Chereads / Trapped in Love in The Game / Chapter 6 - Menentukan masa depan

Chapter 6 - Menentukan masa depan

"Kalian tidak apa-apa?" tanya Marie khawatir pelayan dengan kuncir kuda dan freckles yang ada di kedua pipinya.

"Tidak apa-apa, Marie. Untungnya," jawab Asylin tenang agar seluruh pelayan dan koki yang ada di sana tidak terus khawatir dengan dirinya dan Casey.

"Kau juga tak apa, Gwen?"

"Tidak apa-apa, walaupun lumayan takut. Aku juga minta maaf karenaku, Asylin ikut kena juga," lirih Casey. Asylin kembali menghampiri anak didiknya itu.

"Hei, sudahlah. Ini juga salahku, kau dengar juga, bukan? Kalau aku sekarang memiliki tanggung jawab yang besar."

Casey mengangguk pelan, Asylin memeluknya seraya mengusap punggung Casey dengan lembut. "Tidak apa-apa, Gwen. Untuk selanjutnya, jika ada yang tidak kau mengerti dan ragu, langsung saja bertanya padaku maupun yang lain."

"Ya, benar! Kau bisa bertanya padaku!" seru Olla.

"Kalau kau tertarik dengan memasak, kau juga bisa belajar padaku," sahut Riley dengan senyuman terpatri di wajahnya.

Asylin melepas pelukannya lalu tersenyum tulus pada Casey.

"Terima kasih banyak semuanya," ujar Casey dengan mata berkaca-kaca. Merasa bersyukur telah diberikan orang-orang baik di sekitarnya. Yang tak menghakiminya jika ia berbuat salah, membelanya atau pun berkata bahwa semua akan tetap baik-baik saja selama ingin berusaha menjadi lebih baik.

Casey senang bisa masuk ke dalam game ini. Walaupun scene Noel bisa terpeleset itu sama sekali tidak ada dalam game, karena memang ini adalah kesalahan Casey sendiri yang buat. Gwen yang asli tidak mungkin seceroboh itu, mengingat gadis malang tersebut memang sudah terbiasa dengan pekerjaan rumah tangga sedari kecil. Karena itu, Casey sebelumnya terguncang dan tak tahu akan seperti apa akibatnya karena ulahnya itu.

Dan hal ini akan terus terjadi, scene-scene yang tidak akan ada dalam game melainkan terjadi dengan sendirinya secara alami.

"Oh, dan juga jangan ada yang memberitahu masalah ini pada Mrs. Belinda. Aku tidak ingin kondisi kesehatan beliau semakin memburuk jika mendengarnya," titah Asylin dan seluruh pelayan mau pun koki mengangguk menuruti perintah Asylin.

Jarum jam menunjukkan jam tujuh pagi artinya keempat para tuan akan melakukan sarapan paginya. Para pekerja bersiap di posisi masing-masing.

Tuan Noel dan Luke lah yang pertama menduduki kursi meja makan. Mereka tidak langsung menyantap makanan lezat ala perancis yang berada di depan mereka, masih menunggu kedua adiknya yang belum menampakkan batang hidungnya di sana.

"Eric dan Gabriel sudah bangun, kan?" tanya Noel seraya melihat jam yang melingkar di tangan kirinya.

"Seharusnya sudah, Tuan," jawab Asylin mewakilkan.

"Kebiasaan para bocah itu," gerutu Luke.

"Sudahlah, mungkin sebentar lagi."

Tak lama dari itu, Eric dan Gabriel datang bersamaan dan langsung menduduki kursi masing-masing.

"Selamat pagi, Kak Noel, Kak Luke," sapa Gabriel masih dengan tatapan mengantuk bahkan menguap.

"Kalian berdua lama," omel Luke langsung.

"Masih pagi, Luke, jangan mengomel seperti nenek sihir," celetuk Eric dengan senyuman jahilnya.

"Kau-" ucapan Luke terhenti tatkala mulutnya langsung disumpal croissant hangat oleh Noel.

"Kalau begitu kita bisa berdoa dulu sebelum makan," ujar Noel seraya tersenyum manis. "Bisa lepaskan dulu croissantnya, Luke? Kau tidak sabaran sekali."

Luke mendelik kesal seraya melepas croissant dari mulutnya dengan kasar. "Kau sendiri yang menaruhnya!"

Setelah mereka berdoa,

mereka fokus dengan makanannya masing-masing. Sampai di mana bunyi pisau yang ditaruh di atas piring telah memecah keheningan di ruangan makan tersebut. Noel mengelap mulutnya dengan serbet berwarna putih. Pria itu orang pertama yang telah menyelesaikan sarapan paginya.

"Gwen," panggil Noel. Casey yang sedari tadi hanya melamun membayangkan makanan-makanan yang ada di meja itu bisa masuk ke dalam perutnya juga, kini terlonjak kaget saat lengan Asylin menyenggol dirinya.

"Y-ya, Tuan?"

"Duduklah di samping Eric."

"Eh?"

"Uhuk!" Eric tersedak saat meminum kopi susunya. Gabriel langsung saja menepuk punggung Eric dengan kuat, yang malah membuat pria itu kesakitan.

"Kau pasti ingin membunuhku, Gab! Mengaku!" protes Eric dengan mata berair.

"Aku berniat baik membantumu kau malah mencurigaiku, tidak tahu terima kasih!" elak Gabriel tak terima dan malah menepuk punggung Eric sekali lagi tapi dengan keras.

"Argh! Kau!"

"Kali ini aku setuju ingin membunuhmu!"

Luke tetap asik menyantap sarapannya, sedangkan Noel memijat keningnya lelah dengan perdebatan pagi ini.

Sejak pagi sepertinya sudah banyak keributan-keributan kecil yang harus ia tangani.

"Berhenti bertengkar, aku ingin fokus pada Gwen." Nada bicara Noel yang begitu serius sukses membungkam kedua pria tersebut.

Noel kembali menatap Casey. "Duduklah, di mana saja yang kau inginkan."

Casey akhirnya memutuskan untuk duduk sedikit jauh dari keempat pria tersebut. Karena jika di dekat Eric, ia takut bahwa pria itu tak nyaman. Melihat reaksi sebelumnya dan kejadian tadi pagi yang begitu memalukan.

Noel menarik napas panjang. "Jadi aku menyuruhmu duduk karena ingin membicarakan mengenai pendidikanmu setelah ini."

Casey masih mendengarkannya dengan baik.

"Kau sendiri ingin berada di jurusan apa?" tanya Noel. Keempat pria itu kini menatapnya serius, menunggu jawaban dari gadis bersurai panjang tersebut. Casey meneguk ludahnya kasar, tatapan mereka yang begitu dalam terhadap dirinya tentu saja membuatnya gugup.

"A-aku bisa memilihnya dengan bebas?" tanya Casey.

Noel mengangguk. "Jika kau sanggup dan fokus dengan pilihanmu."

"Ilmu kedokteran saja, mengobati Luke!" saran Eric.

"Hah? Memangnya aku sakit apa?" Luke menautkan alisnya heran.

"Sakit jiwa!"

"Brengsek, Eric!" Luke menendang tulang kering Eric yang memang duduk bersebrangan dengannya.

"Argh! Punggungku sakit dan sekarang kakiku! Noel, tolong aku ...." lirih Eric pura-pura pingsan. Noel tak peduli, pria itu menghirup teh chamomilenya dengan tenang.

Gabriel memandang Casey dari atas ke bawah, tatapannya begitu serius. "Hei, Gwen. Bagaimana jika kau masuk jurusan model? Kau pasti sangat cantik jika dipoles!"

Mendengar pernyataan Gabriel, ketiga pria yang sedari tadi sibuk sendiri kini menoleh ke arah Gabriel dan Gwen.

"M-model?" tanya Casey meyakinkan.

Gabriel mengangguk seraya memberikan acungan jempolnya. "Kau cantik, Gwen."

Pipi mulus Gwen merona merah tatkala pujian untuk dirinya terlontar dari mulut Gabriel. Dirinya mengalihkan tatapan menghindari netra sehijau permata emerald milik pria tersebut.

"Wah, Gab. Kau sudah berani menggoda wanita ternyata," ledek Eric dengan senyuman remehnya.

"Bukan begitu, bodoh!"

"Untuk menjadi seorang model, tidak perlu sampai masuk ke jurusan itu. Kau hanya perlu melenggokan tubuhmu atau memasang wajah serius, sudah pasti langsung mendapat banyak tawaran," ujar Luke berpendapat.

"Itu karena kau sudah menang fisik, Luke! Cih, padahal kau hanya seorang aktor amatir, tapi tawaran model pun banyak melebihi Gabriel," cibir Eric tak henti-hentinya.

"Amatir katamu?!"

"Tawaran model melebihi aku?!"

"T-tenanglah kalian berdua!" mohon Eric setelah melihat respon kedua pria di depannya seperti ingin menyiksanya lagi. Padahal sedari tadi ia yang selalu memancing keributan.

Casey hanya bisa tersenyum kikuk karena berada di tengah keributan tersebut.

"Jadi kau sudah memutuskan untuk masuk jurusan apa?" tanya Noel lagi. Berusaha untuk kembali ke topik awal.

"Apa ini harus kuputuskan sekarang, Tuan?" Casey bertanya balik.

"Ya, perkuliahan sebentar lagi akan mulai semester baru. Kau hanya punya waktu sedikit untuk mempersiapkannya."

Casey berpikir keras, jurusan apa yang ia inginkan. Jurusan yang akan menentukan dan mengarahkan dirinya dalam dunia game A Mirror Family. Saat di dunia nyata, jurusan apa yang ia pilih dalam rute Eric. Apakah dirinya harus memilih yang sama? Ataukah ia lebih baik memilih yang berbeda?