"Gwen ... aku masih menunggumu untuk membantuku, loh," cecar Erica, pipinya menggembung terlihat imut. Karena Casey tak kunjung ada tanda-tanda membuatnya semakin dekat dengan pria yang ia sukai. Casey hanya bisa tersenyum bagai kuda, ia hampir lupa mengenai hal itu.
"Ah, iya. Kubantu, kok."
"Apa kau sebelumnya bertengkar dengan Eric? Aku tidak melihat kau berbincang dengannya dari kemarin," selidik Erica. Perempuan ini bahkan dengan cepat bisa menyadarinya.
"Tidak, kok! Aku hanya sedang sibuk akhir-akhir ini," ujarnya beralasan tetapi tetap terdengar masuk akal. Erica hanya membulatkan mulutnya berbentuk huruf O dan mengangguk. "Ngomong-ngomong, kau ingin dibantu seperti apa, Erica?"
"Kalau itu ..., hmm, bagaimana kalau dimulai dari belajar bersama?" usul Erica.
"Ide bagus, nanti kucoba mengajaknya." Erica sumringah dan langsung memeluk Casey seperti biasa. Sungguh kenapa gadis ini senang sekali bersentuhan fisik dengan seseorang, terlebih lagi dengan orang yang ia sendiri benci? Bukankah sedikit aneh, jika itu Casey ia bahkan untuk menyentuh barang sedikit pun sangat tidak mau. Sekarang pun, ia hanya bisa membiarkan Erica bertindak seperti itu padanya walau hati berteriak kesal.
"Terima kasih, Gwen! Aku mengandalkanmu!"
"Ahaha, okay ...."
***
Sebelum itu, Casey tak akan membiarkan Erica langsung memulai aksinya. Ia juga akan mencoba berbicara dengan Alan, pria yang bertabrakan dengannya sebelumnya. Menurut informasi yang ia ketahui dari buku pedoman tiap karakter, Alan sering kali menghabiskan waktunya di perpustakaan fakultas. Casey berencana untuk meminjam sebuah buku yang nantinya akan berebut dengan Alan. Ia bahkan mengorbankan makan siangnya hanya dengan sepotong roti agar bisa berlama-lama di perpustakaan.
Casey menelisik setiap sudut perpustakaan mencari pria tersebut. Gadis itu langsung bersiap posisi agar adegan selanjutnya akan terlihat alami. Casey berusaha meraih buku tebal berwarna hitam yang berada di rak tinggi kedua, tetapi karena tinggi badannya ia tak sanggup menjangkaunya. Sempat dirinya merutuk dalam hati, karena jika memakai tubuh aslinya, buku tersebut akan lebih mudah ia raih. Mengingat tubuh heroine tersebut memang lumayan mungil. Casey masih berusaha berjinjit, tetapi buku tersebut sudah diambil lebih dulu oleh Alan. Casey bersorak girang dalam hati, rencananya berhasil.
"Buku itu ...," tunjuk Casey sedikit berakting.
"Kau mau meminjam ini juga?" tanya Alan. Pria itu sedikit terkejut ketika mengetahui gadis yang ada di depannya adalah orang yang pernah bertabrakan dengannya. "Ah, kau yang sebelumnya."
"Kau mengingatnya?" tanya Casey antusias.
Alan mengangguk. "Tentu saja, kau bilang kita akan bertemu lagi."
Casey bahkan lupa pernah bicara seperti itu. Karena sudah panik dan bicara tanpa berpikir. "Ahaha, itu ... ya, tapi kita memang bertemu lagi, kan?"
"Iya, kalau begitu aku duluan," pamit Alan dengan datar. Casey mengerjapkan matanya, ia langsung menarik bagian belakang sweater Alan agar pria itu berhenti. "T—tunggu! Aku juga ingin meminjam buku itu!"
Pria itu menoleh ke belakang seraya membetulkan kacamatanya. "Tapi aku duluan yang mengambilnya," ujarnya tak mau kalah.
"Sebenarnya aku duluan yang menemukannya, tapi aku tak bisa meraihnya."
"Jadi siapa yang salah?"
"Huh? Kau mau bilang suruh siapa aku memiliki badan pendek, begitu?" sungut Casey entah kenapa merasa kesal. Alan menaikkan sebelah alisnya heran, padahal ia sama sekali tak berpikir begitu.
"Bukan aku yang bilang begitu."
"Ya, sudah. Begini saja, aku akan menunggumu selesai membaca buku itu," final Casey.
"Memang seperti itu, kan? Harus mengantri peminjam buku pertama?" sahut Alan membuat Casey tertohok. Ia merasa bodoh karena memang peraturannya seperti itu.
"Kalau begitu kau mau duduk di mana?" tanya Casey mengalihkan topik sebelumnya yang membuat malu. Walaupun pertanyaan tersebut hanya formalitas, karena ia sendiri sudah tahu tempat duduk favorit Alan adalah di ujung dekat jendela.
Alan semakin mengerutkan dahinya, semakin heran. "Huh? Memangnya kenapa? Aku tidak akan selesai hari ini juga, lebih baik kau kembali lusa."
"Apa? Itu terlalu lama!" protes Casey.
"Hei, kau lihat buku ini setebal apa?" Alan menunjukkan buku yang menjadi rebutan mereka. Casey meneguk ludahnya kasar. "Kembalilah nanti, aku akan memberitahu penjaga perpus agar setelah aku selesai, kau bisa langsung meminjamnya," final Alan tanpa menunggu respon Casey, dan langsung pergi meninggalkan gadis itu.
Alan duduk di sudut perpustakaan dekat jendela. Tempat yang sunyi karena tak begitu banyak mahasiswa lain belajar di sana. Di tempat ini, ia bisa melihat orang-orang berlalu lalang dan juga sesekali memandang gadis yang sudah ia sukai sedari lama. Sedang asiknya membaca helai demi helai buku, kursi yang bersebrangan dengannya ditarik oleh seseorang. Alan menatapnya dengan datar.
"Kenapa kau ke sini?"
"Memangnya kenapa? Apa ini tempat rahasiamu jadi aku tidak boleh?" sungut Casey seraya meletakkan beberapa buku yang ia pilih secara asal. Ia sebenarnya tidak mau mengajak debat Alan, tapi sedari tadi entah kenapa pria itu terus membuatnya kesal.
Alan mengangkat bahunya, tak peduli. "Terserah kau saja."
Selama beberapa menit mereka habiskan dengan fokus membaca. Sesekali Casey melirik Alan, ia ingin menangkap pria itu saat tengah memandang seseorang yang berada di luar jendela. Sampai setengah buku sudah Casey lewati, Alan masih fokus dengan bukunya. Casey sudah bosan dan lapar lagi. Tetapi ia tak bisa keluar dari sini sebelum bernegosiasi dengan Alan.
Di tengah menahan perut yang terus ingin berbunyi, Casey akhirnya bisa melihat Alan yang kini tengah memandang seseorang dari luar jendela. Pria itu bahkan tersenyum tipis. Casey mengikuti arah pandang Alan, dan menangkap sosok yang menjadi objek penglihatan pria berkacamata tersebut. Casey tersenyum miring.
Itu adalah Erica.
"Kau menyukai Erica?" tanya Casey tanpa basa-basi. Tentu saja hal ini membuat netra Alan membulat sempurna. Ia sama sekali tak menyangka ada seseorang yang akan menangkap basah dirinya. Bahkan tebakannya sangat tepat.
Alan memasang wajah datar kembali. "Apa maksudmu?"
"Sedari tadi kau terus memandanginya," cecar Casey.
"Aku memandang orang-orang yang berlalu-lalang." Alan masih terus beralasan. Casey tersenyum mengejek seraya memutar bola matanya.
"Aku hanya ingin memberitahu, jika kau memang suka, lebih baik kau berusaha untuk semakin dekat. Daripada menyukai dalam diam."
Alan menatap Casey dengan sinis. "Apa urusanmu? Tidak usah mengatakan sebuah omong kosong."
Casey mengabaikan perkataan dingin Alan. Ia memandang Erica yang masih asik berbincang dengan teman-temannya yang lain. "Apa kau tidak apa-apa jika ia bersama dengan pria lain? Erica sangat cantik dan mudah berbaur dengan orang lain."
"Sebenarnya apa maumu, Gwen?" tanya Alan, masih sinis. Ia tak suka ada seseorang yang tiba-tiba datang menghakimi dan seolah-olah sangat mengetahui perasaannya. Casey beralih menatap Alan dengan senang.
"Kau tahu namaku! Ahaha, tentu saja kau tahu karena aku dekat dengan Erica," ujarnya dengan senyuman manis sekaligus licik. "Tidak perlu bersikeras untuk menyembunyikannya karena aku sudah tahu. Aku bisa membantumu untuk dekat dengannya, kalau kau mau," tawar Casey.
Alan membenarkan letak kacamatanya yang turun. "Tidak perlu ikut campur."
"Cih, dingin sekali. Padahal ada orang yang baik hati ingin membantu," cibir Casey, Alan tak merespon kembali fokus pada bukunya. Walaupun pikirannya berkecamuk karena curiga wanita yang ada di depannya sekarang ini kenapa bisa dengan mudahnya mengetahui perasaannya pada Erica begitu mudah dan tepat. Alan beralih menatap Casey. "Apa ... ada pria yang disukai ... Erica?"
"Sekarang kau ingin tahu? Memangnya apa urusannya denganmu?" Casey memutar balikkan perkataan Alan sebelumnya.
"Lupakan."
"Sebenarnya aku merasa kau cocok dengannya. Jadi menurutku daripada hanya mengamati dari jauh, kenapa tidak memberanikan diri untuk lebih dekat lagi? Tidak perlu denial, aku bisa membantu. Lagipula bukankah kalian sering dijodohkan oleh anak-anak lain? Kupikir akan lebih mudah." Casey masih berusaha membuat Alan tertarik. Pria itu terlihat memikirkan apa yang dikatakan oleh Casey. Sebenarnya bukan tidak berani untuk mendekati Erica, hanya saja ia merasa dirinya sudah cukup melihat senyum gadis itu dari jauh. Ia tidak terlalu banyak berharap. Tapi setelah dipikir, jika Erica bersama dengan pria lain entah kenapa hatinya tak rela.
Di sisi lain, Casey heran kenapa pria sekelas Alan yang tak berbeda jauh dengan Eric, wajah yang tampan, pintar, cool, kenapa bisa jatuh cinta pada gadis ular seperti Erica? Apa Alan sama sekali tidak tahu kepribadian asli gadis itu? Sebenarnya Casey jadi tidak rela untuk menjodohkan mereka karena Alan terlalu baik untuk gadis itu. Namun, hanya Alan yang bisa menjadi rencana B untuknya.
"Kenapa kau sampai susah payah untuk memberitahuku?" tanya Alan ingin mengetahui alasannya.
"Tidak susah payah, kok. Aku memang senang membantu," jawab Casey pencitraan. Tentu saja perkataannya sangat berkebalikan dengan kenyataan.
"Lebih tepatnya senang mencampuri urusan orang lain," balas Alan membuat Casey seperti mendapat hujaman panah dari langit. Sangat tertohok.
Ponsel Casey menyala, ada sebuah pesan masuk dari Erica yang menanyakan posisinya ada di mana. Casey tersenyum miring, jari lentiknya aktif membalas pesan tersebut. "Erica akan ke sini. Mungkin kau bisa memulainya dari sekarang?"
"Apa?" Alan menoleh ke luar jendela, Erica sudah tak ada di sana.
"Semangat~" goda Casey seraya tersenyum manis.