Chereads / Are you here? / Chapter 7 - Bab 7

Chapter 7 - Bab 7

Semakin lama hawa dingin menyerang dan mulai menusuk tubuh Agatha. Ia yang hanya berlapiskan baju tipis dan celana seadanya, langsung bangkit mencoba memberi penghangatan bagi tubuhnya.

"Ini aku ada dimana? Bagaimana bisa ada dunia seperti ini di balik pintu tadi? Jangan-jangan Bibi Lisa yang membuat dunia ini? Eh astaga, itu sangat tidak mungkin! Come on Agatha, berpikir logis lah!" monolog Agatha.

Di balik kebingungan yang melanda pikiran Agatha saat ini, Agatha pun mengedarkan pandangannya demi melihat betapa luas dan indahnya dunia ini. Walaupun udaranya sangat dingin bahkan bersalju, ia masih tetap bisa merasakan euforia keindahan dunia ini.

Entah apa namanya dan entah kenapa bisa ada dunia di balik pintu ruang perpustakaan milik Bibi Lisa. Semuanya tidak terdengar masuk akal, tapi ketika Agatha melihatnya dengan jelas, barulah Agatha dapat menyimpulkan. Bahwa dunia ini adalah keajaiban dan kemustahilan yang mungkin!

"Haduh dingin, tapi indah banget. Jalan-jalan sebentar gapapa kali ya? Iya gapapa, cuman sebentar aja kok. Setelah itu balik." ujar Agatha pada dirinya sendiri.

Dengan baju seadanya, ia merapatkan tubuhnya sembari berjalan pelan-pelan. Di tengah lautan salju yang menjulang di depan, ditambah ia hanya memakai sandal biasa dapat dipastikan bagaimana menggigilnya tubuhnya, terlebih kakinya.

Baru saja melangkahkan kakinya, Agatha kembali mengeluhkan suhu dingin di sekitarnya, "Gila, dingin banget euy. Mana sendirian nggak ada orang."

Tepat disaat Agatha mengeluarkan suara, datang seseorang dari arah lain. Ia terlihat membawa beberapa barang bawaan, yang sayangnya Agatha tidak melihat orang itu. Alhasil terjadilah aksi pertemuan yang tidak diinginkan keduanya. Tubuh mereka saling membentur satu sama lain yang akhirnya membuat keduanya jatuh, termasuk barang-barang yang dibawa oleh orang itu.

"Astaga." ucap keduanya serempak.

Keluhan akibat kejadian itu menyusul kemudian. Keduanya mengaduh kesakitan. Hingga akhirnya, Agatha menyadari bahwa yang ia tabrak adalah seorang kurcaci bukan manusia pada umumnya. Namun perawakannya terlihat manis dan Agatha rasa kurcaci itu punya sifat yang ramah. Dan ya.... Hal itu terbukti.

"Astaga, apakah kamu baik-baik saja? Maaf aku sedang terburu-buru, hari semakin larut. Oh iyaa, kamu asal mana? Aku tidak pernah melihat ada seorang manusia di dunia Adney." tanya kurcaci itu.

Agatha tersenyum sekilas, "Ah, aku baik-baik saja. Aku tinggal di balik pintu itu. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku bisa ada disini. Astaga aku hampir lupa. Perkenalkan, aku Agatha. Dan kamu?" ujar Agatha memperkenalkan diri dan tidak lupa mengangkat satu tangannya untuk berjabat tangan-basa basi itu penting kan?-.

"Aku Leon. Sepertinya akan bahaya kalau kita berbincang disini. Kamu mau mampir ke rumahku? Atau agar kamu lebih aman, sebaiknya kamu langsung pulang saja." saran Leon.

Agatha mengeryitkan keningnya, tanda ia masih kebingungan dengan situasinya saat ini.

"Ehm, aku rasa mungkin aku bisa mampir ke rumahmu sebentar Leon. Tapi mungkin tidak bisa lama-lama. Aku juga penasaran dengan dunia ini. Maukah kamu menceritakannya?" tanya Agatha jujur.

"Tentu. Tapi kita harus cepat, karena banyak mata-mata Ratu Elena disini."

Leon pun langsung menggamit lengan Agatha sambil membawa barang bawaannya. Saat itu, Agatha tidak banyak bertanya maupun bicara. Walaupun sebenarnya ia semakin dibuat bingung oleh pernyataan Leon. Akan tetapi, toh rasa penasarannya akan terbayar setelah ini. Jadi Agatha hanya terdiam sepanjang perjalanan dan berusaha mengikuti langkah Leon secepat yang ia bisa.

Tak butuh waktu lama untuk Agatha dan Leon tiba di rumah kecil milik Leon. Agatha sempat dibuat kagum sejenak oleh penampakan rumah Leon. Walaupun Leon seorang kurcaci, namun rumah miliknya terbilang cukup besar untuk ukuran seorang kurcaci.

"Hei, ayo cepat masuk. Sebelum ada yang melihat kita." ujar Leon mengingatkan.

"Eh, oh iya. Ayo." ucap Agatha linglung.

Beberapa detik kemudian, akhirnya mereka sudah benar-benar aman dari dunia luar. Rumah yang Leon tinggali terlihat nyaman untuk ditempati. Ada beberapa jajaran bingkai berisi foto yang terletak di atas nakas dekat perapian.

"Itu aku dan keluargaku. Kalau kamu mau tahu sih hehe." celetuk Leon tiba-tiba.

Agatha tersenyum antusias, "Oh iyaa? Kau yang mana?"

"Iyaa benar. Oh, aku yang memakai baju coklat itu, persis di dekat ayahku." jawab Leon.

"Dimana keluargamu sekarang?" tanya Agatha ingin tahu.

Leon mendadak tersenyum pilu, kepalanya menunduk seperti tak ingin memberi tahu. Melihat itu, Agatha merasa bersalah. Ia sadar, sepertinya ia salah bicara.

"Maaf Leon. Kau boleh kok tidak menceritakannya jika memang tidak ingin membahas hal itu. Nggak papa, tidak perlu dipaksa. Maafkan aku yang tak tahu malu ini." ujar Agatha.

"Tidak apa-apa. Hanya saja aku masih teringat dengan keluargaku. Keluargaku mati di tangan Ratu Elena. Aku menyesal, karena nggak bisa menyelamatkan mereka. Andai saat itu aku nggak pergi, aku pasti bisa menyelamatkan mereka."

Suara Leon kian melemah. Isak tangisnya mulai terdengar dan itu cukup menyakitkan bagi siapapun yang mendengarnya. Termasuk Agatha. Agatha bisa merasakan rasanya kehilangan keluarga yang disayang, karena Agatha sendiri juga merasakannya. Namun Agatha tidak ingin menyela pembicaraan Leon, sebab Agatha tidak ingin mengacaukan suasana yang tercipta. Ia memilih membiarkan semuanya mengalir agar perasaan Leon bisa lega dan tenang setelahnya.

"Aku, aku kangen mereka Agatha. Bahkan aku nggak sempat mengucapkan selamat tinggal saat itu. Malam sebelum Ratu Elena membunuh keluargaku, aku sedang pergi merantau untuk mencari keberadaan Penyihir Aldric. Kenapa aku mencarinya? Karena hanya Penyihir Aldric yang bisa menyelamatkan dunia Adney." ungkap Leon pilu.

Air matanya berderai, ia sangat rapuh. Akhirnya, Agatha mengeluarkan satu pack tissue yang selalu ia bawa kemana-mana. Ia serahkan selembar tissue agar Leon bisa menggunakannya untuk mengusap air matanya.

"Kenakanlah." titah Agatha, menyerahkan selembar tissue ke Leon.

Leon pun menerimanya dan langsung menggunakannya. Kemudian Leon melanjutkan ceritanya kembali.

"Sayangnya, sampai saat ini tidak ada yang tahu dimana Penyihir Aldric berada. Padahal Penyihir Aldric adalah satu-satunya harapan bagi kami untuk melawan pasukan jahat Ratu Elena dan Ratu Elena sendiri. Dan waktu aku kembali yang aku temukan hanyalah jasad keluargaku. Persis di depan mataku. Disaksikan warga Adney yang lain. Tapi nggak ada yang bisa membantu soalnya Ratu Elena sudah mengancam kami. Jika kami melanggar ancamannya, maka kamilah yang akan dibunuh."

Waktu mendengar cerita yang disampaikan oleh Leon, Agatha tidak bisa bernapas. Ia merasa kasihan sebab semuanya terdengar sangat menyakitkan. Apa yang warga Adney alami kurang lebih sama dengan apa yang Agatha, Erick dan Aaron alami. Orang-orang yang tak bersalah akan mati di tangan penguasa yang egois. Hingga tanpa sadar, air mata Agatha pun luluh lantak saat itu juga. Oh ayolah, ini semua sangat menyakitkan!

"Astaga, aku tau ini pasti menyakitkan Leon. Tidak apa-apa kalau kamu ingin menangis, keluarkan saja semuanya. Luapkan apa yang kamu rasain saat ini. Ayo, aku akan menemanimu menangis." ujar Agatha tulus.

Leon terenyuh, akhirnya tangisnya semakin keras. Ia benar-benar meluapkan semua perasaan menyakitkan yang ia pendam selama ini sendirian. Namun tak lama setelah itu, suara ketukan pintu mengagetkan keduanya.

Tok tok tok

"Open the door, Leon! Hurry up!" titah seseorang di balik pintu.

Tubuh Agatha dan Leon langsung menegang, meraka takut.

"Astaga Leon, siapa itu?"