Akhirnya Casey bisa sampai mansion dengan selamat. Dengan keringat yang bercucuran karena harus berjalan kaki dari pintu gerbang yang terbilang sangat jauh. Tenggorokannya sangat kering, ia ingin segera ke dapur untuk meminta air pada Riley atau siapa pun yang ada di sana. Dengan lemas, Casey mencoba membuka pintu tetapi sudah didahului oleh orang yang ada di dalam.
"Gwen?"
Casey langsung mendongak menatap sang pemilik suara. Matanya membulat karena ada dua pria yang berada di depannya saat ini. Ia menyeka keringatnya dengan panik lalu membungkuk hormat.
"Selamat siang, Tuan Gabriel dan Tuan Luke," sapanya ramah walau jantung berdebar.
"Siang~ Kau terlihat sangat lelah, apa kau baru saja berjalan dari luar sana?" tanya Gabriel seraya menunjuk pintu gerbang yang terlihat kecil karena saking jauhnya. Casey hanya mengangguk kecil dan tersenyum malu.
"Wow, apa kau sedang berolahraga?" tanya Luke dengan polos.
"Y-ya?"
Gabriel memukul lengan Luke pelan, merasa kesal dengan pertanyaan bodoh kakaknya. "Gwen, kudengar kau keluar bersama Eric. Tapi kenapa kau hanya pulang sendiri?"
Pertanyaan Gabriel membuat Casey panas dingin. "I—itu, tiba-tiba saya ada sedikit urusan mendadak, jadi pulang duluan," jawab Casey kikuk.
"Hmm ... apa kau tak membawa apa pun sejak awal? Ah! Jangan bilang barangmu dicuri?!"
"T—tidak! Itu, karena terlalu mendadak jadi kutitipkan pada temanku di sana ...." Casey masih beralasan. Telapak tangannya mulai basah karena keringat. Dari dulu dirinya memang sulit untuk berbohong.
"Apa kau sakit perut dan sudah tak tertahankan karena itu pulang duluan?"
"Tidak seperti itu, Tuan Gabriel!"
Raut wajah Gabriel semakin menekuk karena mencoba berpikir keras. Tatapan Luke juga sangat tajam dan menusuk walau sebenarnya ekspresi Luke memang seperti itu adanya tanpa dibuat-buat. Casey hanya ingin kabur dari mereka, rasanya seperti tertangkap mencuri dan dicurigai.
"Kalau begitu urusan mendadaknya itu apa?" tanya Gabriel lagi tak henti-hentinya. Netranya menatap Casey penasaran.
"I—itu ...."
Luke menghela napasnya berat lalu menepuk kepala Gabriel pelan agar berhenti bertanya yang menurutnya sangat tidak penting. "Apa yang dilakukan wanita ini sama sekali tak ada urusannya denganmu, Gabriel. Kau benar-benar terlalu ingin tahu," tegurnya.
Casey sedikit bisa bernapas lega karena Luke mengalihkan perhatian Gabriel.
"Tapi aku hanya penasaran!" protes Gabriel.
"Kau membuatnya tak nyaman!" Luke ikut mengomel.
"S—saya tidak apa-apa ...," cicit Casey terlalu pelan karena kedua tuannya sibuk beradu mulut tanpa mempedulikan dirinya.
"Kalau begitu, Gwen! Kau ikut kita saja!" Gabriel memegang kedua tangan Casey membuat gadis itu terbelalak kaget.
"Huh? Ikut? Ikut ke mana?"
"Ke pemotretanku! Kau pasti bosan di rumah!"
Casey mengerjapkan matanya. Gabriel masih memegang tangannya, tatapan pria itu terlihat seperti anjing cihuahua sangat imut dan sulit untuk ditolak, sedangkan Luke hanya mengurut pelipisnya. Casey perlahan melepas genggaman tuan mudanya.
"Sepertinya Tuan sangat sibuk, lebih baik segera berangkat agar tidak telat." Casey menghiraukan ajakan Gabriel sebelumnya.
"Iya! Kau ikut!"
"T—tuan! Saya tidak ada kepentingan untuk ikut bersama kalian. Saya masih banyak pekerjaan di sini," tolak Casey sehalus mungkin.
Luke memegang pundak Gabriel sedikit keras sampai adiknya mengaduh kesakitan. "Kau gila! Pundakku sakit!" protes Gabriel.
"Ayo pergi, nanti kau telat."
"Aku mau Gwen ikut!"
"Jangan konyol! Bukan saatnya kau bermain-main!"
"Huh? Memangnya kenapa? Bukankah Gwen ada untuk menghibur kita? Selalu ada kapan pun jika kita butuh?"
"Kau—"
"Menghibur?" Casey menatap kedua tuannya dengan heran. Karena perkataan Gabriel begitu ambigu.
"Maksudku, kita saling menghibur," ralat Gabriel tapi tetap membuat Casey bingung.
Sebuah Rolls Royce menghentikan lajunya tak jauh dari mereka. Luke menarik kerah belakang Gabriel agar masuk ke dalam mobil walau adiknya terus meronta tak terima. Setelahnya ia langsung menutup pintu mobil sedikit kencang agar Gabriel tak keluar lagi.
"Yang dikatakan Gabriel tak perlu kau pikirkan. Ia hanya berkata bodoh saja," ujar Luke sedikit sinis. Casey hanya tersenyum canggung saja, mulutnya tak sanggup untuk menjawab karena terlalu takut.
"Gwen! Lain kali kau harus temani aku pemotretan, ya!" teriak Gabriel lewat kaca mobil yang mulai berjalan keluar halaman mansion.
Casey hanya menatap kepergian mereka dengan menghirup oksigen banyak. Entah kenapa jika berhadapan dengan semua tuannya selalu membuat tak bisa bernapas dengan benar.
Ting!
[Aku sedang perjalanan pulang, apa kau masih sakit?]
Netra Casey membulat lebar lalu masuk ke dalam mansion dengan langkah terbirit-birit. Tidak ada yang tahu apa yang akan dilakukan Eric nanti, tapi ia harus sudah berada di kamar. Berakting bahwa dirinya benar-benar sakit di depan pria itu.
Tiga puluh menit kemudian Casey mendengar suara langkah kaki yang kian mendekat menuju kamarnya.
"Gwen!" seru Eric setelah membuka pintu dengan kencang. Casey tak meresponnya, ia tetap berbaring di ranjang dengan selimut yang menutupi hampir seluruh tubuhnya.
"Kau sungguhan masih sakit?" Eric menaruh punggung tangannya pada dahi Casey bermaksud mengecek suhu tubuh gadis itu. "Tidak panas. Kau baik-baik saja?"
"A—aku hanya sedikit pusing, Eric. Tidak demam." jawab Casey berbohong.
"Hanya itu? Apa ada lagi bagian tubuhmu yang terasa sakit?" tanya Eric. Pria itu sungguh khawatir terlihat dari raut wajahnya.
Casey menggeleng lemah. Matanya melirik pada dua kantong belanja yang dibawa Eric.
Pria itu duduk di lantai lalu mengeluarkan seluruh isi belanjaannya dengan santai.
"A—apa itu, Eric?" tanya Casey walaupun ia bisa melihatnya dengan jelas benda-benda tersebut. Berbagai macam buah, roti, cemilan, dan vitamin.
"Untukmu. Aku tidak tahu apa yang dibutuhkan orang sakit, jadi aku beli semuanya," jawab pria itu polos. Eric menyodorkan roti tawar pada Casey. "Makan ini."
"Ini terlalu banyak. Lagipula aku hanya pusing ...." Casey merasa bersalah karena mempermainkan perasaan Eric. Padahal ia berbohong tak disangka Eric akan melakukan hal serepot ini.
"Sutt, sudahlah. Sekarang bangun dulu." Eric membantu Casey untuk bangun, ia menyusun bantal di belakang gadis itu agar Casey bisa bersandar dengan nyaman. Kemudian Eric memberikan minuman berenergi untuk Casey.
Sekarang Casey benar-benar terlihat seperti orang sakit.
"Sebentar lagi dokter pribadi keluargaku akan datang, bersabarlah."
Perkataan Eric membuat Casey menyemburkan minumannya tepat di wajah tampan Eric.
"A—apa? Dokter? Kau memanggil dokter ke sini?" tanya Casey menatap horor Eric.
Eric dengan tabah mengelap wajahnya yang terkena semburan mulut Casey. Ia mengangguk seraya tersenyum manis tanpa beban.
"Aku tidak mau sakitmu berkepanjangan, jadi langsung kupanggil dokter agar bisa cepat ditindak lanjuti."
Casey ingin menangis sekarang.
"Aku sungguhan hanya pusing, demi dewa, dewi, dan sebangsanya! Eric, kau berlebihan," ringis Casey. Ia benar-benar lemas karena tingkah tuan mudanya.
"Tidak ada yang tahu! Tenang saja, dokter kita sangat handal, kau tidak perlu takut! Tidak akan disuntik, lagipula jika disuntik sakitnya seperti digigit semut, kok! Percaya padaku"
Casey ingin teriak sekencang-kencangnya karena sekarang Eric membuatnya betul-betul pusing. Ia memang tak pernah bisa menerka apa yang akan dilakukan oleh pria dengan tatapan tanpa dosa di depannya ini. Casey menekuk lututnya lalu menyembunyikan wajahnya di sana.
"Jangan menangis, Gwen! Aku selalu ada di sisimu." Eric mengelus kepala Casey dengan lembut, tatapannya sendu karena ikut merasa sakit melihat keadaan Casey sekarang.
Aku menangisi kebodohanmu, Eric.