"Itu adalah Ogirth." Daeva memulai kalimatnya. Singkat, tak ada penjelasan apapun lagi selepasnya. Delwyn pun berdiri mematung, dia mirip orang kikuk sekarang. Mulutnya ternganga lebar. Membentuk O bulat sempurna, sebab ia baru saja dibuat terheran-heran dengan apa yang ditampilkan di dalam layar.
"Itu adalah matra yang dirapalkan untuk menolak iblis datang dan memenjarakannya di dalam satu tempat." Daeva mengubah tampilan layar. Menggesernya dengan menggunakan jentikan jari. Sekarang wajah Areeta ada di dalam layar, biodata singkat menemani foto wanita cantik itu. "Kekasihmu menyegel kitab itu. Jadi aku tidak bisa menyentuhnya." Daeva menoleh. Ditatapnya Delwyn yang diam, membisu. Tak tahu harus bilang apa sekarang. Ia seorang pebisnis. Pikirannya hanya diprogram untuk melakukan hal-hal dengan dasar teori yang jelas. Namun, sekarang ini ia sekarang dipaksa untuk mendengarnya dongeng nenek moyang.
"Jadi aku harus bagaimana? Aku tidak mengerti sedikitpun apa yang kau katakan. Aku disekap di tempat ini selama tiga hari, tanpa aku tahu bagaimana dan di mana jalan keluarnya sekarang."
Wanita itu tersenyum tipis.
"Aku sudah tidak mandi dan tidak makan selama tiga hari. Kau pikir aku cenayang?" Delwyn mulai emosi. Ia berjalan mendekat ke arah Daeva. "Aku tidak tahu dan aku tidak mengerti siapa dirimu. Sejauh apapun kamu menjelaskan pasal Althea-lux atau Ogirth, aku tidak akan mengerti."
Daeva masih kokoh dalam senyum di atas bibir merah maroonya. Ia paham dengan benar, bagaimana perasaan Delwyn sekarang. Tak ada manusia yang bisa memahami ini.
Daeva kembali menjentikkan jarinya. Merapalkan mantra yang memanggil seluruh angin untuk datang masuk ke dalam ruangan. Suasana berubah begitu saja. Bayangan gelap datang, seakan melahap tempat mewah ini. Delwyn mulai kebingungan bukan main. Tubuhnya berputar, dengan pandangan mata yang berkeliling. Menatap sekitarnya yang mulai menjadi asing.
Barang-barang mulai bergetar hebat, seakan ada gempa. Lantai pijakannya berubah menjadi gurun pasir yang gersang. Lembah dan perbukitan di sisinya muncul perlahan-lahan dari dalam tanah, menggantikan dinding kokoh di sekitarnya. Atap dengan lampu mewah yang menggantung seakan habis dilahap awan hitam di atas mereka sekarang.
Delwyn terkejut bukan main saat melihat dua cacing besar muncul dengan kepala penghisap yang menjijikan, seakan mengawal satu wanita yang diikat membentuk X di atas papan kayu di depannya sana. Delwyn mengerutkan keningnya. "Wajahnya ...." Ia mengerutkan keningnya. Jari telunjuk pria itu kini mengarah pada Daeva. "Wajahnya mirip denganmu. Itu kau?"
Daeva menyilangkan tangannya di belakang punggung. Berdiri menatap penyiksaan yang diberikan alam untuk wanita di depannya.
"Daeva! Dia saudara kembarmu?" Delwyn mulai panik saat tubuh wanita itu dililit cacing besar di depannya. Lendir yang keluar dari mulut penghisap itu seakan ingin membanjiri tempat dia berdiri. "Tolonglah dia! Dia bisa mati!"
Mata Daeva menatap Delwyn. Pria itu baru saja ingin melangkah, untuk membantunya. Namun, kaki Delwyn seakan menyatu dengan gurun pasir di bawanya. "Itu aku," ujarnya tiba-tiba. Delwyn merinding mendengar hal itu. Bulu kuduknya berdiri dengan kompak. Matanya diam dalam satu titik, memandang wajah Daeva dengan penuh keseriusan.
"Kau ...." Delwyn tak bisa berkata-kata lagi. Teriakan wanita itu menggunggah rasa iba di dalam dirinya. "Kau benar-benar ...." Delwyn menghela napasnya. Suara minta tolong memenuhi kepalanya. Ia sekuat tenaga untuk menarik kakinya. Menolong wanita di depannya itu, tak peduli siapapun dia. Ia tak tega, saat ular-ular yang entah dari mana datangnya, seakan mencambuk habis tubuh wanita itu. Darah membasahi gaun putihnya. "Daeva, please! Dia bisa mati."
Daeva melirik ujung pergelangan kaki Delwyn. Di saat yang bersamaan, kakinya lepas. Bisa bergerak dengan leluasa. Melihat itu, Delwyn lantas berlari menerjang badai di depannya. Jujur saja, dia takut bukan main. Cacing, ular, dan bayangan hitam yang menyiksa wanita itu habis-habisan, terlihat benar-benar mengerikan. Jauh lebih mengerikan dari film psikopat yang ia tonton bersama Areeta bulan lalu.
Petir menyambar jalan Delwyn. Pria itu ambruk tersentak ke belakang.
"Dia tidak nyata," ujar Daeva. Tiba-tiba saja wanita itu sudah berdiri di sisi Delwyn. "Semuanya tidak nyata," ucapnya lagi menegaskan. Daeva mengerakkan jari jemarinya memutar dengan sempurna. Jari-jemari itu seakan melahap hujan, badai, dan petir yang mengamuk. Angin mulai tenang, pasir di bawahnya tak lagi mengudara.
Daeva menoleh ke arah wanita itu. Benar, ini adalah ilusinya. "Itu ada aku hampir seribu tahun yang lalu."
"Are you a goblin?" Delwyn menebak dengan asal. Mencoba mengatur napasnya yang terengah-engah.
"Aku adalah Daeva." Daeva menyahut. "Aku sama seperti kalian hampir seribu tahun yang lalu. Aku adalah manusia biasa. Aku seorang pejuang dari sebuah negara asing yang akhirnya menduduki wilayah Amerika. Aku dihukum di tanah Sheol di hari kematian dan kekalahanku dalam perang."
Kalimat Daeva mulai menghilangkan semua ilusi ini. Satu persatu lembah dan perbukitan di sisinya menghilang, berubah menjadi dingin yang tinggi dan ruangan yang mewah.
"Kenapa kau dihukum?" tanya Delwyn. "Jika kau adalah pejuang, maka seharusnya kau mati dengan tenang dan dikenang."
Daeva berjalan mendekati kursi sofa besar di tengah ruangan. Duduk di sana dengan rapi. "Aku adalah seorang pesuruh. Bosku menjadikan aku sebagai anjing gila yang menggonggong dan menggigit siapa pun yang aku anggap sebagai musuh. Aku melakukan pembunuhan, pencurian, dan segala macam bentuk kejahatan."
"Tuhan menghukum karena itu dan membuatmu hidup selama berabad-abad begini?"
"Jika memang begitu, maka akan banyak orang yang dihukum dan diberi kehidupan abadi yang menyebalkan. Dunia tak bisa berjalan seperti itu."
Daeva tersenyum manis. Melirik Delwyn yang kini bangun dari tempatnya. Ia berjalan mendekati Daeva. "Tujuh dosa manusia. Semua poin penting punya batasannya, Delwyn. Doa yang dikirimkan oleh manusia kepada manusia yang mati, akan mengurangi dan meringankan semua beban dosa yang diambilnya selama hidup di dunia."
"Doa-doa itu adalah pengurangan yang paling berharga di dalam penghakiman yang dilakukan di Tanah Sheol."
Delwyn memberi tatapan mata yang teduh dan lunak. "Kau membawaku pergi ke alam bawah sadarku lagi tadi?"
Daeva menggelengkan kepalanya. "Itu adalah Tanah Sheol. Tanah penghakiman untuk para pendosa yang tak diterima di neraka maupun di surga. Itu bisa menjadi anugerah juga bisa menjadi malapetaka yang tak tiada ujungnya."
"Kau dihakimi di tempat itu, Daeva?" Kini Delwyn mulai mengerti dengan alur hidup wanita ini. "Orang yang menghakimi dirimu itu adalah yang mereka sebut sebagai Tuhan?"
Lagi-lagi kepalanya menggeleng dengan ringan. "Aku membuat sebuah perjanjian dengan Sang agung, Loralei. Dia memberikan kesempatan untuk aku menjadi jiwa yang terbang dengan energi putih yang positif. Dia tak berjanji akan mengirimkan diriku ke surga, tetapi dia berjanji bahwa aku akan diterima di neraka dengan semua dosa yang aku lakukan."
... To be continued ....