Sudah sebulan Casey melewati hari-harinya di dalam game. Ia sudah hafal seluruh ruangan yang ada di mansion. Perjuangan Casey masih sangat panjang jika sesuai dengan yang ia mainkan sebelumnya. Tingkat love Eric masih berada di angka dua dari lima love. Apalagi ketiga pria yang lain bahkan masih nol. Casey menghela napasnya berat menatap profile seluruh keempat pria tersebut, ia bahkan sudah banyak lupa scene-scene yang ia mainkan. Gadis itu benar-benar berjalan dengan sendirinya.
Untungnya selama sebulan ini, tidak ada seorang pun yang mencurigai sikapnya. Ya walaupun di awal-awal bekerja, dirinya banyak melakukan kesalahan mengingat seharusnya seorang Gwen sudah mahir mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Setidaknya hal tersebut bisa Casey atasi dengan cepat. Sekarang gadis itu sama mahirnya dengan sang heroine, Gwen.
Patut berbanggalah ibunya di dunia nyata.
Ah, Casey jadi merindukan nenek sihir itu. Apalagi omelannya.
Malam ini Casey seperti biasa belajar di perpustakaan. Kali ini hanya sendiri karena Eric sedang keluar menyelesaikan urusannya. Casey menyalakan lampu ruangan tersebut. Kini sudah terang benderang tak seperti sebelumnya. Ruangan tersebut begitu sunyi hanya terdengar suara dentingan jarum jam. Gadis itu meraih beberapa buku yang sudah ia tandai kemudian ia letakkan di meja yang kini menjadi tempat favoritnya. Membaca helai demi helai lembaran buku dengan fokus.
Cklek
!
Pintu ruangan terbuka.
"Sudah selesai urusannya, Eric?" tanya Casey. Pandangannya masih berkutat dengan buku tebal berwarna merah.
Tidak ada jawaban.
Casey membalikkan badannya. "E-"
"Eric?"
Netra Casey membulat ketika pria yang ada di depannya bukanlah pria bersurai light brown dengan senyum ceria khasnya. Melainkan pria dewasa dengan tatapan dingin.
Itu Luke.
Casey langsung bangkit dari duduknya lalu membungkukkan badannya. "M-maafkan saya, T-tuan Luke," mohon Casey dengan nada bergetar. Pikirannya tak karuan karena sebelumnya ia menyebut hanya menyebut nama Eric tanpa embel-embel tuan. Takut jika Luke memarahinya karena dirinya yang telah lancang menganggap Eric sepadan dengan Casey.
Langkah kaki pria itu semakin mendekat sampai tepat di depan Casey.
"Kau menganggapku adalah Eric?" tanya Luke dengan nada dingin.
"M-maafkan saya, Tuan. Saya keliru."
"Lalu ... Eric? Kau memanggilnya hanya dengan 'Eric' saja? Atau aku yang salah dengar?"
"Sial, aku harus beralasan apa?!" batin Casey.
Casey masih memutar otaknya untuk mendapatkan alasan yang logis. Namun, pria itu telah pergi dari hadapannya. Berjalan ke arah deretan lemari-lemari tinggi.
"Sudahlah, tak perlu kau jawab. Aku juga tak peduli dengan hubungan kalian berdua."
"M-maaf, Tuan ...." lirih Casey.
Luke meraih buku tipis pilihannya, ia berjalan ke arah sofa yang tak jauh dengan Casey dan duduk manis di sana.
"Lanjutkan saja belajarnya," titah Luke seraya memakai kacamata bacanya.
Casey mengangguk walaupun pria tersebut tak melihatnya. Gadis itu kembali mencoba fokus dengan belajarnya. Walaupun fokusnya sedikit terbelah dua karena merasa tak nyaman dengan atmosfir yang ada di ruangan itu. Ia baru ingat jika Luke memang sesekali datang ke perpustakaan untuk membaca buku, terutama novel yang bisa ia jadikan acuan untuk memperdalam skill aktingnya. Karena tidak hanya menonton film, Luke memang gemar membaca novel.
Tapi memang selama sebulan Casey datang ke sana, ini pertama kalinya ia melihat Luke. Karena itu ia tak bisa menduga siapa yang datang selain Eric.
Oh, Ia juga harus ingat bahwa Noel pun gemar membaca buku. Dirinya tak boleh salah orang lagi untuk kedua kalinya.
Sudah lima halaman Casey membaca materi, tapi tak ada satu pun yang menyangkut ke dalam otaknya. Ia hanya membaca tapi tak diresapi. Ini karena dirinya sulit untuk fokus dengan keberadaan sosok pria idamannya berada satu ruangan dengannya saat ini.
"Tahan, Casey. Kau memilih rute Eric, bukan Luke," batin Casey.
Sudah pukul sembilan malam. Casey memutuskan untuk berhenti belajar sejam lebih awal. Daripada ia habiskan di perpustakaan dengan pikiran kosong. Casey merapikan buku-buku tersebut. Belum ia melangkah berjalan ke arah lemari buku, seseorang membuka pintu sedikit kencang.
Brak!
Kali ini sungguh Eric.
"Kau! Tidak bisakah kau datang tanpa membuat keributan?!" omel Luke.
Eric tak membalas omelan pria yang lebih tua darinya itu. Pandangannya fokus pada Casey yang sama menatapnya. Penampilan Eric yang sekarang sedikit berantakan ditambah napas yang terengah-engah seperti baru saja dikejar makhluk tak kasat mata.
"Eh, Luke? Kau ada di sini?" tanya Eric seraya berjalan menghampiri pria yang duduk manis di sofa berbahan beludru, tak pindah kemana pun.
"Memangnya siapa tadi yang bicara?"
"Kau."
"Jangan buat aku emosi."
"Kenapa selalu berpikir buruk tentangku sih," cibir Eric dengan nada sok sedih.
"Menjauh dariku, kau bau keringat," usir Luke seraya menutup hidungnya yang malah semakin membuat Eric mendekat ke aktor tersebut bahkan memeluknya.
Casey hanya tertawa pelan melihat keakraban mereka berdua.
Setelah puas menjahili kakak pertamanya itu, Eric berjalan mendekat ke arah Casey.
"Kau tidak diganggu olehnya, kan?" tanya Eric seraya menunjuk Luke dengan ibu jarinya.
"Omong kosong, Eric! Untuk apa aku mengganggunya," racau Luke.
Casey terkekeh seraya menggelengkan kepala. "Saya baik-baik saja, Tuan."
"Kau sudah selesai belajarnya? Ada yang mau kau tanyakan?" tanya Eric dengan penuh perhatian karena melihat meja Casey sudah bersih dari buku.
"Mungkin besok saja, Tuan. Ini sudah malam. Tuan juga baru saja pulang, saya tidak enak."
Eric mendesah kecewa, tatapannya sedikit kesal. "Hei, kan sudah kubilang tak perlu sungkan padaku."
"Saya sungguh tidak apa-apa, Tuan. Lebih baik Tuan beristirahat."
"Ini pasti karena Luke ada di sini," sindir Eric setengah bercanda.
"Kau ingin bertengkar, Eric?"
"Hah, dengar saja! Telingamu memakai bunyi ultrasonik, ya?" celetuk Eric asal. Sampai di mana sebuah buku melayang dan jatuh tepat mengenai kepala Eric.
Pelakunya yang tak lain adalah Luke.
Eric mengaduh kesakitan seraya memungut buku tersebut. "Kau sengaja ya!"
"Maaf, terpeleset." Luke mengangkat bahunya tak acuh dan kembali membaca buku.
Eric sudah ancang-ancang untuk melempar kembali buku tersebut kepada sang pemilik, tapi Casey mengusap bahu Eric dengan lembut. Berniat untuk meredakan amarah pria itu. "Sudahlah, Tuan. Tidak baik selalu bertengkar dengan saudara sendiri."
Seketika kekesalan Eric menghilang. "Baiklah, aku menurut. Kau mau kembali ke kamar sekarang?"
"Iya, Tuan."
"Oke, aku ikut."
Eric membantu Casey untuk meletakkan kembali buku-buku ke tempat semula. Luke yang sedari tadi melihat kedekatan mereka berdua merasa aneh tapi sikap tak pedulinya lebih mendominasi. Ia membiarkan kedua orang tersebut keluar dari perpustakaan meninggalkan dirinya seorang diri.
***
Hari minggu hanya Luke lah yang tetap bekerja. Mengingat pria itu sibuk dengan syuting terbarunya. Noel, Eric, dan Gabriel kini tengah asik di ruang basement aasik dengan kesibukan masing-masing.
"Kau tidak keluar, Noel?" tanya Eric memecah keheningan di antara mereka bertiga. Dirinya tetap asik dengan panah yang akan ia lempar ke papan dart berukuran lima belas inchi. Pria itu memicingkan matanya bermaksud memfokuskan pandangannya. Setelah merasa sasarannya akan tepat, ia lempar panah tersebut dan sesuai dugaan panahnya sama sekali tak meleset.
"Tidak, aku ingin menghabiskan waktu dengan adik-adikku tersayang," jawab Noel membuat Eric dan Gabriel bergidik ngeri. Pria dengan surai berwarna hitam legam itu asik bermain foosball table seorang diri, sedangkan Gabriel bermain playstation lima.
"Eric, bagaimana perkembangan belajar Gwen?" tanya Noel.
"Ada kemajuan. Aku akui dia pintar beradaptasi dan cepat belajar hal yang baru."
"Hmm, dia memang pintar beradaptasi."
"Dia juga sopan dan lucu."
Noel menghentikan gerakan bermainnya. Terkejut dengan perkataan adiknya.
"Kau menyukainya?"
"Eh?" Eric membalikkan badannya menatap sang kakak. "H-hah? Aku berkata begitu bukan berarti menyukainya, Kak!" elak Eric setelah sadar dengan perkataannya tadi.
Noel menautkan alisnya tak percaya dengan perkataan Eric. "Kau percaya dengan Eric, Gab?" tanya Noel.
"Tentu saja!" jawab Gabriel tanpa beban. Pria dengan surai blonde tersebut masih tetap asik dengan stick game dan tak tertarik dengan perbincangan kedua kakaknya.
"Sungguh?" Noel masih tak menyangka. Ia pikir Gabriel akan sama sepertinya.
"Eric sudah biasa memuji perempuan, bahkan semua mahasiswi ia deskripsikan dengan detail! Jadi aku sudah biasa mendengar ocehannya."
"Kenapa aku malah terdengar seperti pria mesum?!"
"Ya, pokoknya, sama sepertimu, Kak Noel. Selalu memuji wanita."
"Sejak kapan aku memuji wanita dengan kata 'lucu'," protes Noel tak terima disamakan.
"Ya, bukan lucu. Tapi dengan kata 'menggoda' dan 'sexy'," tambah Eric.
Noel memutar bola matanya jengah. Menahan diri untuk tak membalas perkataan kedua adiknya. "Kembali ke topik awal. Gabriel, temani aku bermain billiard."
"Jangan aku, Eric saja!"
"Gabriel," panggil Noel lagi.
"Ayolah, Kak! Aku sedang berjuang menuju kemenangan," ujarnya beralasan. Akhirnya Eric yang menjadi pasangan bermain billiard.
Noel merapikan bola-bola tersebut ke tengah meja dengan menggunakan triangle. Orang pertama yang akan maju adalah Eric. Pria itu menggosok stik billiard menggunakan kapur khusus. Setelah mengetahui ke mana arah bola yang akan ia tuju, Eric mendorong bola berwarna putih yang biasa disebut clue ball ke sekumpulan bola. Seketika bola-bola tersebut menyebar ke sembarang arah. Tiga bola lolos masuk ke dalam alhasil Eric kembali bermain sampai dirinya tak dapat memasukkan satu bola pun ke lubang meja billiard.
Eric memang ahlinya bermain billiard.
"Aku harap Gwen berhasil dalam tes masuk ke kampusmu," ujar Noel membuka suara kembali. Ia menopang dagunya pada stik billiard, jenuh karena menunggu Eric selesai bermain.
"Aku juga berharap itu, Kak."
"Kau menyukainya, aku yakin."
"Bukan begitu maksudku!"