Sebentar lagi kelas siang dimulai. Casey sudah mencoba menghubungi Asylin maupun yang lain. Sebenarnya ia sendiri tahu, mereka tidak akan mungkin mengangkatnya karena tidak diperbolehkan untuk membawa ponsel pada saat bekerja. Memang sebuah usaha yang sia-sia. Ia ingin menghubungi Eric, tetapi merasa tak enak akan merepotkan. Untuk kembali ke mansion, pasti tak akan sempat masuk kelas, rasanya percuma juga.
Casey benar-benar seperti maju salah mundur pun salah.
Ini gara-gara si brengsek Erica.
Sedangkan gadis itu asik tertawa bersama teman-temannya.
Casey mencengkram ponselnya dengan kuat, dari belakang ia emancarkan aura kebencian pada Erica. Ingin rasanya mempermalukan gadis ular itu sekarang tapi ia harus menahannya sampai waktunya tepat.
Lalu sekarang Casey harus apa? Meratapi nasibnya? Lebih baik ia tak masuk kelas saja. Benar, Casey tak perlu sesusah payah itu untuk belajar di dunia fiksi ini. Meninggalkan kelas hanya sekali tak membuatnya langsung dikeluarkan dari kampus hebat ini. Casey meraih tas ranselnya, memutuskan untuk pulang saja. Tugas yang ia kerjakan sampai larut malam itu ternyata tidak berguna.
"Kau mau ke mana?" cegah Laura menahan kepergian Casey.
"Pulang," jawab Casey sekenanya. Tatapannya datar.
"Keluargamu tak bisa membawa tugasmu ke sini?" tanya Laura, Casey meresponnya dengan gelengan kepala. Laura melirik ke arah Erica dengan kesal, bisa-bisanya perempuan itu bertingkah seolah tak ada yang terjadi. Apalagi Erica membawa namanya untuk menjebak Casey. Laura beranjak menuju perkumpulan perempuan itu, tetapi Casey menahannya seraya menggelengkan kepala seolah mengatakan 'jangan' padanya.
Laura menghela napasnya berat. "Apa tidak ada solusi lain?"
"Sudah tidak ada cara lain. Lagipula hanya sekali aku absen, jadi kupikir tidak apa-apa," balas Casey seraya tersenyum tipis. Tidak mau membuat Laura khawatir.
"Bukan begitu-"
"Sudah, ya." Casey menepuk bahu Laura pelan sebelum meninggalkan kelas.
Sampai akhir pun Erica tak menyadari bahwa dirinya sudah tak berada di kelas itu. Entah tak sadar atau memang tak peduli. Persetan dengannya. Casey menghela napasnya panjang, mengumpulkan stok sabarnya kembali. Berkali-kali mengatakan pada dirinya sendiri bahwa perjalanan masih jauh, emosinya tak boleh meledak sekarang.
Baru melangkahkan kakinya sekali, seseorang berdiri di depannya, menghalangi jalan Casey. Casey mengerutkan dahinya dengan kesal, sekarang dia sedang dalam kondisi buruk, siapa pun yang ada di sekitarnya akan terkena amukan darinya. Lagipula jalanan sangat luas, kenapa orang ini harus berada tepat di depannya?! Casey sudah siap mengamuk, ia mendongak ingin tahu siapa orang menyebalkan yang menghalangi jalannya.
"Minggir-" Casey tak melanjutkan bicaranya, netranya membulat ketika melihat sosok tersebut ternyata-
Eric.
"E-eric?"
Pria itu hanya tersenyum manis. Semilir angin meniup helai surai coklat Eric dengan lembut. Casey tak bisa memalingkan wajahnya ke mana pun selain sosok pria di depannya sekarang. Hanya satu kata yang ia pikirkan. Tampan. Wangi parfum mahal selalu tercium dari tubuh Eric, wangi shampoonya bahkan masih ada.
Casey bisa mabuk dibuatnya.
Eric ingin tertawa melihat raut wajah Casey sekarang. Pria itu melambaikan tangannya di depan Casey untuk membuyarkan lamunan gadis itu.
"Gwen?" panggilnya.
Casey mengerjapkan matanya lalu menggelengkan kepala dengan cepat. "Y-ya? Ada apa?"
"Kau tahu ini?" tanya Eric seraya menunjukkan tas tabung milik Casey. Netra Casey membulat lalu mengambil benda tersebut. Benda yang ia permasalahkan sedari tadi!
"Kenapa bisa ada padamu?" Casey memeluk tas tabung tersebut. Ia mengaduh kesakitan ketika Eric nenyentil dahinya pelan.
"Kenapa juga kau meninggalkan barang sepenting ini?" omel Eric.
"Aku tidak-"
"Dean tak pernah absen kelas. Sepenting apapun urusan dia, ada bencana, naga turun dari langit sekali pun, ia tetap akan hadir di kelas," racaunya lagi. "Jadi jangan sampai kau tak membawa tugasnya lagi."
"Kenapa ... kau bisa tahu?" tanya Casey terharu.
"Sudah tak perlu pikirkan hal yang tak begitu penting." Eric mengerutkan dahinya ketika sadar Casey sendirian tanpa Erica dan membawa tas. "Kau mau ke mana? Di mana Erica?"
Casey hanya menggeleng, enggan untuk menjawab.
"Kau ... mau pulang? Jangan bilang kelasnya sudah selesai?" selidik Eric.
"Belum, kok. Sebentar lagi akan dimulai," jawab Casey membuat Eric menghela napasnya lega. "Terima kasih, Eric. Kalau kau tak datang, sebenarnya aku sungguhan akan pulang."
Eric menyentil dahi Casey lagi, gadis itu hanya bisa meringis. "Kau kan bisa menghubungiku jika butuh bantuan."
"Aku tak enak-"
"Sudah berapa kali kubilang tak perlu sungkan, Anak nakal," omel Eric seraya mencubit pipi Casey karena gemas. Casey memukul lengan tuan mudanya itu pelan agar melepas cubitan tersebut.
"T-tuan, ini di luar," ringis Casey. Walaupun koridor kini tak ada siapa pun, tetapi tetap Casey takut seseorang melihat interaksi mereka.
Gadis bersurai pendek berwarna biru laut memandang mereka dari kejauhan. Tangannya terkepal kuat. Ia tak bisa mendengar dengan jelas percakapan mereka, tetapi hanya melihat interaksi Eric dan Casey saja tentu membuat dirinya kesal. Setelah menyadari Casey tak berada di kelas dan tasnya pun sudah tak ada lagi di mejanya, ia tersenyum puas karena merasa sudah berhasil menjebaknya. Namun, kenyataan yang ia lihat sekarang malah membuat api di dadanya semakin bergejolak.
Sebelumnya Erica hanya ingin ke kamar mandi, tetapi langkahnya terhenti ketika melihat mereka berdua dan memutuskan untuk mengintip. Gadis itu mengigit bibirnya, menahan kesal. Erica melangkahkan kakinya mendekat ke arah Casey.
"Gwen?" panggilnya. Casey dan Eric langsung menoleh.
"E-erica?"
Erica melirik pada tas yang dipeluk oleh Casey. "Apa tugasmu sudah ada?" tanyanya retoris. Casey mengangguk sedikit ragu, menerka apa yang akan dilakukan lagi oleh Erica. Jantungnya sedikit berdebar karena takut Erica mendengar apa yang dibicarakannya sedari tadi dengan Eric.
Netra Casey membulat ketika Erica memeluknya dengan erat. "Syukurlah! Aku ikut lega, kau tahu aku sangat khawatir dan merasa bersalah," ujar Erica dengan mata berkaca-kaca.
"Ah, mulai lagi akting gilanya ...," batin Casey ingin rasanya melempar Erica ke luar jendela.
"Merasa bersalah? Memang ada apa?" tanya Eric bingung.
"Bukan apa-apa. Hanya ada sedikit kesalahpahaman." Casey tersenyum tipis. Ia tak mau semakin panjang urusannya, dan sudah terlalu muak untuk mengungkit bagaimana ia bisa tertipu gadis ular ini.
Erica mulai melepas pelukannya pada Casey. "Ngomong-ngomong, Gwen, siapa yang membawa tugasmu ke sini?"
"Ah, itu ...," Casey mengigit bibirnya, bingung mencari alasan yang tepat. Eric yang sadar akan sikap gugup Casey, pria itu mengulas senyum tipis.
"Aku dititipkan oleh seorang pria yang ada di depan gerbang, ia bilang ini milik adiknya tertinggal di rumah. Jadi aku yang menawarkan untuk membantu, ternyata ini milik Gwen," sahut Eric mengambil alih. Begitu santai menjawabnya tanpa ada keraguan. Sampai Casey terkesima dibuatnya, dalam hati, Caseymengeluarkan jempolnya dan mengucapkan 'good job!' pada Eric.
"Begitu rupanya. Senior memang baik, terima kasih sudah menolong Gwen!" ujar Erica seraya tersenyum sangat manis.
"Tidak masalah. Kalau begitu aku duluan, kalian semangat kelasnya! Jangan ada lagi yang lupa tugas, okay?"
Casey dan Erica mengangguk mengerti. Setelahnya Eric pamit seraya melambaikan tangannya meninggalkan kedua gadis tersebut.
Kini tinggal berdua. Ia dan Erica. Casey tak mau banyak bicara pada gadis bersurai biru laut itu, ia berbalik berjalan mendahului Erica tanpa sepatah kata pun.
"Gwen," panggil Erica.
Casey menghentikan langkahnya tanpa berbalik menatap gadis itu. Menunggu Erica berbicara lagi.
"Gwen, sepertinya kau sangat dekat dengan Eric," ujarnya seraya merangkul lengan Casey dengan manja.
"Tidak, kok. Biasa saja."
"Jangan bohong~ Aku bisa melihatnya. Kau sungguh hanya berteman dengannya?"
Casey menoleh, memandang lurus mata berwarna charcoal milik Erica. Casey sudah tahu apa yang diinginkan oleh gadis di depannya ini. Kedua sudut bibirnya mulai terangkat, Casey tersenyum tipis. "Aku sungguh hanya berteman dengan Eric, Erica."
Mendengar hal itu, Erica melepas rangkulannya lalu menyelipkan beberapa helai rambutnya yang sehalus kain sutera itu ke belakang telinganya. "Kalau begitu, bisakah aku meminta bantuanmu?"
"... Apa?"
"Aku menyukai Eric. Bisakah kau membantuku agar bisa lebih dekat dengannya?"