Nadia mengamati laptopnya yang menyala. Namun, pikirannya tidak benar-benar tertuju dengan layar laptopnya. Ia tak sadar, jika dari tadi ia tengah mengkerutkan kening. Ia berada di gazebo seperti biasanya.
Drrrrt... Drrrrt... Ada notifikasi panggilan masuk. Mungkin sudah yang ke tiga kalinya. Nadia melihat ponselnya yang ada di sampingnya. Tertulis Fauzan. Nadia merasa geram. Ia tak berniat untuk membuka pesan itu. Ia justru memalingkan muka dari ponselnya dan kembali melihat laptopnya.
Beberapa menit kemudian, sebuah panggilan masuk. Nadia kembali melihat ponselnya. Tentu saja Fauzan yang menelponnya. Nadia mendadak menjadi bingung, tapi ia tetap tak berniat untuk memgangkat panggilan Fauzan itu, sampai panggilan dari Fauzan mati. Nadia kembali melihat laptopnya yang menganggur di hadapannya.
"Ternyata memang kamu sengaja tidak mengangkat panggilanku ya?" Suara Fauzan tiba-tiba saja ada di sekitar Nadia. Nadia terkejut sesaat dan menolehkan kepala ke asal suara Fauzan itu. Benar saja, Fauzan sudah berdiri di sampingnya.
Nadia yang merasa terhenyak, tiba-tiba menjadi salah tingkah. Tapi, ia masih ingat kalau ia sedang kesal. Nadia hanya kembali menghadap ke arah laptopnya lagi. Sedangkan Fauzan duduk di sebelah Nadia.
"Apa kamu sibuk?" tanya Fauzan yang sudah duduk di sebelah Nadia.
"Tidak," jawab Nadia singkat. Ia bahkan menjawab Fauzan tanpa menoleh ke arahnya.
"Kenapa kamu kemarin pulang begitu saja?" tanya Fauzan lagi.
"Tidak apa-apa," jawab Nadia lagi. Fauzan memperhatikannya dengan tersenyum geli. Dilihat sebentar saja, Fauzan sudah bisa menebak jika Nadia sedang cemburu.
"Siapapun bisa melihat kalau kamu sedang marah, Nadia," tutur Fauzan. Mendengarnya, Nadia memang merasa sedikit canggung.
"Marah kenapa?" ujar Nadia dalam bentuk tanya.
"Itulah yang ingin aku tanyakan padamu. Kamu kenapa marah?" tanya Fauzan pada Nadia. Nadia masih terdiam enggan menjawab Fauzan. Fauzan lalu mendekatkan dirinya pada Nadia.
"Jangan-jangan, kamu cemburu?" tanya Fauzan dengan nada menggoda.
"Kenapa aku harus cemburu?!" sanggah Nadia.
"Lihatlah. Penolakanmu seperti itu justru membuat semakin mencurigakan," ujar Fauzan.
"Tidak. Aku tidak cemburu," kata Nadia bersikeras.
"Kalau begitu, katakan padaku kenapa kamu tadi malam pulang begitu saja tanpa menungguku? Padahal, sebentar lagi, aku selesai dan akan mengantarmu pulang," kata Fauzan.
"Tidak apa-apa," jawab Nadia tak acuh lagi. Fauzan kembali tersenyum.
"Kalau tidak apa-apa, nanti seperti biasa aku akan menjemputmu untuk berkencan ke komunitas judo seperti biasanya, ya," kata Fauzan.
Nadia merasa geram dengan ungkapan Fauzan. Ia kira Fauzan akan paham akan sikap yang sengaja ia tunjukkan seperti ini. Tapi, rupanya Fauzan tidak peka. Nadia segera menoleh ke arah Fauzan cepat.
"Kenapa kamu selalu mengajakku ke tempat komunitas judo itu?!" tanya Nadia yang tidak sadar menaikkan nada bicaranya. Fauzan melihatnya masih dengan tersenyum. Jelas-jelas Nadia cemburu, hanya saja Nadia tak mau mengakuinya di depan Fauzan.
"Karena kamu menyukai judo," kata Fauzan lembut.
Nadia terkejut mendengar dan melihat ungkapan ekspresi Fauzan. Ia yang juga sempat mengkerutkan keningnya, mendadak menjadi heran dan mengganti ekspresinya menjadi berwajah tanya.
"Aku ingin membuatmu senang dengan berjalan keluar denganku. Kamu sendiri bilang kalau kamu menyukai judo, bukan?" tanya Fauzan lagi. Nadia tertegun mendengar jawaban Fauzan. Ia lalu menundukkan sedikit kepalanya dengan merasa malu.
"Apa, kamu sudah tidak menyukai judo lagi? Kalau kamu sudah tidak menyukainya, maka aku tidak akan membawamu ke komunitas itu lagi," kata Fauzan. Nadia lalu melihat ke arah Fauzan.
"Aku, masih menyukainya," gumam Nadia menjawab pertanyaan Fauzan. Fauzan kembali tersenyum mendengar Nadia.
"Tapi, kamu pernah tidak menyukai judo bukan?" tanya Fauzan lagi.
"Tidak." Nadia menggelengkan kepalanya. "Aku, selalu dan masih menyukai judo," jawabnya.
"Lalu, kenapa saat dekat dengan Agra, kamu sama sekali tidak pernah melihat atau mencari tahu soal judo?"
Nadia melihat ke arah Fauzan kembali. Ia tercekat dan melebarkan kedua matanya. Fauzan bahkan sudah tahu kalau Nadia juga pernah sama sekali tidak menghiraukan soal judo.
"Saat itu karena..."
"Agra tidak menyukainya kan?" potong Fauzan pada Nadia. Nadia kembali tercekat.
"Semua kesukaan Agra menjadi kesukaanmu. Sebaliknya, kamu justru melupakan semua hal yang kamu suka. Saat bersama Agra." Tebakan Fauzan seratus persen benar. Nadia masih terdiam mendengar Fauzan berbicara.
"Nadia," panggil Fauzan lembut. Nadia lalu kembali melihat ke arah Fauzan. "Untuk menyukai seseorang, kamu tidak perlu menjadi orang lain," tuturnya. Nadia terdiam dan menundukkan kepalanya. Fauzan kembali tersenyum melihatnya.
"Sekarang, katakan padaku kenapa kamu kemarin pulang begitu saja, tanpa menungguku lebih dulu?" tanya Fauzan masih dengan nada lembut.
Nadia terdiam. Sejujurnya, ia sudah merasa nyaman melakukan percakapan ini. Nadia rasa, ia tidak harus menjadi anak kecil untuk mengungkapkan kemarahannya. Nadia menoleh ke arah Fauzan.
"Apa, aku boleh bertanya sesuatu?" tanya Nadia pada Fauzan.
"Tanyalah semua hal yang membuatmu penasaran," ucap Fauzan.
"Apa, kamu benar-benar menyukaiku?" tanya Nadia yang memberanikan dirinya.
"Kenapa kamu masih meragukannya? Jika ada sesuatu yang membuatmu tidak nyaman, kenapa kamu tidak mengatakannya langsung saja padaku?"
"Entahlah? Aku kemarin memang merasa tidak nyaman saja," kata Nadia akhirnya.
"Apa kamu tidak enak badan?" tanya Fauzan. Nadia menggelengkan pelan.
"Aku, hanya merasa tidak nyaman dengan semua judoka-judoka perempuan itu," ungkap Nadia.
"Tidak nyaman kenapa? Apa di antara mereka ada yang membuatmu kesal atau sakit hati?" tanya Fauzan lagi.
"Sejujurnya iya. Meskipun secara tidak langsung," jelas Nadia.
"Kenapa bisa begitu?" tanya Fauzan.
"Saat aku berada di toilet, mereka sedang membicarakanku. Mereka juga bilang, kalau mereka akan berniat untuk pura-pura sakit agar bisa diantar pulang olehmu. Saat itu, aku merasa..."
"Sakit bukan?" potong Fauzan. Nadia menoleh ke arah Fauzan dengan ekspresi tak paham.
"Apa?" tanya Nadia untuk memastikan.
"Itu namanya cemburu," kata Fauzan. Mendengarnya, mendadak wajah Nadia memerah.
"Aku, tidak cemburu." Nadia masih berusaha menyangkalnya. Fauzan hanya tersenyum mendengarnya. Ia kemudian melihat ke arah depan, dengan pandangan menerawang.
"Pasti, rasanya kesal dan sangat marah. Saat ingin marah, malah jadi semakin serakah," kata Fauzan lagi.
Nadia merasa heran dengan ungkapan Fauzan. Ia yang mengkerutkan alisnya berpikir dalam. Ia merasa ia tidak merasakan hal demikian.
"Tapi, aku tidak begitu. Aku hanya..."
"Aku tidak sedang membicarakan perasaanmu padaku," kata Fauzan. Nadia kembali melihat ke arah Fauzan dengan heran. Fauzan juga memutar kepalanya melihat ke arah Nadia. "Aku, sedang membicarakan perasaanmu, pada Agra. Dulu," kata Fauzan lagi. Fauzan lalu menghadap ke depan lagi.
"Aku bisa tahu karena, aku juga pernah merasakannya," ungkap Fauzan. Nadia bingung mendengarnya. "Itulah yang aku rasakan saat aku melihatmu dengan Agra."
Fauzan melihat ke arah Nadia kembali. Nadia merasa suaranya hilang, tidak bisa keluar dari tenggorokannya. Ia hanya diam dan saling tatap dengan Fauzan.