Fauzan menghentikan motornya tepat di depan rumahnya. Suasana sekitar gelap, karena sudah malam. Ia turun dari motor, dan berjalan ke arah pintu masuk rumahnya.
Ketika Fauzan baru saja masuk ke ruang tamu, ia melihat laki-laki tengah baya di atas kursi roda. Laki-laki itu tengah menunggunya pulang. Tentu saja, dia adalah ayah Fauzan.
"Yah? Kok belum tidur?" tanya Fauzan.
"Tentu saja menunggumu," jawab ayahnya. "Kamu pulang malam begini, apa dari latihan?" tanya ayahnya.
Fauzan tersenyum sebentar. Ia lalu berjalan mendekat ke arah ayahnya. Dan, duduk di lantai dekat dengan kursi roda ayahnya. Fauzan menggeleng pelan sambil tersenyum senang menjawab pertanyaan ayahnya.
"Apa, ini soal perempuan?" tanya ayahnya lagi. Fauzan terkejut mendengar tebakan ayahnya yang seratus persen benar.
"Kenapa, ayah bisa tahu?" tanya Fauzan.
"Sudah terlihat jelas di wajahmu," kata ayahnya. Fauzan lalu setengah menunduk dan tersenyum malu.
"Jadi, sekarang anak ayah sudah punya pacar?" tanya ayah Fauzan.
"Ee.., belum sih yah. Hanya saja, gadis itu sudah jadi incaranku sejak lama. Dan, sekarang kami dekat."
"Apa kamu sudah menyatakan perasaanmu padanya?"
"Sudah. Tapi, dia masih belum menerimaku. Hanya memberikan kesempatan agar kami bisa lebih dekat. Jadi, selama ini kami sering keluar berdua," jelas Fauzan. Mendengar cerita Fauzan, ayahnya hanya mengangguk-anggukkan kepala dan tersenyum. Fauzan memperhatikan ayahnya sebentar.
"Ayah, tenang saja. Ini tidak akan mengganggu skripsiku, dan juga tidak akan mengganggu turnamen judoku," kata Fauzan yang cemas jika ayahnya mulai khawatir konsentrasinya terganggu. Ayahnya tersenyum kecil.
"Ayah, tidak pernah meragukan apa yang kamu lakukan. Kamu sudah sangat membanggakan bagi ayah," ungkap ayahnya. Fauzan kembali tersenyum mendengarnya.
"Siapa nama gadis yang kamu suka itu?" tanya ayah Fauzan lagi.
"Nadia. Nadia Naraya," jawab Fauzan sambil mengarahkan pandangan ke depan dan membayangkan wajah Nadia.
"Kalau boleh ayah tahu, kenapa kamu menyukainya?" Ayah Fauzan memang sering melakukan obrolan dari hati ke hati. Fauzan kembali melihat ke depan dengan pandangan menerawang, berusaha mencari alasan kenapa dia menyukai Nadia.
"Entahlah yah? Aku sendiri tidak bisa menjelaskan dengan jeli. Tapi aku pikir, dia itu polos, baik, gadis yang ceria dan ramah, juga...cantik," jelas Fauzan.
"Memang begitulah cara kerja Tuhan. Tuhan sudah menetapkan setiap hati punya pemiliknya masing-masing. Jika kamu sudah menentukan seseorang untuk menjadi pendamping, berikan saja yang terbaik. Asalkan, dia juga bisa jadi yang terbaik," nasihat ayah Fauzan.
"Iya, Yah. Aku yakin, Nadia adalah gadis pilihanku. Dia juga pasti bisa memberikan yang terbaik," ujar Fauzan. Ayahnya tersenyum mendengarnya.
"Bagus kalau kamu tidak salah pilih," tutur ayah Fauzan.
Mereka berdua kembali memandangi pemandangan luar yang gelap, namun nampak hening dan asri. Dari dalam ruang tamu, masih terlihat jelas. Mereka sering sekali mengobrol di ruang tamu seperti ini.
"Zan, Ngomong-ngomong bagaimana kabar turnamen?" tanya ayah Fauzan.
"Sejauh ini, baik yah. Aku akan tetap bisa mendaftar untuk bulan depan," kata Fauzan. "Tapi, aku minta tolong teman ayah yang bernama pak Doni rekan bisnis ayah sebagai salah satu donatur pada pertandingan nanti," jelas Fauzan lagi.
"Iya. Untunglah kalau pak Doni mau. Pak Doni sudah menjadi rekan bisnis ayah juga baru-baru ini. Dia kelihatannya orang baik. Ayah sudah menginvestasikan dana juga padanya. Syukurlah kalau dia mau menjadi donatur di turnamenmu itu," ungkap ayahnya.
"Iya, Yah. Syukurlah. Jadi, turnamen nanti aku pastikan akan berjalan dengan lancar. Sekarang aku hanya fokus berlatih dan melatih adik-adik didikanku," ujar Fauzan.
Fauzan menatap ke arah langit dan melihat cerahnya ke depannya nanti. Soal Nadia, setelah turnamen judo nasional nanti berlangsung, Fauzan akan menjadi laki-laki yang akan membuat Nadia bahagia. Tentu saja, setelah lulus kuliah juga.
***
Dicky membereskan peralatan untuk latihan. Ia juga menyiapkan beberapa yang akan terpakai. Dicky bolak balik melihat jam dinding dengan sedikit resah. Lalu melayangkan pandangannya ke arah pintu masuk. Orang yang ditunggunya belum juga nampak.
Tentu saja Dicky sedang menunggu Fauzan. Ia cemas, untuk Fauzan yang sedang marah mendekati turnamen judo. Seharusnya Fauzan hanya fokus berlatih. Tapi, karena suasana hati Fauzan yang tidak enak kemarin, Dicky tidak yakin kalau Fauzan bisa berlatih dengan serius. Dicky mengira-ngira apa kemarin dia dan Nadia masih bertengkar? Pikirnya.
"Dick?" sapa Fauzan yang tiba-tiba saja muncul di dekat Dicky. Dicky amat terkejut melihat Fauzan muncul begitu saja.
"Astaga!" kata Dicky sembari memegangi dadanya. "Kapan kau datang?" tanya Dicky yang berusaha mengatur nafasnya. Perasaan Dicky, ia tadi melihat ke arah pintu masuk dan masih belum ada siapa-siapa. Mangkanya ia terkejut begitu tahu Fauzan sudah ada di belakangnya.
"Tadi, baru saja," jawab Fauzan.
Dicky melihat Nadia sedang bersama Fauzan. Tunggu. Mereka sedang bergandengan tangan. Artinya, kemarin mereka tidak jadi bertengkar.
"Kalian, sudah berbaikan?" tanya Dicky refleks begitu saja. Fauzan dan Nadia saling berpandangan satu sama lain. "Itu, kalian gandengan tangan," kata Dicky dengan menunjuk ke arah tangan Fauzan dan Nadia.
"Kami, tidak sedang bertengkar kok," kata Nadia. Fauzan hanya tersenyum mendengar ungkapan Nadia. Ia menggenggam tangan Nadia dan membawanya ke arah depan dadanya. Seolah memamerkannya pada Dicky.
"Iya. Kami tidak sedang bertengkar," ujar Fauzan bahagia. "Kemarin, hanya terjadi kesalahpahaman saja," lanjutnya.
Sedangkan Dicky, hanya bisa berdecak sambil menggelengkan kepalanya melihat tingkah mereka. Beginikah orang-orang yang sedang dimabuk cinta itu? Tidak tahu kapan datangnya bertengkar dan berbaikan.
"Ya, baguslah kalau begitu," kata Dicky lagi. "Zan, kamu jadi latihan kan malam ini?" tanya Dicky.
"Tentu saja," jawab Fauzan.
"Ini, aku sudah menyiapkannya." Dicky memberikan beberapa peralatan untuk latihan Fauzan.
"Nadia, kamu tunggu aku di sana saja," kata Fauzan pada Dicky. Nadia hanya tersenyum dengan pinta Fauzan.
"Kau ini, membuatku khawatir saja," bisik Dicky begitu Nadia sudah menjauh dari mereka.
"Kenapa?" tanya Fauzan.
"Aku pikir kau tidak akan datang," kata Dicky lagi.
"Memangnya kenapa kalau aku tidak datang?"
"Hari ini, jadwal pak Doni untuk melihat-lihat area ruangan komunitas ini. Jadi, aku bingung kalau aku menghadapinya sendirian," gerutu Dicky.
"Aku tahu," jawab Fauzan tenang. "Kita akan meyakinkan pak Doni, jika dana yang akan disumbangkan, tidak akan sia-sia. Kita juga akan memberikannya timbal balik dengan mempromosikan produk beliau," jelas Fauzan. Dicky nampak setuju.
"Zan," panggil Dicky lagi. Fauzan yang tengah menyiapkan peralatan itu, menoleh ke arah Dicky. Ia melihat Dicky yang memandang ke arah pintu masuk. Otomatis, Fauzan melayangkan pandangannya juga ke arah pintu masuk.
Ada seorang laki-laki tengah baya yang berada di dalam ruangan tempat latihan. Laki-laki itu setengah buncit, berpenampilan memakai kemeja warna ungu. Ia menghisap rokok, dan memiliki brewok tipis. Memakai kacamata hitam. Inikah yang mereka tunggu itu? Pak Doni?