Nadia membuka pintu kosannya dan ia mendapati Mika sudah berdiri dengan sangat cemasnya. Raut wajah Mika menunjukkan hal tersebut. Mika melihat Nadia yang memberikan ekspresi wajah lemas dan tidak bersemangat.
"Ya ampun, Nad. Apa kamu baik-baik saja?" tanya Mika masih dengan khawatir. Sedangkan, Nadia hanya membalas tatapan Mika dengan tersenyum tipis. Ia menganggukkan kepalanya pelan.
"Masuklah," kata Nadia pada Mika mempersilahkan Mika masuk ke dalam kosannya. Mika langsung masuk. Mereka berjalan ke dalam kamar kos Nadia yang memang kebetulan berada di deretan paling depan. Mika segera duduk di ranjang Nadia dan menaruh tasnya.
"Nad? Kenapa kamu baru mengatakan padaku pagi ini?" tanya Mika masih dengan cemas.
"Tidak apa-apa Mik. Aku tidak ingin membuatmu khawatir," kata Nadia yang juga ikut duduk di samping Mika. Nadia menceritakan soal kejadian malam itu pada Mika. Soal ketika ia melewati depan kos Mika, lampu kamar Mika sudah padam. Juga, soal Fauzan yang menolongnya.
"Astaga," ungkap Mika yang setengah tidak percaya. "Jadi, benar memang ada orang yang mengikutimu?" katanya lagi.
"Tapi, untung saja ada Fauzan," kata Nadia.
"Eh, kamu kenal orang yang menyelamatkanmu itu?" tanya Mika lagi.
"Ya, kami memang pernah bertemu sebelumnya," cerita Nadia.
"Oh iya?!" seru Mika sedikit antusias. "Siapa dia?" tanya Mika.
"Aku juga tidak tahu pasti. Tapi, dia pernah menabrakku satu kali. Dan, ternyata kos-kosannya ada di dekat sini," jelas Nadia.
"Wah, kebetulan sekali? Jadi, kalian dekat akhir-akhir ini?" tanya Mika lagi.
"Dekat apanya? Ini semua hanya kecelakaan," kata Nadia.
"Oh, begitu?" ungkap Mika sambil mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
Tadi malam, mereka berjalan berdua. Saat itu, perasaan Nadia yang masih sedikit ketakutan menjadikan Fauzan juga berjalan menjaga jaraknya dengan Nadia. Entah, saat itu Nadia benar-benar merasa sangat aman. Nadia juga baru tahu, ternyata kos Fauzan benar-benar ada di sampingnya.
Ketika sudah sampai di depan kos Nadia, ia bertanya yang mana kos Fauzan. Fauzan menunjuk salah satu rumah tingkat di dekat kosannya. Nadia baru tahu, rupanya kos Fauzan ada tepat di sampingnya. Saat hampir berpisah, Fauzan melihat Nadia sampai masuk ke dalam kosnya, barulah ia pergi.
"Astaga! Rupanya ini sudah pukul delapan pagi ya?!" seru Mika tiba-tiba. Nadia melihat ke arah Mika dan membuyarkan lamunannya.
"Nad, aku harus kuliah dulu," ujar Mika.
"Kamu ada kuliah? Kalau begitu kenapa kamu kesini? Jaraknya kan berseberangan?" kata Nadia.
"Mana mungkin aku tidak melihatmu dulu, Nad?" kata Mika. "Ya sudah. Aku harus cepat-cepat pergi," ujar Mika segera berdiri dan segera pamit pada Nadia.
Nadia berterima kasih karena Mika masih sempat melihatnya. Nadia mengantarkan Mika keluar dan melihat Mika menjauh darinya. Dari jarak agak jauh, Nadia memperhatikan punggung Mika yang sudah menghilang.
Nadia membalikkan badannya. Ia akan berjalan kembali masuk ke dalam kosnya. Saat baru setengah langkah, Nadia berhenti. Ia memperhatikan kos-kosan pria yang ada di dekatnya. Itu kos-kosan Fauzan bukan? Apa Fauzan ada di dalam kosnya sekarang, ya? Pikir Nadia.
Astaga! Nadia segera menggelengkan kepalanya cepat. Apa yang baru saja terlintas di dalam kepalanya ini?! Untuk apa ia harus tahu Fauzan ada di dalam kos atau tidak? Tunggu, tapi buku Fauzan masih ada padanya. Mungkin itulah alasannya kenapa Nadia jadi kepikiran Fauzan tiba-tiba. Ya. Pasti karena itu.
Nadia berinisiatif untuk segera mengembalikan buku Fauzan itu. Agar ia tidak lagi kepikiran membawa barang milik orang, dan ia harus segera membalas budi Fauzan yang sudah menolongnya itu. Ia masuk ke dalam kosnya kembali, langsung menuju kamarnya dan mengambil satu buku berwarna biru yang khas. Tanpa pikir panjang, Nadia segera keluar lagi dan berjalan mendekat ke arah kos-kosan laki-laki tempat Fauzan tinggal itu.
Tok...tok...tok... Nadia mengetuk pintu kos dari arah depan. Menunggu sekian detik. Saat menunggu, entah kenapa rasanya jantung Nadia tiba-tiba berdebar tidak beraturan? Ia mendadak merasa resah, tanpa tahu apa penyebabnya.
Ceklek. Pintu kos terbuka dari dalam. Nadia terhenyak sesaat berusaha mengontrol perasaannya. Ia kemudian segera berusaha bersikap untuk tenang. Ada seorang laki-laki keluar dari dalam. Laki-laki itu melihat ke arah Nadia dengan tatapan heran.
"Ya? Ada apa?" tanya laki-laki itu.
"Maaf, saya mencari Fauzan," ujar Nadia pada laki-laki yang baru saja membukakan pintu itu. Laki-laki itu nampak terdiam sesaat. Ia melihat ke arah Nadia dengan pandangan heran.
"Fauzan?" tanya laki-laki itu.
"Iya," jawab Nadia sembari mengangguk cepat. Laki-laki itu masih setengah berpikir.
"Fauzan siapa?" tanya laki-laki tadi. Nadia mendadak merasa heran. Kenapa laki-laki ini tidak mengenali Fauzan? Bukankah aneh jika dalam satu kos, tapi mereka tidak mengenal satu sama lain?
"Fauzan Narendra," ucap Nadia. Ia kemudian membuka buku biru yang dibawanya itu. Menunjukkan satu wajah di dalam foto yang terpampang di halaman depan. "Yang ini," kata Nadia sambil menunjuk buku yang dibawanya. Si laki-laki itu memperhatikan dengan saksama wajah di foto itu. Dengan mengkerutkan kening dan nampak berpikir, laki-laki itu nampak asing dengan wajah yang ada di dalam foto tersebut.
"Maaf, saya tidak kenal dengan orang ini," ujar laki-laki itu menunjuk foto Fauzan. Nadia terkejut dan merasa aneh dengan ungkapan laki-laki itu.
"Tapi, dia tinggal di sini," ujar Nadia. Laki-laki itu melihat ke arah kos-kosannya bagian dalam sebentar.
"Saya sudah di sini hampir tiga tahun lebih. Tapi, tidak ada yang namanya Fauzan. Orang yang di dalam foto itu, juga tentu saja tidak tinggal di sini," jelas laki-laki itu. Nadia semakin merasa aneh mendengar ungkapan laki-laki yang berbicara dengannya itu. Mustahil. Padahal, Nadia kemarin jelas-jelas melihat bahwa Fauzan menunjuk rumah ini adalah kos-kosannya.
"Apa, ada kos-kosan laki-laki lain di sini?" tanya Nadia pada laki-laki itu.
"Setahu saya tidak ada," kata laki-laki itu. Ya. Setahu Nadia juga tidak ada. Ini adalah satu-satunya kos-kosan laki-laki di sekitar sini.
"Maaf, saya harus segera ke kampus," ujar laki-laki itu.
"Oh, iya. Maaf sudah mengganggu," kata Nadia. Ia lalu berbalik dan mendapati pintu kos itu ditutup kembali dari dalam. Nadia berjalan kembali menjauh dari kos-kosan itu.
Benar-benar aneh. Nadia melihat dengan jelas dan pasti jika memang kemarin Fauzan menunjuk rumah yang benar. Nadia menggigit ibu jarinya dan bergeming nampak berpikir. Kenapa Fauzan berbohong padanya? Melihat Fauzan, Nadia rasa Fauzan adalah orang baik. Tidak mungkin Fauzan berbohong. Apa jangan-jangan, dirinya hanya berhalusinasi kemarin? Tapi, Nadia masih merasa pipinya sakit akibat bungkaman preman yang menyerangnya kemarin.
Tidak. Dia tidak sedang berhalusinasi. Nadia semakin penasaran dengan semua ini. Ia tidak sabar lagi. Ia lalu segera masuk ke dalam kos-kosannya dan segera mengambil ponselnya yang ada di dalam meja kamarnya.
Kala itu, Nadia tidak jadi mengirim pesan pada Fauzan, karena saat itu, ia tengah sulit merangkai kata. Juga tiba-tiba ada panggilan penting mendadak. Nadia memulai menggerakkan kedua ibu jarinya untuk mengetikkan sesuatu. Kemudian, ia berhenti sendiri. Dalam sekian detik, berpikir ulang. Nadia segera menghapusnya. Lalu, ia memencet tombol warna hijau dan segera menempelkan ponselnya di telinganya. Lebih baik, ia langsung berbicara dengan Fauzan saja.