Pagi menyapa dengan indah. Matahari yang bersinar terang menyilaukan mata Fania dari tidurnya. Dia hanya menghela napas dengan berat. Rasanya dia ingin kembali terlelap. Bukan. Bukan karena mengantuk, tapi karena ... hati dan pikirannya sedang benar-benar lelah memikirkan masalah yang tengah dia hadapi kini. Bagaimana dengan kandungan yang ada dala perutnya. Benar kata Fiona, perlahan perutnya akan membesar seiring dengan berjalannya waktu.
Dia melirik ke arah tempat tidur Fiona yang berada tidak jauh darinya. Kosong dan sudah rapi. Ini adalah akhir pekan. Fiona tidak kemana-kemana kecuali melakukan kewajibannya di rumah. Membereskan rumah.
Tok tok tok'
Terdengar suara ketukan pintu. Mungkin dari Fiona, begitu pikir Fania. Pintu lalu terbuka.
"Selamat pagi, Sayang," sapa ayahnya dengan senyum yang mengembang di sudut bibirnya.
"Pagi, Ayah. Ada apa?" tanya Fania. Dia memang cukup akrab dengan ayahnya, tapi tidak seperti ini. Tidak biasanya ayahnya menyapa hingga ke kamar bahkan kini duduk di tepi tempat tidurnya.
"Tadi Fiona bilang—"
"Bilang apa, Yah?!" tanyanya dengan nada yang lumayan tinggi.
"O-oh, enggak. Tadi kata Fiona kamu tidak enak badan,benar begitu?" tanyanya dengan raut wajah khawatir.
"A-ah itu, benar, Yah."
Fania merasa lega dalam hati. Dia sudah berpikir bahwa Fiona sudah menceritakan segalanya pada ayah karena sebelumnya, Fiona tampak sangat marah dan kecewa.
"Ini," –ayahnya menyodorkan satu porsi bubur ayam dengan taburan bawang goreng yang melimpah. "Ayah sengaja pesan bawang gorengnya yang banyak biar kamu lahap."
"Hmm, terima kasih, Ayah."
"Kenapa? Enggak suka?" tanya ayahnya melihat ekspresi yang tidak antusias dari anaknya.
"Suka kok. Fania hanya sedikit ... terharu."
Mendengar hal itu, ayahnya mendekap erat tubuh anaknya yang satu itu. "Mau Ayah suap?"
"Enggak perlu, Fania masih bisa suap sendiri kok."
Ayahnya beranjak dari duduknya. "Ya sudah, kalau begitu Ayah keluar dulu ya."
"Iya, Ayah."
Fania melahap bubur yang telah susah payah diberikan oleh ayahnya. Dia terharu. Bukan. Kali ini dia terharu bukan karena ayahnya, tapi karena ... Fiona. Bukan Fania yang menyukai bubur ayam dengan taburan bawang goreng yang melimpah, tapi Fiona. Fania selalu menyelipkan semua favoritnya Fiona dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih jika itu pertanyaan dari ayahnya.
Dia sadar. Sangat sadar. Bahwa ayahnya kerap bertindak dan memperlakukan hal yang tidak adil untuknya dan Fiona. Saudari kembarnya itu tidak seberuntung dirinya.
Sementara dari luar sana, Fiona diam-diam menyaksikan semua yang terjadi antara dia dan ayahnya. Meski ini bukan yang pertama kalinya, tapi dia tetap saja merasa sesak. Tidak adil.Pernah, bahkan sering dia memutuskan untuk mengalah dan membiarkan ini semua terjadi padanya. Bahkan, tak jarang dia juga berpikir bahwa semua tidak akan lama. Suatu hari nanti ayahnya pasti akan berbaik hati padanya. Tapi tidak. Hingga detik ini pun tidak ada yang berubah sama sekali. Ayahnya selalu berpihak pada Fania. Dalam hal apapun.
Fiona melangkah masuk menuju kamarnya yang juga menjadi kamar milik Fania. Tidak bertegur sapa seperti biasanya. Kali ini, dengan tanpa senyuman dia mengambil satu dari sekian tumpukan komik yang berjejer rapi di atas meja belajar. Lalu duduk sembari meluruskan kaki di atas tempat tidur. Hening. Tanpa mempedulikan Fania.
Fania kesal. Dia selalu kesal jika siapapun mengabaikannya. Namun, kali ini dia tidak bisa marah bahkan tidak berhak. Kesalahan yang dia buat memang tidak mudah untuk dimaafkan. Fania menyendok suapan terakhir dimulutnya dan berniat ingin kembali mengistirahatkan diri.
"Kalau habis makan, kembalikan mangkuk dan gelas kotornya di dapur. Kebiasaan buruk jangan melulu disimpan," sindir Fiona dengan nada dingin.
Fania menurutinya. Semua piring di dapur masih basah, artinya Fiona baru saja menyelesaikan semuanya. Dia ingin kembali beranjak menuju dapur, tapi ...
"Kayaknya enggak enak dilihat kalau ada satu mangkuk dan gelas kotor di sini," gumamnya.
Saat ingin membilas mangkuk itu,tiba-tiba saja...
PRANGGG!
Terdengar suara pecahan mangkuk. Terlalu licin. Mendengar pecahana piring itu, ayahnya menuju dapur dan berniat ingin marah. Namun, ekspresi marahnya meredam kala melihat anak kesayangannya yang melakukan hal itu.
"Maaf, Ayah. Tadi licin."
"Iya, enggak apa. Lain kali hati-hati. Lagi pula kenapa bukan Fiona yang mencuci piring?"
"Tadi dia mencuci semuanya kok. Ini bekas makan Fania, jadi enggak apa."
"Biar Ayah suruh saja dia yang bersihkan—"
"Jangan, Ayah. Biar Fania saja."
Ayahnya menatap wajah Fania dengan perasaan haru." Kamu memang anak yang baik."
Ayahnya berlalu menuju kamar. Sementara Fiona menyaksikan hal itu hanya tersenyum miris. Dia lalu bersiap mengenakan hoodie hitam dengan celana jeans hitam. Hanya pakaian sederhana yang biasa dia kenakan. Hari ini dia akan bertemu dengan seseorang untuk menyelesaikan salah satu masalah yang dibuat oleh Fania.
"Fi, mau ke mana?"
"Kenapa? Mau ngadu sama Ayah?"
"Enggak gue Cuma— yaudah, jalan aja. Nanti kalau Ayah tanya biar gue yang belain."
Fiona tidak membalas. Dia langsung menuju luar rumah dan menaiki mobil taksi yang sudah menunggu beberapa menit yang lalu.
"Kafe strawberry, Pak," titahnya pada sopir taksi itu.
"Baik, Neng."
Sopir taksi itu melaju dengan kencang atas perintah Fiona.
Setibanya di sana Yoseph sudah menunggu sembari menikmati segelas capucino. Matanya clingukan melirik ke sana dan kemari. Begitu menyadari kehadiran Fiona dia melambaikan tangannya.
Tanpa berlama-lama lagi, dia menuju meja dimana keberadaan Yoseph. Pertemuan kali ini, bukan untuk membicarakan hal remeh yang tidak perlu apa lagi hanya untuk sekadar basa-basi saja. Tapi karena sesuatu yang harus dia selesaikan sebelum semuanya semakin terasa rumit.
"Hai, Fi. Lo naik taksi?" tanya Yoseph hanya untuk sekadar basa-basi. Fiona hanya menaikan kedua alisnya mengisyaratkan 'iya.'
"Duduk, Fi."
Fiona duduk di kursi seberang Yoseph dengan santai. Yoseph menatap dalam wajah gadis yang berada di hadapannya kini. Dia sesekali tampak menghela napas dengan berat. Meski Yoseph tidak pernah berada di posisi Fiona, tapi dia tahu betul bahwa apa yang saat ini dia jalani, bukanlah sesuatu yang mudah.
"Are you okay?" tanya Yoseph menyeka bahu milik Fiona. Dia tahu. Sangat tahu. Siapa yang akan baik-baik saja saat semua masalah bersatu dalam waktu yang bersamaan seperti saat ini. Hanya saja, hanya kata itu yang keluar dari bibirnya.
Sekali lagi, Fiona menghela napas panjang. "What do you think?"-Dia tersenyum miris.
Meski posisi saat ini adalah hal yang membuatnya terasa mencekik, tapi dia senang karena masih ada Yoseph yang terus mendukungnya. Entah bagaimana jadinya jika ayahnya sampai tahu apa yang telah dilakukan putri kesayangannya ini.
"So ... apa rencana lo?"
"Gue enggak tahu. Gue enggak bisa mikir sekarang."