Dia lebih senang bergelung di dalam selimut tebalnya yang lembut daripada harus beraktivitas layaknya manusia yang aktif. Pekerjaan rumah pun terbiasa ditunda karena dia malas mengerjakannya di pagi hari, toh dia hanya tinggal sendiri.

Itu kemarin-kemarin, ya. Tapi khusus untuk hari ini, Naraya yang tidak dapat tidur semalaman karena memikirkan nasib naasnya, kini sudah sibuk di dapur. Tangan yang biasanya jarang dan sesekali memegang alat-alat masak, saat ini dengan kakunya memasak sebuah menu bernama nasi goreng.

Naraya tidak yakin dengan rasanya, sebab sudah lama tidak memasak. Tapi karena seseorang yang masih tertidur di ruang tamu, membuatnya mau tak mau memasak di pagi hari ini. Tak lupa otak dan hati yang bekerja sama untuk menyuruh tubuhnya memasak pagi-pagi buta, dengan sebuah alasan, yaitu: tidak tega.

"Kamu udah bangun pagi-pagi kayak gini?"

Naraya yang tengah fokus memasak itu terkesiap mendengar suara serak khas orang bangun tidur dari arah belakangnya, yang entah mengapa membuat perutnya tergelitik. Bukan, bukan tergelitik untuk tertawa. Tapi ada sesuatu yang lain yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

"Hm," jawabnya berusaha sok kalem.

Sakha duduk di kursi meja makan sambil memperhatikan tubuh Naraya dari belakang. Lucu rasanya melihat Naraya yang semalam sangat garang berubah menjadi kewalahan saat memasak dari belakang seperti ini. Terlihat jelas kalau perempuan di hadapannya ini jarang memasak.

Naraya meletakkan sepiring nasi goreng hasil kerja kerasnya di hadapan Sakha tanpa berkata apa-apa. Sementara dirinya duduk berseberangan dengan hanya meminum segelas air putih, karena sudah tidak berselera makan.

Sebelum menyuapkan nasi ke mulut, Sakha bertanya karena melihat Naraya yang hanya menatapnya makan. "Kamu nggak makan?"

Naraya menggeleng, "Kenyang." Jawabnya singkat.

Sakha hanya mengangguk dan menyantap nasi goreng buatan Naraya. Asin sebenarnya, malah dia beberapa kali menggigit garam yang masih belum hancur. Tapi tidak enak jika diutarakan secara langsung. Alhasil dia memakannya dalam diam.

Tatapan Naraya yang tak terputus juga membuat pergerakan Sakha terbatas. Rasanya seperti diawasi. Dan itu membuatnya semakin canggung berada di dekat Naraya.

"Kamu nggak punya baju kan?" Tanya Naraya sambil menumpu pipinya di tangan.

Sakha hanya mengangguk sambil terus mengunyah. Tadi malam dia meminjam pakaian laki-laki yang berada di kamar paling sudut rumah ini. Sakha ingin bertanya itu baju siapa, tapi rasanya dia akan terlihat terlalu ikut campur. Jadi ujung-ujungnya dia hanya menerima pakaian bersih yang Naraya sodorkan padanya.

"Kamu nggak mungkin pakai baju dia lagi. Nanti bisa ikut saya buat beli baju kan? Saya takut salah ukuran kalau pergi sendiri."

Lagi, Sakha hanya mengangguk untuk menjawab.

"Kamu bekerja?" Dari semalam mulut Naraya sudah gatal ingin bertanya ini, hanya saja baru ada nyali sekarang.

Setidaknya tolong katakan kalau dia tidak ada hutang.

"Saya udah nggak kerja lagi."

Mata Naraya melotot kaget, "Terus?"

"Ya... Sebut aja saya pengangguran."

Gampang banget ngomongnya! Batin Naraya berteriak. Oke-oke, tarik nafas yang dalam lalu hembuskan. Tidak apa, asalkan pria ini tidak boros dan tidak punya hutang, maka seluruh uang yang Naraya hasilkan tiap bulan dari rumah kontrakan itu lebih dari cukup.

"Rumah?"

Sakha menggeleng, "Saya beberapa hari yang lalu diusir sama mama saya."

Tanpa sadar Naraya menepuk jidatnya yang membuat Sakha menatapnya keheranan. Ya peduli apa dia tentang pandangan aneh itu? Yang terpenting sekarang bagaimana keterusan kehidupan pernikahan mereka? Sudahlah menikah tiba-tiba, eh malah dapat suami pengangguran.

"Kamu..." Naraya memikirkan kata-kata yang tepat untuk dapat dia keluarkan, "Nggak lagi dikejar rentenir dan sebagainya kan?" Tanya perempuan itu dengan hati-hati. Dia juga tidak ingin membuat Sakha tersinggung dengan pertanyaannya. Meskipun sebenarnya dia tanpa sadar sudah bertindak tidak sopan dari semalam pada pria itu.

Sakha mengibaskan tangannya dengan keras dan menggelengkan kepalanya heboh, "Enggak! Enggak mungkin. Saya nggak pernah ngutang seumur hidup saya. Meskipun sama bank."

Nafas lega Naraya hembuskan, "Oke, itu lebih dari cukup."

Setidaknya dia hanya perlu memenuhi kebutuhan Sakha. Ini tidak menjadi masalah kan?