Chapter 4 - 3 | Nervous

"Mr. Delwyn Stewart." Seseorang mengumumkan namanya. Derap langkah menggema di ruangan, sebab hanya ada suara percikan air yang menyela sesekali. Ruangan ini jauh dari keramaian, lampu-lampu dimatikan dengan cahaya redup lilin yang berusaha untuk menjamah setiap sudut bagian ruangan. Dia duduk di atas kursi rotan. Matanya menerobos kegelapan di depannya, menatap pria yang duduk setengah tidur di atas ranjang besar pojok dinding.

"Hipersensitivitas Elektromagnetik atau EHS ... Anda menginap penyakit itu." Dia menyerahkan selembar kertas diagnosis. Menyertakan nama pria yang menerimanya dengan separuh hati. Penyakit gila ini menghalangi segala aktivitasnya.

"Aku harus menjauh dari medan elektromagnetik untuk sementara waktu?" Ia menegaskan. Suaranya berat, menyeru di ruangan. Ia sudah berada di tempat ini selama satu minggu terakhir, keadaannya tak bisa diketahui oleh publik, apalagi orang yang berniat untuk merebut jabatannya. Namun, ia juga tak bisa selamanya bersembunyi seperti ini. Nyatanya, dia adalah pemimpin sebuah cabang perusahaan big data yang diketuai oleh ayahnya sendiri, Mr. Halmet Stewart.

"Aku tak bisa selamanya begini." Ia menyanggah. Kepalanya menggeleng dengan cemas. "Aku harus kembali ke perusahaanku. Aku tak bisa membiarkan orang lain mengelolanya."

Pria itu berdiri. Membenarkan jas hitam yang ia kenakan. Sepersekian detik berlalu, gagang pintu terbuka, celah cahaya masuk merambah dari sana. Seorang pria bertubuh sedikit gempal datang menghalangi cahaya. Menutup pintunya lagi tatkala masuk ke dalam ruangan. Pengap, udara hanya berasal dari ventilasi kecil yang dibatasi.

"Kau sudah mirip tahanan kota, Nak." Dia tertawa, melucu pada sang putra. "Kau boleh pergi, Garrick. Aku yang akan menangani putraku."

Pria yang dipanggil Garrick mengangguk, membungkukkan badannya lantas pergi meninggalkan bosnya keluar ruangan. Sekarang hanya ada Delwyn dan sang ayahanda. Keduanya bukan dua pria yang akur dalam segala macam bentuk keadaan. Wajar saja, pak tua ini bukan ayah yang sepenuhnya baik untuk Delwyn. Kadang kala, ia begitu membenci ayahnya selepas kematian ibunya.

"Aku menyiapkan tempat untuk dirimu." Ia mengeluarkan sebuah amplop kecil berwarna cokelat pekat untuk sang putra. "Kau tak bisa selamanya tinggal di sini seperti tahanan kota. Kau harus segera sembuh sebelum peresmian perusahaan bulan depan." Ia menuturkan. "Aku tak ingin semuanya kacau sebab kau kambuh seperti orang gila, Delwyn."

Delwyn menerima itu. Jari jemarinya ragu dengan tatapan mata yang terus was-was. Tidak, ayahnya tak mungkin membunuhnya atau melakukan hal jahat yang lain.

"Tempat apa ini, Dad?" Delwyn mengerutkan keningnya. Foto-foto bangunan yang sepi. Lahan hijau yang luas tanpa ada keramaian di sana. Jarak satu rumah dengan rumah yang lainnya pun tak berjejal, seperti di desa jauh dari padatnya pusat kota.

"Green bank?" Delwyn mengeja. "Virginia?" Ia mengerutkan keningnya. Tempat yang cukup jauh, bukan hanya dari akses pusat kota, tempat ini jauh dari segalanya.

"Di sana tak banyak listrik atau semacamnya. Kau bisa menyembuhkan semuanya di tempat itu."

"Kita tak punya akses perusahaan sampai ke sana, Dad! Aku juga tak akan tinggal di gubuk tua dan rumah reyot! Aku tak bisa melakukannya." Delwyn menolak mentah-mentah ide sang ayah. Pria tua itu sudah gila. Mengirim Delwyn ke tempat seperti itu sama halnya dengan membawa Delwyn pada sebuah kematian yang dipaksakan.

"Kau akan tinggal dengan layak dan akses terbesar perusahaan ada di sana, Delwyn."

"What do you mean?" Delwyn mengangkat kedua bahunya. "Aku pernah mendengar tentang Green Bank, jadi jangan mencoba untuk menipuku. Di mana aku akan tinggal? Kau menginginkan aku hidup miskin setelah semua yang aku lakukan?" Delwyn bangkit dari tempat duduknya. "Di mana aku akan tinggal, huh?" tanyanya lagi mengulang.

••• Luxuria's Penthouse •••

"Luxuria's Penthouse." Ia membuka catatan kuno. Mencocokkannya dengan beberapa bagian yang hilang. Inilah kitab yang paling dicari oleh ilmuan di sepanjang Amerika. Penemuannya Althea-lux yang menggemparkan pada masanya. Di dalam catatan kaki, sumber Althea-lux berasal dari seorang penulis tanpa nama. Keberadaannya tak pernah diketahui sejak Beratus tahun silam. Hanya ini yang ia tinggalkan. Reruntuhan bangunan tempat kitab Althea-lux ditemukan tak pernah bisa dijamah oleh orang di luar sana. Aksesnya dibatasi oleh para ilmuan.

Phospenes Laboratory adalah tempat penelitian benda sejarah terbesar di Washington DC, Amerika Serikat. Tempat agung yang dibangun di tengah padatnya kota ini adalah milik seorang wanita bernama Dr. Areeta Bellanca. Siapa sangka dialah yang keturunan terakhir dari ilmuan kuno yang menemukan kitab Althea-lux untuk pertama kalinya. Selama bertahun-tahun, ilmuan memulai perdebatan mereka pasal kitab ini. Catatan kuno, kode dan sandi rahasia, gambar-gambar aneh serta segala macam bentuk tradisi dan penyembahan pada apa yang tak disebutkan secara jelas, telah menyita banyak waktu ilmuan untuk segera menjelaskannya.

Namun, semuanya nihil. Tak ada petunjuk apapun selama waktu berlalu. Jalan buntu selalu ditemui di akhir penelitian. Hingga pada akhirnya, laboratorium besar ini membuat sebuah tim dan tempat khusus untuk menafsirkan semuanya. Oblivien yang ada di ruang bawah tanah dengan sandi dan hak akses khusus adalah tempat pengkajian dari Althea-lux. Berbagai macam bentuk kesimpulan ada di dalam ruangan itu. Akan tetapi, kembali lagi ... tak ada satupun yang bisa memecahkannya hingga sekarang.

"Luxuria's Penthouse ... kira-kira di mana tempat itu berada?" Ia mengulang kalimatnya. Hanya tempat itu yang bisa diterjemahkan dalam bahasa modern. Sebuah tempat yang dideskripsikan dalam kitab sebagai tempat paling indah dalam sejarah surga dunia yang pernah dibangun oleh manusia. Apapun bisa dikabulkan di dalam tempat itu.

"Kenapa penulisnya mengatakan bahwa kita tak bisa menjamah tempat itu bagaimanapun caranya?" Ia menggigit ujung kukunya. "Jika manusia tak bisa menjamahnya, lalu bagaimana penulis ini menuliskan semua yang ia tahu?" Ia menatap ujung ruangan. Layar besar ada di sana. Kajian-kajian tentang benda-benda kuno coba dicocokkan satu persatu, meksipun sejauh ini tak ada hasil yang memuaskan.

"Bagaimana jika itu semua hanya ilusi seseorang saja?" Wanita sepantaran usia dengannya menyahut. Membuat rekannya menoleh dan menatapnya dengan aneh. "Maksudku ... bagaimana jika penulisnya adalah orang gila yang ingin mempermainkan kita?"

"Kakek buyutku mati-matian ingin menerjemahkan kitab ini, kau pikir itu hanya lelucon?" Lagi! Perdebatan di mulai. Dr. Areeta Bellanca tak pernah bisa akur dengan rekan sekaligus saudaranya ini. Pikiran mereka jauh berbeda. Namun, hanya wanita berambut ikal inilah yang bisa diajak berkerjasama. Ilmuan modern lebih suka mengkaji pasal perkembangan teknologi atau semacamnya, memecahkan benda yang datang dari sejarah penuh misteri adalah hal yang paling membosankan. Tak ada yang bisa dilakukan selepas semuanya terungkap bukan?

"Kita harus memecahkan ini dan mengetahui apa isinya, juga apa yang sebenarnya dicari kakek buyutku dalam kitab ini sehingga dia mempertaruhkan seluruh hidupnya demi kitab sialan satu ini," tuturnya dengan tegas.

... To be continued ...